Bagian 8

2.5K 196 6
                                    


Aku melangkah ke teras depan dengan wajah yang mungkin sudah seperti apa. Mengenyakkan pantat di pagar pembatas teras. Menarik napas dalam-dalam. Mencoba meredakan rasa aneh yang tetiba bersemayam saat tanpa sengaja tatapan mataku bertemu dengan Rian.

Semua gara-gara Adit. Kalau saja tuh anak tidak cari masalah. Aku terlupa ada Rian di antara kami. Nyaris saja kami berpelukan. Bukan. Aku yang nyaris memeluk dia demi menjangkau Adit yang berusaha berlindung di balik punggungnya yang lebar. Tuh anak kacrut emang.

Kenapa ada rasa itu? Aku seperti merasa sedang berselingkuh. Apa ini terjadi karena Mahesa yang mendiamkanku? Sementara di sini ada Rian. Yang walau tak berbuat apa pun ia selalu setia mendengarkan semua keluh kesahku tentang laki-laki itu.

Tapi jujur ada rasa tak rela di sini. Aku belum siap menukar sosok Mahesa dengan siapa pun. Walau hanya sebuah ikatan maya, tapi rasaku ini nyata. Lalu bagaimana dengan debar yang menyapa saat aku berada dekat dengan Rian?

Mungkin benar kata orang. Tak ada persahabatan antara lelaki dengan seorang perempuan. Apalagi yang satu jomblo, dan satunya lagi tengah rapuh.

'Eh ... Rian jomblo gak sih? Tau ah. Yang pasti malam minggunya kerap dihabiskan bersama Adit. Ya kali pacarnya Adit. Haks ...'

Aku tersenyum sendiri membayangkan itu. Habisnya mereka dekat banget. Bahkan tidur pun bareng. Halaah! Bersyukur selama ini kulihat tak ada yang aneh dengan pertemanan mereka. Ah ... semoga saja.

Tak tau harus ngapain, aku mengutak-atik gawai yang beberapa hari terakhir ini agak jarang terjamah. Nggak terlalu jarang juga sih, tapi tidak seperti biasanya. Rasanya ada sesuatu yang hilang sejak Mahesa memutuskan hubungan secara sepihak.

Emang tega tuh orang.

Mataku melebar menatap layar ponsel saat ada pesan masuk dari messenger.  Seperti mimpi. Benarkah ini?

'Nes.'

Sesaat aku masih tertegun. Masih belum percaya Mahesa yang mengirim chat ini.

Lalu ....

'Abang ....'

'Lagi ngapain?'

Aku mendongak. Malam ini lumayan cerah, bertambur bintang. Alangkah romantisnya andaikan Mahesa ada di sini.

'Plak! Lo mikir apa sih, Nes?'

'Liat bintang. Kamu sendiri lagi ngapain?' Aku balas bertanya.

'Liat bintang juga.'

Seseorang tetiba muncul dari belakang pintu. Rian. Aku menoleh cepat. Chatku dengan seseakun terhenti. Sejenak kami bertatapan. Di tangannya juga tengah menggenggam gawai yang baru saja ia mainkan. Entah chat dengan siapa.

Dia terlihat makin tampan dengan rambut gondrongnya yang diikat asal. Bahkan sinar bulan itu seakan pindah ke wajahnya.

'Halaah, Nes. Nes.'

Sayangnya, di sini nama Mahesa yang masih bersemayam.

Rian tersenyum padaku lalu duduk di salah satu kursi. Masih setia menatap ke layar ponselnya. Aku mencoba menetralisir darah dalam tubuh yang kembali terasa bergejolak. Aneh. Apalagi dalam suasana seromantis ini. Hanya berdua. Tuhan, jangan biarkan rasa ini berselingkuh.

"Rian ...," panggilku pelan memecah keheningan di antara kami.

"Hmm?"

"Punya akun facebook juga ya?"

Dia tidak menjawab. Malah memalingkan wajah ke arah depan.

"Gue mau curhat!" Lagi-lagi aku berucap.

Pacar Online (KolabYantiPeka)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang