it aint wrong loving you

959 114 29
                                    

Kalea

Sejak malam terakhir aku bertemu lagi dengan Aga di pesta pernikahan salah satu kerabat kami, semua ingatan tentang dia seakan semakin sering membajak pikiran. Kapanpun di setiap waktu kosong, aku selalu menemukan diriku membayangkan kembali setiap detil kenangan yang sudah dilalui bersama Aga, waktu kami masih di Italia dan terlebih saat aku melihat Alea, anakku, tertawa akrab bersamanya. Aku sangat yakin Alea tidak seharusnya mengenal Aga, begitu pula sebaliknya. Mereka bahkan tidak seharusnya berada dalam satu kalimat yang sama. Tapi kenapa semudah itu takdir mempertemukan keduanya, seakan semua usahaku melupakan dan menjauhi Aga dan kembali menata hidup hanya berdua bersama Alea tidak ada artinya.

"Kamu terlalu fokus sama apa yang menurut kamu benar untuk dilakukan, sampai kamu lupa kalau sebenarnya garis hidup kita sudah ada yang atur. Coincidence, what do you think about it? To me some things are too strong to be only 'coincidences.' Kamu susah payah menjauh dari Aga dan menutupi semuanya termasuk perasaan kamu, tapi kemudian kamu dipertemukan lagi sama dia. Malah ditambah ketemu Alea juga. Semua itu bisa saja terjadi bukan semata-mata karena nggak sengaja loh."

Aku diam membisu. Aina meneruskan, "Que sera, sera, Lea." Dia menepuk pundakku sekali. "The future is not yours to see nor to control. Whatever happens, happens."

"Tapi kan–"

"Satu lagi, kamu terlalu banyak 'tapi'-nya." Sela Aina lalu ketawa, "Sekali aja, Lea, kamu bebaskan diri kamu dan berhenti memaksakan kehendak pribadi. Sometimes you just have to let the universe do it's job, you know."

Aku meringis, "Terakhir kali aku pasrah gitu hidupku diinjak-injak orang."

Aina kembali duduk di sampingku, "There is this quote I remember and it said 'Not all storms come to disrupt your life, some come to clear your path.' Adikku pinter, pasti ngerti maksudnya gimana. Di kajian pengajian juga banyak bahasan tentang ujian, sering tuh dibilangin kalau ujian masalah yang dikasih ke kita itu tujuannya buat naikin derajat kita, apalagi kalau kitanya sabar." Kali ini Aina mengambil tanganku dan menggenggamnya, "Ya, apa yang terjadi sama kamu di masa lalu itu justru yang membuat kamu hebat dan kuat sekarang. Andai kamu terbuka, jalan-jalan menuju kebahagiaan sebagai balasan atas kesabaran kamu selama ini itu ada sebenarnya."

Apa kali ini aku harus menuruti kata-kata Aina? Sekali ini saja aku berhenti memaksakan kehendak sendiri melakukan sesuatu yang aku rasa paling benar dilakukan. Menutup diri, juga menjauh dari berbagai kemungkinan dan kesempatan yang mungkin saja membawa kebahagiaan untukku. Untuk Alea juga, dan masa depan kami berdua. Tapi nggak peduli seberapa yakin aku mau membuka lembar baru, terbersit lagi di benakku kata-kata menyakitkan dari orang-orang sekitar tentang masa laluku. Selalu saja begitu. Penghakiman tiada akhir dari mereka yang membawa serta kata dosa dan neraka seakan lupa kalau Tuhan yang paling berkuasa pun menerima ampun umatnya dalam kesungguhan taubat.

"Le?" Aku mendongak saat Windi menampakkan dirinya di pintu ruang kerjaku. "Bentar lagi meeting ya." Katanya sambil senyum sedikit. Aku pun membalasanya.

"Thanks ya, Win." Percakapan kami jadi tidak seperti biasanya setelah kejadian di pesta pernikahan itu. Aku mengaku salah karena telah melimpahkan amarahku ke Windi padahal dia nggak tahu apa-apa juga tentang aku dan Aga. Tidak seharusnya aku menyalahkan dia karena menitipkan Alea ke Aga. Bagi Windi, Aga bukan orang asing, dia sepupunya. Dia percaya kalau Aga tidak akan membawa kabur Alea, aku juga tahu itu. Tapi aku dan amarahku tetap bersikeras kalau apa yang Windi lakukan itu salah.

"Sori ya, Le."

"Lo kenapa nggak tunggu gue aja sih? Kenapa harus dititipin ke orang lain? Kalo Alea ilang gimana, Win?!"

the travellerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang