Di dalam kelas aku sudah sibuk meminta contekan pada gio. Ada PR yang aku lupa kerjakan malam tadi. Aku mohon gio. Berkali-kali aku memohon padanya. Kau kebiasaan lila, katanya. Hiruk pikuk suasana kelas sebelum bunyi bel meredam suara gio. Malam tadi aku ketiduran, benar-benar lupa gio. Aku yang bonceng deh pulang sekolah ini. Kali ini aja. Aku mohon. Aku berusaha menjelaskan. Aku mohon gio.
Gio berpikir sejenak. Hmmmm baiklah. Pulang sekolah kau yang bonceng ya. Dan satu syarat lagi. Apa kataku. Dia menunjuk kedepan. Bu anthoni sudah masuk, mengisyaratkanku agar duduk kembali ke kursiku. Aku tau dia tidak akan tega. Dia pasti akan meminjamkan bukunya padaku. PR ini jam pelajaran ketiga. Aku masih sempat menyalinnya.
Bu anthoni. Beliau guru matematika kami. Matematika, pelajaran favorit gio. Aku tidak bisa membaca tulisannya jika dia menuliskan rumus jawaban secara cepat. Terkadang aku harus berulang-ulang bertanya pada gio. Huruf apa ini. Atau angka apa ini. Ini symbol apa? Ini gimana sih cara penulisannya. Gio akan dengan sabar menjelaskan perlajaran matematika padaku. Aku tidak begitu menyukai matematika. Aku lebih tertarik pada biologi dan sosiologi. Aku bingung, aku tahu dua pelajaran ini bertolak belakang. Tapi mau bagaimana lagi, aku menyukainya. Sedangkan pada pelajaran bahasa. Gio lebih unggul dalam bahasa inggris. Aku tentu hanya sedikit, karena saat itu sedang demam-demamnya drama korea di Indonesia. Aku lebih tertarik mempelajari bahasa korea ketimbang bahasa inggris sebagai mata pelajaran wajib ku di sekolah. Aku bisa dialog-dialog ringan bahasa korea. Kadang gio menimpukku dengan kertas. Tidak suka mendengar nada bicaraku yang dibuat-buat agar aksennya terlihat lebih kental. Tapi, gio akui. Aku bisa menguasai aksennya. Terdengar memang seperti orang yang berkewarganegaraan korea yang sedang bicara dengannya.
"Lila". Tegur bu Anthony memecahkan fokusku menulis salinan PR gio. Cepat-cepat ku sembunyikan buku PR ku kebawah meja.
"Perhatikan ke depan. Apa yang kamu tulis tadi?"
"Bukan apa-apa bu. Hanya mencoret-coret kertas buram" mengangkat kertas buramku.
"Perhatikan dulu apa yang ibu terangkan lila"
"Iyaa. Maaf bu"
Bu anthoni kembali menerangkan mata pelajarannya. Uh aku mengelus dada. Syukurlah, jika ketahuan, tamatlah riwayat buku gio. Karena bu anthoni akan menyobek-nyobek buku matematika kami. Itu akan membuat ku menyalin dua buku latihan matematika. Karena tentu saja gio akan minta pertanggung jawabanku.
Aku melirik ke arah gio. Yang dilirik tertawa mengejek ke arahku. Aku melotot padanya. Acuh tak acuh dia kembali memainkan pulpen yang di pegangnya sembari memperhatikan apa yang diterangkan guru matematika kami di depan. Kalau aku tau. Aku serahkan saja buku matematikanya.
*****
Pulang sekolah sesuai kesepakatan yang kami buat. Aku yang memboncengnya kali ini. Jelas saja melelahkan. Mendayung sepeda dengan beban yang lebih berat dariku. Separuh jalan. Aku sudah benar-benar tidak kuat. Aku menghentikan sepeda di pinggir trotoar.
"Gio, bagaimana jika separuh jalan saja. Aku sudah tidak sanggup. Kau terlalu berat buatku" Pintaku dengan memelas menoleh kebelakang. "Ya ya ya gio. Gak kuat".
"Iya deh iya. Ganti"
"Uh gio, aku sayang gio" sembari memeluk bersender ke lengan gio.
"Aku juga sayang lila" kata gio tiba-tiba mengecup keningku.
Aku menyentuh keningku.
"Jangan salah paham" katanya lagi. "Itu hanya sun tanda sayang gio karena lila sudah jadi sahabat baik gio. Mau berbagi cerita bersama gio. Nemenin gio. Selalu ada waktu buat gio".
Dia mengganti kata aku yang biasa digunakannya menjadi namanya. Seperti saat sedang bicara dengan orang tua atau orang yang dihormatinya. Itu pertama kalinya gio mencium keningku. Hari-hari berikutnya aku terbiasa dia mencium keningku atau memelukku kapanpun dia mau. Dia tahu batasannya sebagai sahabat. Dan saat itu aku menganggap bahwa itu hanyalah tanda kasih sayang sahabat kecilku.
"Iya tau kok" kataku. "Ayo jalan".
Aku naik di pijakan belakang. Berdiri. Melingkarkan tangan ku ke leher gio.
"Gio" panggilku. Dia hanya berdehem.
"Aku juga berterima kasih atas semuanya. Semuanya pengalaman yang aku dapat sama gio" kataku dengan tulus. Mengencangkan lingkaran lenganku kelehernya.
"Kau mau membunuhku ya la?"
"Tidak kok. Ohhh maaf" setelah menyadari sesuatu yang membuat gio bertanya bahwa aku ingin membunuhnya. Aku melonggarkan sedikit lingkaran tanganku. Tertawa. Gio juga.
Angin sepoi-sepoi menjatuhkan anak rambutku. Aku mengacak-acak rambut gio. Dia melepaskan satu tangannya dari stang sepeda bagian kiri. Atau begitulah kami menyebutnya pada waktu itu. Menepiskan tanganku yang mengacak-acak rambutnya.
Sudah katanya. Nanti aku jadi jelek kalau diacak-acak rambutnya. Hilang deh pamor aku yang begitu menggoda dari kakak kelas perempuan. Ih, aku mendelik. Pede kali gio. Mereka gak tertarik sama remaja seusiamu kataku. Siapa bilang katanya. Dia mulai bercerita bahwa ada beberapa kakak kelas yang memberinya coklat dan sepucuk surat tanpa nama dilaci mejanya. Terus aku makan coklatnya. Suratnya aku kasih sama dimas. Nih buatmu kataku. Dia tertawa terbahak-bahak.
"Terus kau tau darimana itu dari kakak kelas?"
"Yaa dimaslah yang nyari tahu. Tapi dimas kira itu beneran buat dia. Dimas berusaha ngedeketin tuh kakak kelas deh"
"Ihhh jahat gio. Kasian dimas di php in" Pemberi harapan palsu. Begitulah orang mengartikannya saat itu.
"Biarin lah. Lumayan drama sekolah. Hahaha" aku ikut tertawa.
"Tadi itu kau mencekikku tauk" katanya saat berhenti di depan pagar rumahku. Mana aku tau dia tercekik saat itu. Kalau aku tidak bilang kau ingin membunuhku. Pasti kau tidak sadar kau mencekikku secara tidak langsung. Katanya lagi. Yaa maaf gio. Jawabku saat itu. Aku ingat dia bilang begini. Kan sudah aku bilang, jangan terlalu sering minta maaf kecuali jika kau memang salah. Ayo masuk. Ganti bajumu gih terus kita pamitan sama bunda mau kerumahku. Saat itu aku hanyalah remaja 14 tahun yang memiliki sahabat baik seperti gio. Gio, seseorang yang selalu menjadi pelindungku, meskipun dia tau aku bisa menjaga diriku sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pulanglah
RomanceKita menyukai satu sama lain dalam kurun waktu yang lama tanpa memberitahu. Kenyamanan. Sampai suatu waktu aku merusak segalanya karena kecerobohanku.