shrink

980 159 26
                                    

Kalea

Baru lima menit yang lalu Aga menyudahi percakapannya bersama seorang lokal, bapak-bapak berbadan gempal berkumis melintir. Aku diam seribu bahasa selama mereka larut dalam percakapan tentang Legenda Azzurrina. And this Lea is the only one who sits still. Well that was because.. I don't understand the language! Damnit. Pada titik ini mungkin aku akan tetap tersenyum dan mengangguk sekalipun orang lain sedang menjelek-jelekanku dibalik bahasa yang tidak sama sekali aku pahami.

"Jadi, Lea, mau makan apa?" Aga kembali menganggapku ada. Senyumnya merekah setelah beberapa kalimat terakhir obrolannya bersama si bapak.

Aku menutup menu yang hampir tiga puluh menit dibaca sampai hafal menu pembuka, utama, penutup dan beberapa sajian alkohol dari yang keras (aku tahu betul mana minuman yang kadar alkoholnya bisa sampai bikin pingsan di tempat) sampai yang kandungannya cuma nol persekian persen. Tadi aku sudah pesan satu yang waras dan wajar.

"Kamu ngobrol apa sih, Ga, sama bapaknya?"

"Legenda Azzurrina, Ya."

Aku memerhatikan Aga meminum pesanan local beer-nya, "Seru banget ya ceritanya?"

"Nggak begitu. Cuma penasaran jadi pengin main kesana."

Aga ketawa waktu aku melotot kaget. Ngapain juga main ke tempat angker? Menarik kesimpulan dari cerita Aga, Kastil Montebello, atau rumah si putri Azzurrina ini tempat angker dengan legenda Il castelo di Azzurrina. Dia anak perempuan yang diasingkan keluarganya ke kastil tersebut karena lahir dengan kelainan Albino. Pada masanya di Italia, pengidap albino dianggap meresahkan masyarakat. Mereka sampai bisa dibunuh karena orang-orangnya percaya takhayul kalau albino itu ada kaitannya sama sihir dan ilmu hitam. Well.. ugh, please deh.

"Azzurrina artinya kebiruan. Karena keluarga si kecil ini sempat mengakali buat mewarnai rambut dia dengan ramuan tertentu. Tapi nggak ada hasilnya, kecuali kalau kena matahari, warna rambutnya berubah jadi kebiru-biruan, Ya."

"Sebentar, azzurrina bukan nama aslinya?"

"Bukan, nama aslinya Guendalina. Setelah diasingkan kesana, dia hilang ditengah badai. Dan sampai sekarang belum ditemukan lagi mayatnya. Terus muncul lah mitos kalau Azzurrina jatuh ke penyimpanan es, ada juga yang bilang kalau dia dibunuh ayahnya sendiri."

Wow, kalimat Aga yang terakhir cukup membuat rasa takutku berubah jadi sebuah kebencian. Kalau mitos itu benar adanya, orang tua macam apa yang tega menghabisi nyawa anaknya sendiri hanya karena dia berbeda?

"Ya?"

Sentuhan tangan Aga kembali membawaku ke dunia nyata. Kali ini dia menatapku bukan dengan tatapan Aga yang jahil, tapi Aga yang khawatir.

"Kenapa?"

Aku bergeleng kepala, dan tersenyum. "Nggak apa-apa. Sampai mana tadi ceritanya?"

Walau aku masih bisa melihat keraguan di raut wajah Aga, tapi dia kembali meneruskan ceritanya. Bukan tentang Azzurrina lagi. Dia sengaja mengganti topik karena mungkin takut aku merasa nggak nyaman. Berikutnya kami ngobrol tentang pekerjaan. Lagi-lagi pekerjaan. Dan lagi-lagi aku yang sengaja mengarahkan kesana.

Beberapa orang menyebutnya cari aman, aku sendiri menyebutnya lari dari segala kemungkinan. Untuk yang lain membicarakan sedikit tentang kehidupan pribadi mungkin bukan masalah, tapi bagiku justru cerita pribadi itulah masalahnya. Once again God knows how much I wish Lacuna Inc, like that one existed in Eternal Sunshine of the Spotless Mind-nya Jim Carrey dan Kate Winslet, juga ada di sini sekarang. Agar aku bisa kesana, meminta untuk dihapus memorinya dan kelak aku bisa sebebas orang lain yang terbuka akan segala pengalaman yang jadi bagian hidupnya. Aku juga mau begitu, tapi sejak empat tahun yang lalu cerita bahagia melihat banyaknya balon udara untuk pertama kalinya di Cappadocia, mengunjungi Disneyland di Hong Kong, bergantian mendatangi air terjun Saluopa di Poso, Moramo di Konawe, Benang Kelambu di Lombok, semuanya tidak bisa jadi pelipur lara atau penghapus satu cerita kelam yang dengan gagahnya menghancurkan semua kenangan indah sampai tidak berharga.

the travellerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang