Sepi ialah Entitas Ketidaksingkronan Hati atas Lingkungan

982 44 1
                                    

Aku tidak tahu puisi jenis apa yang bisa digores tuk tulisan kali ini. Langit lagi kelabu-kelabunya, cuaca memburuk, dan entah kenapa ... berimbas pada rasaku yang sama sekali tidak dalam keadaan terbaiknya.

Perasaan murung, sedih, lalu berujung pada satu rasa yang menyebalkan: sepi.

Tak peduli seberapa ramai suasana sekitar, seberapa keras orang-orang mengajak tertawa, yang tersisa hanyalah aku dan diriku sendiri. Lalu pikiran-pikiran itu melayang pada cara dimana pertama kali kita berkenalan dengan cara sindiran dan bahkan sarkas. Masih kuingat betul bagaimana aku duduk di atas meja depanmu persis, dengan kamu yang menggaruk-garuk rambutmu. Tatapanmu menyiratkan tanda tanya menyebalkan, atau bentukan lain dari protesmu akanku.

San, dunia tidak pernah lagi sama sejak kau pergi. Atau... saat satu demi satu lelaki itu hanya membuat harapan-harapanku melambung, lalu menghempaskanku dengan kekosongan yang tak beralasan.

Diterbangkannya aku ke lapis-lapis kebahagiaan yang tak pernah tuntas, sebab di lapis keberapapun itu, aku biasa 'dihilangkan' dari mayapada kebahagiaan sepenuhnya.

Aku ingin sekali kembali ke waktu itu. Dimana dunia tidak perlu dipikirkan terlalu keras. Saat canda dan tawa tak perlu disikapi dewasa. Hanya sifat kekanak-kanakkan saja rasanya sudah cukup ampuh menggenapkan rasa bahagia yang saling kita bagi, mutualisme.


San, terlalu banyak kenangan yang sebelumnya menjadi rentetan peristiwa 'beraneka rasa' terjadi dalam hidupku. Dan semuanya beraklimatisasi menjadi secuil harapan kosong yang tak pernah tuntas, tak pernah tergenapkan.

Sibuk bertemu dengan dunia baru, sibuk dengan tawa-tawa palsu yang ujung-ujungnya merajam diri sendiri saat sepi bermanifestasi jadi tak sekedar utopi.

Mahligai ayal yang digadang-gadang akan jadi catatan terbaik dalam memiliki pasangan yang sempurna sifat dan rupanya, hanya akan jadi cara pahit kehidupan menelikung diri dengan ketidaknyataan yang relevan.


San...
Bahasa-bahasaku ini harapnya bakal jadi semacam wangsit, agar kelak, saat tahun baru datang ... kesepian bukan lagi komoditas tabu, melainkan hanya secuil rasa tak perlu di rungsingkan.

Ah, apalah dayaku yang tak pernah bersahabat dengan cinta dari pasangan manusia. Hanya Tuhan yang akhirnya akan mencabut nyawaku --sebentar lagi-- dan dijadikanNya entah apa. DipasangkanNya dengan sosok bagaimana. Rahasia-rahasia Tuhan itu, San, semoga segera pertemukan kita.

AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang