day 1

2.3K 233 35
                                    

Agra

Gue menyukai perjalanan udara. Selain karena nggak ada macet, cuma dari dalam pesawat lah gue bisa melihat dari dekat gumpalan awan putih yang terhampar luas di langit. Iya, gue sesuka itu sama awan dan langit. Dulu gue pernah ditugaskan ke Dubai, sengaja untuk motret si pencakar langit dengan ketinggian 828 meter yang dengan gagahnya berdiri sampai menembus awan dan masuk rekor dunia. Burj Khalifa. Gue masih ingat rasanya memotret dan bahkan melihat dengan mata telanjang bagaimana awan mengelilingi si gedung dan kalau harus bersumpah nih, sumpah semuanya cantik diatas sana.

Indonesia punya kecantikan semacam itu, negeri diatas awan katanya, di gunung Semeru. Kalau pernah nonton 5cm film garapan Rizal Mantovani, pasti sudah nggak asing lagi sama cerita naik gunung serta lika-liku untuk sampai ke puncaknya. Tapi semuanya terbayar pas sudah sampai diatas sana. Kerennya bukan main ditambah cantiknya pemandangan awan yang membentang luas dan memanjakan mata pendakinya. Gue, jangan ditanya, belum pernah kesana. Tapi setidaknya gue sudah pernah menginjakan kaki di Ranu Kumbolo, itu loh tempat bersejarah dimana seorang Genta ditolak Riani.

Waktu gue nonton film 5cm, harus gue akui ada dua hal yang membuat gue terharu. Yang pertama sudah pasti cerita pendakian gunung dan menancapkan kejayaan Merah Putih dipuncak tertinggi tepat pada tanggal 17 Agustus. Tapi bagian si Genta ditolak sama Riani juga sedih, man. Gue sempat mikir lama sepulang dari bioskop, si Genta nih kurang apa, sih? Lalu gue mendapatkan jawaban bahwa ternyata cinta itu memang tidak bisa dipaksakan. Mau selama apa nunggunya, setinggi apa gunung yang didaki, atau mau seluas apa lautan yang disebrangi, kalau hati berkehendak lain, maka satu-satunya hal yang harus dilakukan adalah melapangkan dada selapang-lapangnya.

Sudah lah, akan panjang jadinya kalau ngomongin tentang cinta. Lebih baik kembali lagi ke urusan langit, awan dan pesawat. Lagipula, gue nggak dengan sangat niat pergi dari rumah, pagi-pagi ke bandara, minta supir taksi buat ngebut karena gue hampir tertinggal pesawat, hanya untuk membicarakan cinta. Perjalanan kali ini nampaknya lebih penting dibicarakan daripada tiba-tiba galau sampai memutar the playlist you need to listen when you're heartbroken di Spotify.

Adapun playlist yang akan gue putar selama didalam pesawat adalah yang berisikan lagu pengantar tidur atau kalau belum ngantuk dan masih ingin terjaga, gue akan memutar 90's music, sekalian bernostalgia bersama lagu-lagu jaman dulu.

Intro The More You Ignore Me, The Closer I Get milik Morrisey sedang terputar dan gue sibuk memandangi satu, dua, tiga dan seterusnya penumpang pesawat yang baru datang. Gue sudah masuk daritadi, ternyata nggak ada drama ditinggal terbang pesawat. Senangnya datang in time dan tadi bahkan sempat beli kopi dulu.

Seorang pramugari muncul didekat kursi tepat disamping seat gue. Dia tersenyum sambil melambai tangan pada seseorang.

"Miss, your seat is right here."

Miss. Seumur gue kerja kesana-sini, entah mungkin gue sial atau mungkin takdirnya harus begitu, teman perjalanan gue di pesawat biasanya laki-laki. Bisa seumuran, anak muda, atau bapak umur 50 tahunan. Dan gue sudah terbiasa menyiapkan beberapa topik pembicaraan, just in case, gue dan dia sama-sama nggak bisa tidur dan nggak punya kegiatan lain selain mendengarkan lagu atau nonton film. Lagian, akan ada banyak hal yang didapat ketika lo ngobrol sama orang baru. Jadi kadang gue gunakan waktu itu untuk mengenal seseorang, mendengarkan ceritanya, dan mencari kesan dan pesan dibalik semuanya.

Gue masih ingat ada seorang teman penumpang yang menceritakan pengalamannya waktu bertugas di wilayah perang. Iya, dia mantan tentara yang dipulangkan karena cedera dan dibebas tugaskan. Dalam percakapan selama dua jam–sebelum akhirnya menyerah dan tidur–dia cerita tentang rasa bingungnya. Kadang harus melawan untuk menjaga keselamatan warga, tapi nggak jarang mereka jadi tumbal peperangan juga.

the travellerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang