(Ina) 1. SWEATER WEATHER [Kong/Arthit]

1.7K 72 1
                                    

Terhitung enam bulan sejak terakhir ia melihat yang terkasih. Kalimat perpisahan yang diucapkan pun rasanya masih betah mengiang di kepalanya bagai kaset usang macet yang masih sengaja dipaksa untuk diputar.

Terlebih melihat pemandangan didepannya. Empat pasang temannya bercengkrama satu sama lain. Meski tak semua menunjukkan hubungan yang sama dengan yang ia jalani bersama yang jauh disana, namun itu cukup membuatnya merasa terpojok karena duduk seorang diri.

Lama membetahkan diri duduk diantara kerasnya gelak tawa dari ke dua belah pihak pertemanan itu, ia sedikit jengah dan memutuskan beranjak menjauhi sumber cahaya ke tempat yang sedikit lebih gelap.

Ia tak terlalu bodoh untuk pergi sejauh mungkin menjauhi perapian. Bisa saja kan ada orang asing yang berniat menculiknya? Jadi ia putuskan akan sedikit menjauh, namun masih terjangkau jika ia berteriak.

Di tempatnya kali ini lebih sunyi. Hanya ditemani suara deburan ombak yang menurutnya menenangkan, dan hembusan angin yang sedikit lebih mendinginkan tubuh dari beberapa menit yang lalu.

Ia tak ingin duduk. Celana serta sedikit bagian pahanya yang terkespos akan penuh dengan pasir jika ia mendaratkan bokongnya tanpa alas. Tanpa alasan ia bergerak maju, membiarkan jari-jari kakinya yang telanjang tertimbun pasir perlahan. Air asin laut tercium inderanya. Suasana yang sangat diidamkannya. Melupakan sejenak apa yang terjadi di kota; pekerjaan kantor, bayaran kondo, bahan bakar mobil, dan yang paling sulit dienyahkannya, pacar yang tak kunjung mengirim kabar.

Helai rambutnya mulai tersisir alami ke belakang. Ia menghirup banyak-banyak wangi asin yang diciptakan laut. Merentangkan kedua belah tangannya ke samping. Beberapa saat ia sadar, malam ini sangat dingin, dan ia segera memeluk kembali tubuhnya.

Hingga entah sudah berapa lama ia berdiri disana. Tawa canda yang semula terdengar renyah, kini mulai menyusut diganti naiknya ombak air. Ah, mungkin mereka sudah lelah, pikirnya. Ia tak menengok untuk memastikan. Terserah yang lain mau apa, selama api masih menyala, ia masih akan tetap berdiri disana.

Bunyi seok-seok di belakangnya pun tak ia hiraukan. Ia memilih untuk tetap menikmati kesendiriannya. Membuang rasa amarah dan kecewa yang belakangan ini diidapnya. Melupakan manusia itu sejenak tak apa, kan?

Namun yang tersebut tak mengijinkan dirinya untuk melupakannya barang sejenak. Ia muncul seenaknya. Mendekap erat tubuh rapuh yang tadi sok merentangkan tangan saat angin dingin menerpa. Ia sadar, dan tau betul siapa yang memeluknya saat ini. Wangi khas tubuhnya yang tak kan pernah berubah, lingkar tangannya yang sekarang lebih berisi, hangat nafasnya yang dulu setiap malam selalu mampir di ceruk lehernya, nyaman dada bidangnya yang selalu dapat membuatnya tidur kapan saja. Namun yang ada dalam hatinya saat ini adalah amarah, bukan kenyamanan seperti biasanya. Hanya satu kata yang mampu diucapnya,

"Lepas." Dengan intonasi sedingin angin yang tadi coba digapainya, ia meminta —lebih seperti memerintahkan orang di belakangnya untuk meninggalkannya sendiri.

"Tidak mau, p'." Yang dibelakang bersikeras. Mungkin rasa bersalah melingkupinya. Semakin mengeratkan pelukannya saat yang didepannya makin memberontak.

"Aku sedang tidak ingin menyakiti orang, terlebih dirimu. Jadi sebelum aku berubah pikiran, lepaskan aku." Ia tahu manusia yang mendekapnya saat ini tak akan melakukan apapun meski ancamannya berubah menjadi tindakan.

Dan entah mengapa ancaman itu berhasil. Orang yang dibelakangnya kini sedikit mengendurkan tangannya. Baru sedetik ia merasa itu berhasil, dugaan itu sudah dipatahkan lagi dengan aksinya menggenggam tangan.

Jari-jarinya sedikit merentang karena dimasuki jari orang lain. Kemudian satu kepala mendarat lembut di bahu kirinya.

Cause it's too cold for you here, and now
So let me hold both your hands in the holes of my sweater

"Tapi kau memasukkannya kedalam kantung celanaku. Dasar penggombal tidak konsisten!" Ejeknya pada yang tadi bernyanyi.

"Memangnya bagaimana cara agar aku dapat memasukkan tangan p' ke dalam kantung sweater-ku kalau aku saja tidak pakai sweater?" Kepalanya ia putar 90 derajat menghadap kepala yang ada di bahunya, kemudian beralih melihat pakaian yang dipakai si pemilik kepala. Kaus lengan buntung. Nice.

"Kongpob!" Kini kepala yang tadi bersandar sudah terangkat, dan senyum sumringah terpampang disana. Senyum yang selalu meneduhkan. Tapi kali ini menjengkelkan.

Ia menarik si pemilik kepala berlari ke dalam penginapan. Manusia ini butuh dimarahi rupanya!

"Kau memikirkan apa sampai malam-malam ke pantai pakai kaus tanpa lengan, hah?!" Ia tidak berteriak, namun intonasinya yang terkenal dapat menggetarkan seisi ruangan ospek itu tetap bisa terasa meski suaranya tak keras.

"Tapi p' Arthit sendiri pakai celana pendek. Kan sama saja?" Raut kebingungan yang dibuat-buatnya makin membuat jengkel. Jelas ia memiliki postur tubuh yang lebih mudah terserang penyakit, masih saja mengeyel!

"Tidak sama, Kongpob! Kau lebih mudah sakit dibanding aku! Sadar tidak sih?!" Kini ia terduduk dan tertunduk, tak mampu membalas.

"Lagipula, sedang apa kau disini? Bukankah pendidikanmu masih lama selesai disana?" Nadanya sedikit menyindir, ia benar-benar kalut belakangan ini, tapi orang yang sedang disindirnya seenaknya pergi dan muncul tanpa pemberitahuan.

Jangan-jangan besok pagi ketika ia bangun orang ini sudah berada di tanah yang berbeda dengannya lagi!

"Aku.. rindu.. p'.." bisiknya lirih, terdengar sedikit isakan disana. Mungkin ia takut karena bentakan yang tadi, atau mungkin yang akan datang (?)

"Tak ada juga yang menyuruhmu pergi sejauh itu. Tanggung lah resiko atas tindakanmu sendiri." Ia membelakangi kasur sekaligus orang yang duduk diatasnya.

Tindakan itu menuai respon yang sebenarnya sudah sangat terduga. Tapi karena datangnya tiba-tiba, ia jadi sedikit tidak siap dengan hantaman tubuhnya.

"Maaf... hiks" isakan diakhir kata itu membuat iba sebenarnya. Tapi ia masih kesal!

"Sudah, sana tidur. Aku tau kau lelah." Ia menepuk punggung tangan sang lawan bicara, mengisyaratkan agar segera melepasnya. Anggukan kepala terasa dibalik punggungnya, tapi tangan yang melingkar tak kunjung lepas. Hingga kepalanya muncul lagi dari balik bahunya.

"Cium~" dengan mata tertutup dan bibir manyun ia meminta.

Mendengar suara bindeng tanda habis menangis itu, ia tak tega.

Cup

"Sudah, sana." Perintahnya sekali lagi.

"Sekali lagiii~"

"Tid—" terlambat. Ia dibungkam duluan.

.
.
.

SONGS OF US [SOTUS THE SERIES]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang