Kalau kebanyakan sarjana yang baru lulus pontang-panting mencari pekerjaan sambil menenteng surat lamaran dengan pakaian rapi, Aqilla justru duduk-duduk santai di ujung meja bar sebuah coffee shop milik teman dekatnya, bersama secangkir cappuccino hangat dan sepiring salad tuna. Menikmati waktu nya sebagai seorang pengangguran. Padahal dia tahu, cukup banyak lulusan Ilmu Teknologi Pangan yang sulit mengawali karir mereka. Sejumlah perusahaan biasa nya hanya menerima sedikit pelamar yang di tempatkan sesuai bagian nya. Karena itu beberapa orang yang berkompetensi dalam bidang nya lebih memilih untuk membuka usaha sendiri.
Meskipun bukan kafe besar, tempat itu selalu ramai oleh pengunjung. Apa lagi kalau sudah bertepatan dengan jam makan siang atau jam pulang kantor. Meja-meja yang semula kosong akan terisi satu persatu. Kadang kalau sudah begitu, Aqilla yang memang sering mampir ke kafe ikut-ikutan sibuk melayani mereka. Tidak jarang dia harus terpaksa meninggalkan makanan nya. Membiarkan makan-makanan itu mendingin dan batu es di dalam gelas nya mencair. Tapi untuk sekarang Aqilla merasa keadaan masih bisa terkendali. Dia tidak perlu repot-repot turun tangan membantu para pegawai.
"Lo nggak ada niat buat nambah pegawai lagi gitu, kak?" Tanya Aqilla saat seorang perempuan berambut pendek datang menghampiri. Namanya Aisha Yara atau sering Aqilla panggil 'Kak Ai'.
"Kalau lo bersedia nyimpen lamaran lo di atas meja gue sih ya pasti gue terima." jawab perempuan itu sambil menyeruput cangkir cappuccino milik Aqilla. Hal itu sudah biasa saling mereka lakukan. Jadi tidak ada protes sama sekali dari Aqilla.
"Duh, lo ngarep banget deh kayak nya." Aqilla tertawa.
"Pede amat dah!" perempuan itu menoyor kepala Aqilla pelan. "Dari pada lo nganggur nggak jelas begini mending kerja di kafe."
"Gue bukan nganggur nggak jelas, Kak!"
"Terus apa dong?" Tanya Aisha sambil menopang dagu.
"Ini namanya bayar hutang." Aqilla menyuap sesendok salad tuna nya. "Waktu jaman kuliah kan mana bisa gue santai-santai begini."
Aisha hanya bisa mengelus dada, pasrah dengan kelakuan Aqilla. "Terserah lo aja, Qi."
Hening, Aqilla dan Aisha kembali pada dunia masing-masing; Aqilla dengan sepiring salad tuna yang tidak habis-habis dan Aisha yang sibuk mendata persediaan di dapur. Memberi jeda sepersekian menit di antara percakapan mereka. Tiba-tiba Aqilla ingat tujuan utama nya datang ke kafe. Selain karena bosan sendirian di rumah, dia ingin sedikit curhat pada Aisha tentang Alan.
"Kak Ai.." panggil Aqilla ragu-ragu. Yang di panggil hanya berkata 'hmm..'
"Kak Ai.." panggil Aqilla lagi saat dia belum berhasil mengambil perhatian Aisha. "Kaaaak.."
"Kenapa sih, Qi?" Aisha membuang napas kasar. Tidak tahan mendengar namanya di panggil berkali-kali, akhirnya dia menoleh ke arah Aqilla.
Aqilla menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Aisha memang sering di jadi kan tempat curhat oleh Aqilla. Dari mulai hal sepele, seperti bagaimana akhirnya dia bisa bangun pagi sendiri sebelum alarm nya berbunyi, sampai hal besar yang membuat Aqilla kesulitan mengeluarkan kata-kata karena emosi nya memuncak. Tapi tentang Alan.. Haruskah?
"Iiihhh lo tuh ya, Qi!" Aisha mencubit punggung tangan Aqilla, geregetan melihat sikap Aqilla yang labil. "Kalau mau cerita, ya cerita. Jangan nggak jelas gitu. Udah tau gue lagi sibuk!"
"Nggak jadi, deh." Aqilla nyengir bersamaan dengan suara pintu kafe yang terbuka. Tanpa sadar, Aqilla langsung bangkit dari kursi saat tidak sengaja matanya menangkap sosok Alan. Lelaki itu memutar kepala, mencari meja kosong yang bisa dia tempati. Kemudian berjalan ke deretan meja di tengah ruangan. "Kok dia disini, sih?"
~°~°~
KAMU SEDANG MEMBACA
TIMELESS
RomantikHujan menyimpan banyak kisah antara kita. Yang ku maksud dengan "KITA" bukan sekedar aku dan kamu. Ada kamu dan dia di dalam nya, atau bisa jadi aku dan seseorang yang belum sempat ku bagi kisah nya dengan mu. Hujan yang jatuh menyimpan bisikan-bisi...