Bab 12

5.3K 398 86
                                    


    
          Apa yang lebih menyakitkan dari sebuah kata perpisahan? Terlebih saat rasa ini baru kembali utuh. Kenyataan harus membuatku terhempas.

"Abang ... mau pergi."

"Hah?" Meski telah menyangka ada sesuatu yang akan ia omongin, tapi sama sekali tak terpikir di benakku tentang ini. Bagaimana bisa?

"Abang dapet kerjaan, tapi bukan di sini."

Binar-binar yang tadi nyata seketika meredup. Lalu berganti dengan kaca-kaca.

"Di mana ...?"

"Di kota lain."

Sesaat kami sama-sama hening. Sampai akhirnya tanpa bisa dicegah mulai meluncur tetes air di sudut mata ini.

"Lagian kan ... kamu masih SMA. Ntar Abang merintis kerja, sementara kamu fokus sekolah dulu," lanjutnya pelan.

"Tapi jauh ...."

"Iya, jauh ...."

"Pulangnya kapan ...?" tanyaku. Berusaha agar tangis ini tidak pecah.

"Entah. Untuk awal-awal jelas belum bisa seenaknya pulang ... kalo udah beberapa bulan baru bisa."

"Nanti ... kalo kangen ... gimana?"

"Kan ada medsos, Sayang ...."

Aku menunduk untuk mengusap sudut mata yang telah basah. Lalu kembali mendongak, menatap wajah tampan itu. Yang sementara waktu mungkin untuk terakhir kalinya.

Ada yang terpotek di sini.

"Padahal baru aja seneng ...," ujarku dalam gumaman.

Rian menarik napas panjang saat untuk kesekian kali menatap tetes bening yang meluncur di sudut mataku.

"Itu artinya ... kita balik cuma jadi pacar online lagi ...." Aku memastikan.

Bang Mahesa hanya terdiam. Lalu ....

"Ness ...."

"Ya?"

"Bisa jaga hati, nggak?"

Pertanyaan macam apa itu.

"Abang meragukanku?"

"Bukan gitu, Nes."

"Kalau gitu jangan pergi."

"Tidak bisa, Nes. Ini demi masa depan Abang. Kalau Tuhan mengizinkan masa depan kamu juga."

Aku menarik napas, agar sesak ini sedikit berkurang.

"Kuliah Abang?"

"Tinggal skripsi. Itu bisa dikerjakan di mana saja."

"Kalau gitu, pergilah!"

"Nes ...."

"Abang pergi saja!"

"Nessa!"

Aku tak tahan lagi. Segera bangkit, ingin cepat-cepat berlalu dari hadapannya. Ini seperti mimpi, baru beberapa jam yang lalu ia memberikan kebahagiaan. Merasakan jadi pacarnya secara utuh. Ternyata untuk yang pertama juga terakhir. Jahat memang.

Rian menyambar tanganku saat melewatinya. Menautkan jemari dan menggenggamnya erat.

"Nes ... dengerin Abang!"

Suaranya yang penuh penekanan membuatku mendongak. Pandangan matanya yang sayu tapi tegas serasa menghipnotis. Aku terpaku untuk sesaat.

"Kita hanya terpisah jarak dan waktu. Kenapa tidak jadikan itu sebagai pemacu semangat belajarmu? Buat Papa dan Mama bangga sama kamu, seperti yang sudah-sudah."

Pacar Online (KolabYantiPeka)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang