someone that loves you

949 150 23
                                    

Agra

Kemarin gue dan Lea mengunjungi Musei Vaticani, sebuah museum tertua di Italia. Lea yang kepengin banget datang kesana. Jadi selepas motret, gue langsung bergegas menemui dia yang sudah menunggu di depan museum seorang diri. Waktu dia melihat gue datang, bibirnya langsung membentuk sebuah senyuman. Dan gue baru sadar, enam jam adalah waktu yang sangat lama kalau terpisah dari Kalea. Gue merindukan senyumnya sekalipun gue sendiri bertanya apakah boleh merindukan sesuatu yang bukan milik kita?

"Mas Aga, ketemu lagi kita." Katanya. Gue cuma bisa senyum dan menenangkan diri sendiri: Nggak usah diambil hati, Ga, itu cuma senyum biasa. Tapi pada kenyataannya, gue selalu memasukan yang biasa-biasa itu ke dalam hati. Senyumnya, pegangan tangannya, sentuhan lembutnya dan bahkan setiap ucapannya.

Gue terdengar seperti seorang picisan yang sedang jatuh cinta. Oh, jatuh cinta? Ini bukan waktu yang tepat untuk membahas tentang perasaan apalagi sejauh rasa cinta. Terlebih ketika pelaku utamanya tidak dikenal dengan jelas seperti Lea. Kamu itu siapa, Ya? Kenapa dengan menghabiskan waktu bersama Lea membuat gue merasa seperti sedang main puzzle robot gundam waktu kecil dulu? Butuh berhari-hari lamanya untuk menggabungkan potongan puzzle itu satu persatu sampai jadi sebuah gambaran utuh. Pada akhirnya gue mampu menyelesaikan semuanya, tapi apa kali ini akan berhasil juga? Lea bukan sembarang puzzle, dia sesosok manusia dengan banyak tanda tanya dan entah harus dengan cara apa gue memecahkan teka-tekinya.

"Gimana motret hari ini, Ga? Lancar?" Dia bertanya saat kami mengantri masuk ke museum. Tadinya gue kira gue salah lihat, tapi ternyata benar kalau mata Lea memang sedikit bengkak. Kamu nangis lagi, Ya?

Apa yang segitu sedihnya sampai kamu menangis terus di sini, Ya?

Gue kembali menekan rasa ingin tahu itu dalam-dalam, gue bukan siapa-siapa, hanya orang asing yang kebetulan bisa dipercaya untuk jadi pemandu jalan-jalan di Italia.

"Lancar, Ya. Tadi aku belikan kamu ini." Gue mengambil gelang sederhana dengan bandul kecil berbentuk jajaran bunga matahari. Mungkin sedikit aneh, tapi waktu tadi nggak sengaja lewat ke pedagang kaki lima yang menjual perhiasan lucu, gue nggak pikir dua kali untuk belikan Lea sesuatu.

"No rose, no lily."

Lea mengamati gelangnya, lalu senyum dan bergumam, "A sunflower."

Gue mengangguk, I want you to always look at the bright side of life, Ya, just like the sunflower which only look at the sun. Jangan sedih lagi.

Dia memasang gelangnya sambil masih tersenyum, "Aku agak penasaran sih kenapa dari sekian banyak bentuk, kamu beliin aku yang bentuknya bunga matahari."

"Because it suits you." Gue menggiring Lea masuk ke dalam museum. Setelah kami di dalam, Lea berhenti jalan. Dia menghadap dan menatap gue dengan serius. Gue nggak bisa menahan diri untuk nggak berprasangka buruk dengan menatap matanya yang bengkak. Apa ini alasan kenapa dia menolak ajakan gue ikut motret pagi tadi? Karena matanya bengkak? Karena mungkin semalaman tadi dia menangis dan detik ini gue hampir mati penasaran, ada apa, Ya?

"Ga, thank you." Lirihnya, "This, makes me happy." Dia mengacungkan pergelangan tangannya, lalu menggerak-gerakan gelangnya. "Aku harus belikan kamu apa sebagai gantinya?"

"A presence."

Lea ketawa lagi, "Itu kan jawaban aku kemarin. Lagian mana bisa dibeli, sih."

"Nah, justru karena nggak harus dibeli, Ya, makanya aku minta."

Lea mendelik, dan gue tertawa dibuatnya. "Ayo jawab, kamu mau apa? Biar aku bisa ganti kebaikan kamu, Ga."

the travellerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang