Sudah hampir sebulan dan kampusku sekarang tengah disibuki dengan Pemira. Poster calon ketua BEM, MPM, bahkan HMD ada dimana-mana. Di setiap sudut kantin, di setiap pohon yang ada di parkiran, bahkan di setiap kamar mandi gedung perkuliahan, pasti ada saja poster-poster mereka.
Harmonisasi diriku dengan pikiranku sudah kembali baik-baik saja, mengingat aku terakhir kembali berkonflik dengan pikiranku sejak kejadian di Sarinah. Salam Dinael aku sampaikan pada Diana, responnya hanya tersenyum kecil. Seolah, ia juga malas mengungkit lagi apa yang pernah terjadi antara dirinya dan Gio.
Aku putuskan diriku untuk tidak larut di dalam konflik mereka, dan tidak menetapkan itu menjadi konflik dalam pikiranku. Aku sukses melakukannya dalam sebulan. Akupun terkesan seperti menjauhi Gio, berkali-kali aku bertemu dengannya di kampus, kami hanya bertegur sapa dan aku memilih untuk cepat-cepat pergi.
Sungguh, bukan maksudku menjauhinya. Tapi, hanya saja mungkin ini adalah jalan terbaik. Aku tidak ingin terlalu memikirkan kekecewaanku padanya karena ia telah membohongiku dan Diana juga tidak terbuka padaku. Padahal, mereka sudah kuanggap teman baikku selama disini. Aku bukanlah tipikal yang pandai berteman, tapi sekalinya aku menemukan seseorang yang kuanggap teman, aku benar-benar mempercayai mereka. Tapi sayangnya, mereka tidak mempercayaiku. Yah, semoga ada yang mengerti perasaanku.
Katakanlah aku egois, sepertinya memang. Tapi, ucapan Dinael yang mengatakan jika Gio berbohong untuk menjaga citra di depanku itu mengganggu pikiranku. Tuhkan, aku memikirkan itu lagi. Sudahlah, lupakan. Sepertinya, aku perlu mencari kesibukan lain lagi. Aku perlu menjadi sosok yang lebih sibuk dari ini.
"Woy, ngelamun aja."
Suara Diana menyadarkanku tepat saat ia duduk di sebelahku saat kami berada di Kantin FEB. Diana menyeruput milkshake yang ku pesan di kantin, ia menautkan alisnya saat aku tidak begitu merespon ucapannya barusan.
"Capek banget mukamu, Ra. Kayaknya, kamu harus break dulu deh dari kerjaan di kafe."
Aku mendengus. "Aku baru kerja tiga bulan, mana berani aku minta break." Ku letakan pulpenku saat aku selesai mengerjakan tugasku. "Kayaknya, aku mau daftar jadi pengurus HMD deh."
Seketika, Diana melotot melihatku. "Ngapain? Mau nyari Kak Nara?"
"Dia menang aja belum tentu, kan?" aku menumpu wajahku dengan punggung tanganku. "Gimana?"
"Iya, ku doakan kamu keterima."
"Gitu dong." ucapku lalu terkekeh menatap Diana. Ia tersenyum manis menatapku seraya membenarkan rambut kritingnya.
"Sebenernya, aku mau cerita sih."
Aku menautkan alisku seketika. Ku tatap perubahan mimik wajah Diana. Ia tampak menatap kanan, kiri, depan dan belakang posisinya. Seolah menjaga-jaga kehadiran seseorang agar tidak menguping pembicaraan kami. Ia mendekat ke arahku.
"Aku di chat sama kak Arkharega."
"Hah? Itu siapa?" tanyaku, spontan. Aku tidak tau menahu orang-orang di departemenku selain orang-orang yang pernah kusebutkan.
"Itu! Wakil ketua HMD yang sekarang."
Aku menggeleng pelan. "Nggak tau."
"Ish, parah banget." ucapnya, ia kemudian menyedot milkshakeku lagi sampai habis. "Udah dari lima harian yang lalu, sih. Sumpah, kejadiannya drama banget."
"Drama gimana?"
Terlihatlah wajah malu Diana, sebelum memulai cerita. Ia menarik nafas. "Jadi gini..." ia mengambil jeda, lalu melanjutkan beberapa detik kemudian. "Waktu itu, waktu sebulan yang lalu ya, kamu kan ke Sekretariat HMD buat nyari Kak Nara, nah sebelumnya itu aku ketemu Kak Arkharega itu. Ganteng banget. Gimana sih layaknya junior yang kepincut sama seniornya pada pandangan pertama..."
YOU ARE READING
REMINISCENCE
RomanceBeberapa orang tau apa yang berarti untuknya, dan beberapa orang tidak tau apa yang berarti untuknya. Tapi bagaimana jika, ada orang yang sudah tau itu berarti untuknya namun berusaha menyangkalnya? Atau bagaimana jika, ada orang yang sudah tau itu...