Diana
Ra, dimanaa?Aku menghela nafas panjang dan membalas pesan singkat dari Diana. Aku sedang di kantin FEB dan duduk seorang diri saat jam perkuliahan hari senin berlangsung, makanya kantin agak sedikit leluasa dan aku bisa memfokuskan diriku untuk berpikir. Setelah membalas pesan singkat Diana, aku kemudian mengeluarkan buku to-do-listku yang berwarna biru dengan tambahan putih di bagian atas buku tersebut.
Ku tuliskan tanggal hari ini. Memikirkan beberapa hal yang harus aku lakukan beberapa jam ke depan. Minggu pertama kuliahku termasuk ke golongan hari-hari yang baik-baik saja. Aku menikmati kuliah disini. Tidak ada hal yang begitu berarti yang menggangguku.
Jam sebelas pagi, aku harus menyelesaikan tugas Ekonomi Mikroku. Jam makan siang, aku harus menemui Diana dan menemaninya untuk membeli beberapa keperluan untuk kosannya. Jam tiga sore aku harus segera menuju ke Kafe Light untuk mengisi pergantian shift Angela. Jam sembilan malam aku pulang ke rumah dan mencicil tugas Organisasi Tata Niagaku. Ah, lama kelamaan aku menulis to-do-listku hari ini, membuatku pening karena aku menyadari jadwalku begitu padat.
Ku teguk air putih yang ku bawa dari rumah. Aku kemudian mengeluarkan buku Ekonomi Mikroku yang tebal dan mulai mengerjakan tugas sesuai dengan to-do-listku.
Jam setengah sebelas, aku mulai menyadari kantin FEB mulai ramai. Sesi pagi telah usai, otomatis Diana sudah menyelesaikan kelasnya. Bagi yang belum tau, aku dan Diana beda kelas. Kami sekelompok dulu ketika masa orientasi dan berasal dari satu departemen―Manajemen. Ia dahulunya bersekolah di SMAN 1 Jogja, sedangkan aku SMAN 5. Aku tidak mengetahui eksistensinya dulu ketika SMA, ya maklumlah, Jogja itu luas.
Jam sebelas lebih lima belas menit, aku menyelesaikan hasil analisisku terhadap tugas yang Pak Joko berikan di mata kuliah Ekonomi Mikroku. Aku kemudian berberes-beres dan berniat mengabari Diana.
Aku kemudian menelpon Diana. Seharusnya, dia sudah menyelesaikan kelasnya dari tadi. Ia tidak ada meninggalkan pesan untukku.
Aku berdiri dari tempat dudukku dan memilih fokus untuk menelepon Diana sambil berjalan keluar dari kantin. Mataku menerawang, berharap Diana segera menghampiriku, namun ternyata nihil, sudah dua langkah ku maju untuk menuju pintu keluar, wajah Diana tidak muncul.
Sampai akhirnya, sebuah pemandangan menyita perhatianku. Itu kan...
Biar ku gambarkan situasinya, aku melihat di pojokan kanan kantin dekat pintu keluar―Kak Nara―tengah memperhatikanku dan walaupun mataku sudah memergoki aktivitasnya, ia masih tetap memandangiku tajam seolah-olah aku adalah mangsanya.
Tidak, itu terlalu keras untuk sebuah analogi. Setelah aku membalas tatapannya―beberapa detik kemudian, ia bergurau dengan teman-teman sebangkunya.
Sedikit lagi, aku akan melewati bangkunya. Aku tidak mungkin tidak menyapanya. Aku tau dia, dan mungkin saja ia masih mengingatku. Jika aku tidak menyapanya, aku akan terlihat sangat sombong. Lagipula, dia tidak seperti senior-senior lain yang doyan memamerkan kegarangan ketika masa orientasi berlangsung. Aku bisa melihat hawa wibawa dari dalam diri, tutur dan postur tubuhnya.
Dengan posisi handphone yang menempel di telinga kiriku dan langkah yang sudah lima puluh centi meter berada dekat dari mejanya, aku kemudian memberanikan diri untuk menyapanya―tepat saat ia mengarahkan lagi penglihatannya padaku. "Duluan, Kak Nar." ujarku lalu keluar dari areal kantin.
YOU ARE READING
REMINISCENCE
RomanceBeberapa orang tau apa yang berarti untuknya, dan beberapa orang tidak tau apa yang berarti untuknya. Tapi bagaimana jika, ada orang yang sudah tau itu berarti untuknya namun berusaha menyangkalnya? Atau bagaimana jika, ada orang yang sudah tau itu...