Mereka duduk di sebuah warung roti yang letaknya jauh dari kampus. Duduk dalam kecanggungan ditemani rintik hujan yang menghempaskan dirinya di trotoar jalanan. Uap kopi dan aroma roti manis mengganggu konsentrasi Ricardo untuk memulai pembicaraan mereka. Anneke duduk dihadapannya, merenung sambil menatap lukisan mawar dipermukaan espressonya.
“Kamu suka tempatnya?”
Sejujurnya Anneke lebih menyukai café ketika Marco mengajaknya. Ia ingat waktu itu ia nyaman sekali duduk di sana, gemericik air menentramkan jiwanya yang gundah gulana kala itu memikirkan pria yang duduk dihadapannya.
“Suka.” Jawab Keke singkat dengan bubuhan senyum dibibirnya.
“Ini pertama kali juga aku ke sini. Aku tahu tempat ini dari Dennis, dia yang rekomendasiin tempat ini.” Ricardo mulai memancing Keke untuk bicara.
Keke hanya tersenyum sedikit. Ia sendiri bingung harus bagaimana.
“Ke, aku minta maaf.” Ricardo mengeluarkan sekotak kado. “Kamu boleh buka.”
Keke menatap Ricardo kemudian beralih pada kado dihadapannya yang masih digenggam Ricardo. Kemudian ia mengambil kado tersebut dan membukanya.
“Scarf?”
“Belakangan aku lihat kamu pake kaos polos, pasti lebih manis kalau pake scarf ini.”
Keke melihat scarf itu. Scarf dengan motif kotak paduan warna cokelat sebagai dasarnya dan ada goresan-goresan hijau, merah dan biru. Cantik.
“Kok kamu tahu beli scarf?”
Ricardo tersenyum. Dia malu.
“Aku minta temenin Stefani adek aku.”
“Thanks Ricardo.”
“Sama-sama Dek.”
Keke masih sangat canggung berhadapan dengan Ricardo, belum bisa seperti dulu. Bahkan ia tidak bisa menelan roti manis yang beraroma menggiurkan itu. Dia terus-terusan mengalihkan pandangannya kesekeliling warung kopi. Sambil berusaha menikmati lagu yang menurutnya justru membuatnya mengantuk.
“Aku ngantuk, bisa kita pulang sekarang?”
Ricardo menyerah. Ini yang ditakutkannya dari tadi, Keke mengajaknya pulang cepat dan dia melihat itu semenjak mereka duduk karena pandangan Keke gelisah.
“Apa kamu masih trauma?”
“Enggak. Aku ngantuk.” Jawab Keke sambil berdiri.
Ricardo terpaksa ikut berdiri.
***
“Bagaimana?”
“Dia sepertinya belum bisa memaafkan gw.”
“Dia sudah bisa memaafkan lo tapi dia masih harus beradaptasi untuk melupakan.”
Ricardo menghisap rokoknya kuat. Matanya tiba-tiba menyala seperti ingin membunuh mangsa ketika melihat Marco datang ke arah mereka.
“Tahan emosi lo Do, jangan pancing keributan.” Dennis mengingatkan Ricardo.
Marco duduk bersama mereka tanpa merasa jengah sekalipun dia tahu Ricardo tidak suka dia datang. Dengan tenang ia mengambil gitar dan memetik senar kemudian bersenandung. Dulu mereka selalu melakukan ini di kos. Dan dulu mereka seperti saudara, dekat sekali. Dennis ikut memukul pahanya seperti bermain drum.
“Broooo!!!!” Rio datang dengan kebahagiaan. “Nah gini dong, kangen gw suasana kayak gini. Kebetulan gw tadi beli kuaci.”
Rio memecahkan suasana jadi lebih akrab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anneke, Si suara serak seksi yang romantis
Non-FictionAnneke Panjaitan. Panggil saja Keke, pasti dia menoleh. Lahir dan tumbuh dikeluarga batak yang kental adat dan giat sekolah. Ia selalu mendambakan sosok pria batak dan menikah dengan adat batak. sampai akhirnya dia bertemu Ricardo, cowo batak yang p...