Gue nggak pernah bermasalah sama yang namanya berkoloni dalam kelompok. Masalahnya adalah, gue males kalau harus bekerja di bawah ekspektasi oranglain. Misalnya, kondisi gue sekarang yang menganggap kalau tiga jejaka ini berekspektasi bahwa gue adalah orang yang chill and playful buat dijadiin temen nongkrong. Bisa, gue bisa. Menikmati atau nggak itu lain persoalan.
Gue selayaknya orang introver lain, bakalan males ngomong kalau udah badmood. Still, gue masih harus memasang topeng pura-pura menikmati crowd yang ada. Lagian, umur gue emang masih 26, tapi fisik sama jiwa gue udah 40 tahun. Ibarat kata, alokasi tenaga yang gue punya cuma buat leyeh-leyeh di indekos dan berharap pingsan jam 9.
Dari dulu gue bukan orang yang menikmati nongkrong. Berjejaring atau datang-datang ke seminar atau workshop. Menghadiri forum adalah angan yang ketinggian buat gue. Most of introvert dalam hati kecilnya bilang, 'gue sebenarnya pengen bisa ngobrol dan berjejaring, tapi nggak tahu caranya.' Gue, tahu caranya, malas melakukannya. Salah emang profesi gue jadi konsultan komunikasi. Sekali lagi, gue bisa bertahan. Tetapi, setiap habis event, rasanya gue habis mendaki Everest.
Emang kontradiktif.
Mbak Siska selalu ngomelin gue kalau lagi di acara informal dan melihat gue males banget nimbrung sama orang-orang. Kalau udah banyak orang gitu, mendadak emang kayak pengen teleportasi aja gue ke Batcave. Lautan manusia bikin gue sadar, kenapa Batman pilih kerja sendirian.
Makanya, geng gue di kantor itu udah pada bosen banget ngajakin gue nongkrong atau staycation kalau weekend. Girls out. Ya elah, ada hasrat buat nyari makan di luar dan bukan masak indomie aja udah syukur lho kalau weekend. Kalau aja manusia bisa kenyang makan angin.
Dan gue masih sangat meyakini bahwa kehidupan bersosial itu tidak harus pasang topeng sana sini agar diterima di berbagai lapisan kelompok. Cukup lo bisa punya kemampuan dasar beradaptasi, lo survive. Itu prinsip yang gue pegang seiring gue makin jompo dan selalu drained setelah kumpul sama teman-teman gue yang kebanyakan juga bahasnya hal-hal trivial. Bukannya chill, malah makin stres. Yang bikin chill emang cuma Netflix.
Kalau urusan kerjaan, gue cukup bisa handy, meskipun nggak terlalu bisa multitasking. Anaknya tipe yang fokus harus ngerjain satu dulu sampai kelar baru beralih ke yang lain. Meskipun kerjaan yang pending lagi banyak. Er... Sebenarnya selalu banyak. Thanks to Francesco Cirillo yang sudah memperkenalkan Pomodoro*, jadi gue bisa tahu apa itu waktu yang efektif.
(*Pomodoro = Teknik mengerjakan tugas dalam blok-blok waktu 25 menit)Tapi... gue nggak tahu perlu apa nggak menerapkan teknik itu di saat gue harus berhadapan sama tiga orang laki-laki yang sedang sibuk sama aktivitasnya masing-masing ini. Ya kali gue harus set timer setiap 25 menit. Jeda 3-5 menit setiap pergantiannya harus gue pakai buat apa? Colongan ngemil tisu di kamar mandi?
"Gilang, watch your trash."
Gilang yang diberitahu oleh Rafadhan hanya menggumam tidak jelas dan kembali memainkan PS 4 punya Rafadhan di ruang santainya. Ruangan ini selayaknya living room di apartemen yang tidak dibatasi dengan sekat apa pun, menyatu dengan kitchen bar yang sekaligus difungsikan sebagai meja makan.
"Mbak Nir... main sih!"
"Nggak bisa!"
"Tinggal pencet-pencet sih."
"Nggak!"
"Huft! Nggak asyik."
"Bodo!"
"Trus Mbak Nir mau ngapain? Mau nonton TV juga kan lagi gue pake main."
"Mati suri sampai gue tau apa fungsinya gue di sini."
"HAHAHAHAHA.... Kan nongkrong bareng. Chill kayak Bruno Mars di Lazy Song dong, Mbak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Finders Keepers, Loosers Weepers
Literatura FemininaKata orang hidup gue ini nggak ada progresifnya sama sekali. Stuck aja terus di satu titik. Enak aja! Kalau sekarang kerjaan gue culas dan merepet tentang ini itu bukannya itu berarti gue pakai otak gue dengan benar? Masalah pencapaian hidup, kenapa...