3 | Jakarta Biennale―Sarinah

33 1 0
                                    

"Ra, buruan. Orangnya baru keluar Sekretariat HMD nih."

"Sabar, Di. Sabar!"

Jujur saja, setelah mendapat kabar seperti itu dari Pak Anang, malamnya, aku langsung nelepon Diana dan bercerita semuanya kepadanya. Ia menyarankan hal yang gila, ia memintaku untuk datang menemui Kak Nara, untuk sekedar mengucapkan terima kasih. Tapi, saran Diana tidak salah. Aku juga ingin sekali meluruskan hubunganku dengan perempuan yang menjadi kekasih Kak Nara. Tapi, satu hal yang membuatku malas melakukannya adalah; aku takut jika akan ada drama lain yang bermunculan.

Dengan headset yang berada di kedua telingaku, dan suara Diana yang mengoceh mengatakan jika Kak Nara sedang berada di depan Sekretariat HMD Manajemen, kakiku melangkah cepat dari gedung perkuliahan. Pasalnya, Diana begitu semangat membantuku untuk menemui Kak Nara.

"Aduh, Di, aku dengar-dengar ya, Kak Pandan Arum yang bodynya kayak model Victoria Secret itu bukan pacarnya Kak Nara. Kamu santai aja, sih. Siapa tau, Kak Nara kecantol sama kamu, kan."

Mengingat-ingat suaranya yang kemarin di telepon membuat kepalaku pening. Aku tidak fokus dengan apa sebenarnya hubungan antara Kak Nara dengan perempuan itu. Tujuanku disini hanya ingin berterimakasih, udah itu saja. Aku tidak ingin menimbulkan drama lagi.

"Ra, dia masuk lagi ke sekre."

Ku biarkan suara Diana mendominasi percakapan, sampai akhirnya ku matikan panggilan tersebut tepat saat aku mendapati sosok Diana yang agak jauh berada di depan Sekretariat HMD.

Posisinya begitu memalukan, dia berusaha seperti tidak terlihat tapi dia menengok dari satu pohon yang lebarnya bahkan sangat kecil, yang orang-orang bisa melihat bagaimana posisi Diana di belakang pohon itu.

"Di, ngapain?" tanyaku sambil menyilangkan kedua tanganku. "Kamu kelihatan tau kalau ngumpet disini."

Diana menepuk pundakku. "Lama banget sih? Dia masuk lagi ke sekre."

Aku menghela nafas, "Iya, nggak apa-apa. Sekarang aku mau nyamperin dia." Langkahku berniat maju untuk berjalan menuju sekretariat. Kemudian, ku berbalik ke belakang, menatap Diana. "Kamu diam disini aja." lanjutku, dan terlihat ia memberikanku ucapan semangat lewat gerak-geriknya.

Ada-ada saja, memangnya aku berhadapan dengan siapa? Aku hanya mengucapkan terimakasih. Ku gelengkan kepalaku lalu dengan langkah yang mantap berjalan menuju sekretariat. Tepat saat aku ingin mengetuk pintu sekretariat, tiba-tiba seseorang telah membukanya. Seorang laki-laki, lebih tepatnya Kak Farrel. Aku ingat dia, ia yang waktu masa orientasi mengantarkanku pada Kak Nara. Laki-laki itu tampak kaget melihatku, dan sementara disini aku hanya melempar senyum kikuk.

"Dara Ayu, ya?"

Sebenarnya, aku tidak kaget jika ia tau namaku. Ia terlihat tidak suka denganku sejak awal. Aku mengangguk kecil, mengiyakan pertanyaannya. "Iya, Kak." Aku menatap ke dalam, lalu melanjutkan ucapanku, "Kak Naranya ada?"

Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Tatapannya menatapku seolah-olah ia tidak percaya jika aku mencari Kak Nara. Pandangannya kemudian menatap ke belakang, "Nar, dicariin." ucapnya dengan nada yang sedikit berteriak.

Samar-samar kudengar suara berat Kak Nara, "Siapa?"

"Sini aja." balas Kak Farrel.

Beberapa detik kemudian, muncullah Kak Nara dengan setelan kemeja merah kotak-kotak yang menutupi kaos hitam yang ada di dalamnya. Ia menatapku sambil mengerutkan dahinya.

Aku bisa melihat Kak Farrel yang menepuk pundak Kak Nara beberapa kali. "Gua makan dulu." ucap Kak Farrel lalu ia meninggalkan kami berdua di depan pintu sekretariat.

REMINISCENCEWhere stories live. Discover now