Bab 6 - Murid Baru

2.2K 102 5
                                    

KINA berdiri di depan gerbang SMA Electa Argus—sebuah SMA swasta elite di daerah Kebayoran, Jakarta. Berulang kali Kina membenahi seragam barunya itu. Sebuah rok kotak-kotak, kemeja putih dan dasi yang bermotif sama dengan roknya. Dia juga sudah berulang kali mengeluarkan cermin lipatnya, mengecek apakah lip tint merah jambu di bibirnya sudah cukup terlihat. Bukan mencolok, sekadar untuk menarik perhatian Gio.

"Ah, Khansa... maksudnya, Gio..." Kina segera merevisi ucapannya sendiri, membiasakan diri menyebut nama "Gio" sebagai ganti "Khansa". Ini akan butuh waktu sepertinya.

Perut Kina bergejolak tiap kali ingat alasannya masuk ke sekolah ini. Pertemuannya dengan Gio di Raja Ampat pastilah sebuah jawaban dari semua doa-doanya untuk menemukan keberadaan lelaki itu. Namun sekolah ini lain cerita. Bukan sebuah kebetulan Kina pindah ke sekolah yang sama dengan Gio, seperti yang Gio pikirkan. Saat di Raja Ampat, Kina tak sengaja melihat nama SMA Electa Argus terpampang di kaus salah satu teman Gio. Pulang dari Raja Ampat, dia langsung meminta ayahnya untuk mengurus kepindahannya ke Electa Argus.

Kina sadar tekad awalnya untuk menemukan Gio adalah sebuah pengakuan dosa. Dia bertekad mengakui semuanya kepada Gio, termasuk menjadi dalang berita bohong yang berujung pada kematian Viola. Namun saat melihat sosok Gio yang sekarang, tekad itu luntur dalam sekejap.

Entah, Kina merasa Gio semakin dewasa, bertambah tampan, dan keren berkali-kali lipat. Otot-otot di tubuhnya yang terbentuk sempurna terpampang indah di depan mata Kina saat dia menyelamatkan Kina yang hampir tenggelam. Kina tidak bisa tidur semalaman membayangkan bagaimana ia ada di pelukan laki-laki itu. Belum lagi semua garis di wajahnya semakin tegas. Lehernya juga bertambah jenjang dan kokoh.

Kina luluh. Bersamaan dengan lenyapnya keinginan untuk melakukan pengakuan dosa, muncul keinginan yang lebih liar—untuk sekali lagi mencoba menjadikan Gio miliknya seorang. Kali ini Kina cukup optimis. Viola tidak ada. Kina juga punya keuntungan dengan masa lalu persahabatan mereka. Paling tidak Gio tidak akan mengabaikannya.

Kina menghabiskan seluruh jam pelajaran pertama dan kedua untuk melamun, bertanya-tanya sedang apa Gio di kelasnya. Kepalanya otomatis menoleh ke luar jendela tiap kali ada orang yang melewati kelasnya. Dia tak peduli guru Matematika-nya menegurnya hingga seisi kelas tertawa. Dia cuma perlu Gio muncul di depan matanya dan kebahagiaan akan menyertainya seharian.

"Umm... tahu... kelas Khansa di mana nggak?" Kina sembarangan bertanya kepada gerombolan gadis yang sedang mengobrol di pintu kelas saat jam istirahat. Lelaki setampan Gio, semua cewek pasti mengetahuinya.

"Khansa?" Salah satu gadis yang berambut panjang mengernyit.

"Ah, maksudku Gio..."

Mereka bertukar pandang sejenak, lalu gadis tadi pun menyahut, "IPA 3." Kepala Kina refleks mengedik ke satu kelas di ujung lorong. "Ada perlu apa?" Mata gadis itu terasa mengeja penampilan Kina dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Ng... nggak... cuma nanya aja." Sebelum mereka mencurigai sesuatu, Kina berlari pergi. Dia berjalan menuju kantin, sengaja mengintip ke dalam kelas IPA 3. Gio tidak tampak di kelas itu. Kina melanjutkan perjalanannya ke kantin, Gio juga tidak ada di sana. Apa dia tidak masuk hari ini? Apa dia sakit? Tiba-tiba Kina merasa cemas.

"Hei." Sebuah tepukan mendarat di bahu Kina. Gadis berambut panjang tadi yang menepuknya.

"Ada apa?" Kina bertanya-tanya kebingungan. Mereka bahkan tidak mengenal satu sama lain.

"Gio cari kamu. Ikut aku."

Yang benar? Gio mencarinya? Hampir saja Kina melonjak di depan semua orang. Untung dia masih sempat menenangkan diri.

"Kamu panggil Gio apa tadi? Khansa?" tanya gadis itu ketika mereka berjalan melewati lapangan basket.

"Iya, itu nama tengah Gio." Kina terdengar agak bangga. Dia senang tak ada seorang pun di sekolah itu yang memanggil Gio dengan nama tengahnya. "Umm... ngomong-ngomong, kita mau pergi ke mana?"

Gadis itu tak menggubris pertanyaannya dan bahkan balas bertanya lagi, "Kenapa kamu bisa manggil Gio dengan nama itu? Apa hubungan kamu sama dia?"

"Kami teman SMP. Sahabat malah. Dulu aku dan Gio dekat banget. Kami selalu duduk memakan bekal bersama di kebun belakang sekolah." Kina sengaja melewatkan bagian tentang Viola, tentu saja.

"Oh gitu."

"Tapi, kita mau ke mana ya—AKH!" Kina memekik cukup keras ketika gadis itu mendorongnya masuk ke sebuah gudang tua di sudut sekolah. Kaki Kina limbung dan menabrak bangku-bangku tua yang disimpan di sana. Beberapa bangku terjatuh. Untung tidak menimpa kakinya.

"Denger ya, anak baru! Nggak usah coba-coba ngarang cerita! Halu banget sih jadi orang! Kamu pikir ada yang bakal percaya Gio pernah temenan sama cewek jelek kayak kamu? Ngaca dulu, dong! Dan jangan coba-coba deketin Gio! Kalau aku nggak bisa dapetin dia, nggak ada yang boleh bisa!"

BRAK! Pintu gudang dibanting menutup. Kina menghambur meraih gagang pintu. Ketakutannya benar, cewek itu mengunci pintu gudang dari luar. "BUKAAA! BUKA PINTUNYA!" Kina menepuk keras pintu itu, berharap ada orang yang mendengarnya dari luar.

Tidak ada. Tidak ada siapa pun di luar sana. Siapa memangnya yang mau berjalan-jalan sampai ke sudut paling belakang sekolah?

Panik, Kina pun menangis. Ruangan itu pengap, gelap, dan penuh debu. Sarang laba-laba menjuntai di setiap sudut benda yang terlalu lama teronggok di sana. Ada bangku, kaleng cat, sepeda, alat musik marching band, dan banyak rongsokan lainnya. Tidak hanya itu. Tiba-tiba Kina juga mendengar sebuah decitan. Pasti ada tikus di ruangan itu. Berapa ekor? Apa cukup untuk menggerogoti kakinya?

"BUKAAA!"

Lagi-lagi nihil. Kina yang putus asa akhirnya memanggil satu-satunya nama yang ia tahu di sekolah itu.

"KHANSAAA!" teriak Kina, tak peduli apakah laki-laki itu benar-benar bisa mendengar Kina. Dulu, nama itu selalu mendatangkan keajaiban kapan pun ia memanggilnya. KHANSA, TOLOOONG!" Suara Kina semakin melemah. "Khansa..." teriakannya berganti isakan. Air mata membanjiri pipi Kina. Kina sesenggukan, mulai susah mengatur napasnya. "Khansa... tolong aku..." Ia mengerahkan usaha terakhirnya.

"Kina?"

Kina dalam keadaan tak bisa membedakan apakah itu halusinasi atau kenyataan, sampai namanya dipanggil untuk kedua kalinya. "Kina? Kamu di dalam?"

Itu suara Gio!

"Khansa! Khansa, aku kekunci di dalam! Khansa tolong!" Tenaganya kembali bersamaan dengan harapan untuk keluar dari sana. Gio ada di sini. Gio akan menyelamatkannya sebagaimana yang dulu selalu ia lakukan saat mereka SMP.

"Mundur! Jangan dekat-dekat pintu! Aku mau dobrak pintunya!"

Kina mengikuti instruksi Gio. Dia mengambil jarak sejauh mungkin dari pintu. Satu kali dorongan. Dua kali... tiga kali... akhirnya pada dorongan yang keempat, pintu itu terbuka juga. "Kenapa kamu bisa ada di sini?" Gio terlihat kaget bukan main melihat Kina ada di sela-sela rongsokan dengan wajah yang basah karena air mata.

Kina tidak menjawab. Dia masih sangat ketakutan. Tubuhnya bergerak sendiri, menghambur ke arah Gio lalu memeluk laki-laki itu seerat-eratnya.

* * *

My NoonaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang