1. Menjadi Istri

205K 7.9K 358
                                    

"Saya terima nikah dan kawinnya Hasna Inayah binti Salim al Ghani dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai!"

Sah!

Sah!!

Sah!!

"Alhamdulillah ..." Serempak seluruh orang yang datang dikediamanku mengucap syukur. Kecuali aku.

Medina Maharani, teman kerjaku, memelukku dan mengucapkan selamat atas status baruku. Aku dan hatiku seketika mati.

Pintu terketuk. Tak lama, helaian kayu terbuka dan pria itu masuk mendatangiku. Hasyim Al Fattah, Pria yang baru saja menyebut namaku dalam ijab kabulnya. Suami ku.

Rani beranjak meninggalkanku bersamanya. Ia bahkan menutup dau pintu dan membiarkan keheningan melingkupiku dan suamiku. Oh, sebenarnya aku malas menyebutnya suamiku!

Pria itu menatapku tenang. Sedang aku sibuk mengontrol gemuruh emosi dan amarah yang masih bercokol didadaku. Ia mengulurkan tangan kekarnya dan menyentuh pucuk kepalaku. Membuatku menunduk dan memejamkan mata setengah hati. Ia merapalkan doa dan aku tak mengamininya. Aku tak ikhlas menjadi istrinya.

Istri seorang duda yang usianya terpaut belasan tahun denganku. Duda yang memiliki masa lalu kelam bersama istrinya dan memiliki satu anak. Itu yang kutau sejauh ini tentang dirinya. Selebihnya, aku tidak tau dan tidak ingin tau. Lebih tepatnya, tidak peduli.

"Mas mau apa!?" refleks aku berkata lantang seraya mencekal tangan kekar itu saat tiba-tiba jemari pria itu berusaha membuka hijabku. Tolonglah, ini masih pagi dan bahkan resepsi kami belum dimulai.

"Aku sudah berhak atas dirimu dan Aku boleh melihat bahkan menyentuh setiap inchi tubuhmu." Suara itu pelan dan dingin. Entah mengapa, membuat nyaliku menciut dan tubuhku seketika meremang. Aku takut pada pria ini.

Tubuhku gemetar dan air mataku perlahan menetes. Sungguh, aku tak menginginkan pria ini yang memilikiku! Tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya bisa pasrah dan merintih dalam hati kala telapak tangannya perlahan membelai pipi hingga leherku.

Aku terkesiap kala tiba-tiba pria itu mendaratkan satu kecupan lama di rahang bawahku. Tepat pada goresan luka panjang yang membekas disana. Dari seluruh bagian wajah, mengapa Dia justru mencium luka itu?

"Jangan menangis! Percayalah, aku tidak seburuk yang kamu kira." Pria itu mengusap air mata yang masih menetes di wajahku. Ia memasangkan kembali jilbabku setelah sebelumnya mengecup keningku sesaat.

Tak lama, beberapa orang membuka kamar pengantinku dan mengatakan bahwa aku harus keluar untuk menandatangani surat nikah dan mengambil beberapa photo bersama keluarga.

**********

Lihatlah Hasbi, Ia tampak mencintai dan hangat pada Medina, sahabat yang mendadak menjadi istrinya. Aku mencintai Hasbi sudah sejak lama. Namun Tuhan dengan kuasa dan 'adil'nya, justru memberikan Hasbi yang hangat dan penyayang itu pada wanita dingin seperti Medina.

Kadang apa yang adil menurut Tuhan, tak adil menurutku.

Aku selalu berharap, bahwa Hasbilah yang akan Abah pilih untuk menjadi imamku. Bukan pria tua penghuni rawa-rawa ini yang justru ditakdirkan memilikiku. Baiklah, tiga puluh tujuh tahun tidaklah terlalu tua, namun bagiku yang masih dua puluh tiga tahun, Dia sangat tua!

"Jangan terlalu lama menatap masa lalu. Fokus pada apa yang terbaik untukmu dan keluagamu." Pria itu berbisik lirih. Namun ucapan dan nada dinginnya mampu menyadarkanku seketika. Bahwa aku, tidak boleh bermain-main dengan perasaanya.

Abah memilih pria tua ini sebagai suamiku, bukan tanpa alasan. Abah menderita hipertensi yang menyebabkan beberapa waktu lalu mendapatkan serangan struk ringan. Abah, tumpuan hidup keluarga kami, memiliki tambak ikan dan garam sebagai mata pencaharian dan sumber penghasilan keluarga kami. Sejak Abah mendapatkan serangan struk itu, Abah tak lagi bisa beraktifitas lama di luar ruangan. Dokter pun menyarankan Abah untuk istirahat dan beraktifitas di dalam rumah saja.

When I Know, It Was You (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang