Valleta menatap miris tubuhnya, pakaian nya berantakan, rambutnya juga. Hatinya tiba-tiba sakit, sekali lagi ia bertanya pada hatinya.
Salahkah seseorang menolak untuk terus mempertahankan keperawanan nya?
❀❀❀❀❀
Setelah kedatangan Kefas malam itu, tidur Valleta makin tidak tenang. Dia takut jika Kefas akan menelusup masuk ke rumahnya, menemuinya, kemudian membawanya pergi dengan paksa.
Setelah Kefas pergi bersama mobilnya, Valleta kembali kekamarnya.
Satu jam...
Dua jam...
Tiga jam...V
alleta tetap tidak bisa tidur. Akhirnya dengan berat hati ia melangkah keluar kamar dan mengetuk pintu kamar kakaknya. Meski ia tahu akan mengganggu, namun lebih baik ada Alisa disampingnya untuk menjaganya.
"Loh, kamu belum tidur?" Alisa bertanya karena terkejut melihat adiknya mengetuk pintu kamarnya tengah malam begini. Ia mengucek-ngucek matanya yang tampak rekat karena tidur.
"Kak, temani aku."
Alisa terkejut karena permintaan adiknya yang tidak biasa, namun melihat wajah takut yang berusaha disembunyikan Valleta membuatnya akhirnya mau menemani adiknya tidur.
Namun tetap saja meski sudah ada Alisa di kamarnya, Valleta tetap tidak bisa tidur.
"Kak?" Panggil Valleta yang melihat Alisa masih tenang membaca buku di sofa yang tak jauh darinya.
"Belum tidur juga?" Tanya Alisa kemudian menutup bukunya dan melihat Valleta yang sedang menatap langit-langit kamarnya.
"Belum." Jawab Valleta.
Alisa seolah mengerti apa yang ada di pikiran adiknya. "Pasti kamu lagi mikirin Kefas ya? Kamu jangan cemas, kakak akan selalu menjaga kamu dari laki-laki gila itu."
"Tapi kak... Valleta sudah menyukai dia sejak pertama kali kita bertemu... di VVIP room waktu itu." Kalimat itu keluar saja tanpa dipikirkan nya terlebih dahulu.
Ruangan yang hening itu mendadak menjadi ribut, lampu gantung yang menyala warna kuning itu kini menjadi lampu bewarna putih dan kedua perempuan itu duduk saking terkejutnya.
"Serius?" Teriak Alisa tak percaya sambil menatap adiknya.
Valleta mengangguk sedih, "Iya kak.... Valleta suka sama dia, Valleta cuma gak nyangka kalo dia adalah laki-laki yang seperti itu." Kata Valleta sedih. Ia tidak mungkin menjelaskan detail nya kenapa bisa suka dengan orang brengsek itu kepada kakaknya kan.
"Kenapa kamu harus ketemu laki-laki brengsek itu sih?" Tanya Kak Alisa kesal. Alisa merutuki kesalahan nya karena mempertemukan Valleta dan Kefas. Karena itu adalah sebuah kesalahan yang fatal.
Valleta cemberut, "Kakak yang membuatku menemuinya... kalau saja saat itu kakak membiarkanku minum air putih didepan bartender." Ujarnya.
Kak Alisa mengelap wajahnya frustasi, "Tapi dance floor itu penuh kelakuan bejat Valleta. Kakak mau have fun dan gabisa jagain kamu 100% kan. Gimana nanti kalo kamu diapa-apain sama orang. Club itu memang club berkelas, tapi orang tak hanya bisa dinilai dari uangnya saja kan. Gayanya berkelas namun bisa jadi dia adalah orang yang paling tidak terduga." Kata Kak Alisa berusaha menahan sabar, dia tidak ingin ada lelaki hidung belang yang menyentuh Valleta walau hanya sehelai rambut saja.
Valleta menerawang kembali langit-langit kamarnya, "Dia ganteng, wajahnya seperti pangeran di negeri dongeng." Kata Valleta sambil mengingat bagaimana sempurna wajah Kefas saat itu.
Alisa menatap Valleta, dia tahu benar jika adiknya sudah mencintai seseorang, maka dia tidak akan menyerah sebelum orang itu yang memintanya pergi lebih dulu.
"Beberapa jam yang lalu dia datang kak, dia mencuri first kiss ku." Kata Valleta kemudian memejamkan matanya mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Ia berpikir bahwa Alisa harus mengetahui nya.
Mata Kak Alisa meredup, dia benar-benar tidak bisa melakukan apapun ketika Kefas sudah bertindak terlalu jauh, apalagi jika itu lebih dari ciuman. Alisa tahu bahwa nanti Kefas akan tetap memburu Valleta untuk meminta lebih, baik secara halus maupun kasar.
"Apa yang kamu rasakan ketika dia merebut first kiss mu?" Tanya Kak Alisa.
Kini giliran Valleta menatap kakaknya, "Saat kulitku bersentuhan dengan nya... bzzzt seperti ada listrik yang menyengatku, dan ketika bibirnya mencium bibirku aku merasakan sensasi baru yang membuatku nyaman dan yakin bahwa dia adalah orang yang aku cintai. Namun aku juga tidak bisa memastikan nya, bisa saja itu hanya sensasi karena untuk pertama kalinya aku ciuman di bibir." Jawab Valleta sedih.
Alisa mengusap wajahnya kasar, "Jika dia meminta lebih apa kau akan memberikan nya?" Ia tahu, ia tidak berhak menanyakan pertanyaan yang terlalu vulgar ini kepada adiknya karena itu adalah privasi. Tapi ia harus menjalankan tugasnya sebagai kakak untuk melindungi adiknya.
Valleta berpikir sejenak, "Tentu tidak."
"Kenapa? Katanya kau mencintainya?"
Mata Valleta berkaca-kaca, "Aku tidak akan memberikan keperawananku pada pria yang bahkan sering merasakan keperawanan orang lain juga kak." Kata Valleta dengan nada bergetar.
Alisa tersenyum kemudian menepuk pundak adiknya, ternyata Valleta masih sadar mana yang baik dan mana yang buruk. Itu membuat Alisa sedikit merasa lega.
"Kak...."
"Iya Valle?"
"Apa papa dan mama akan marah kalau tahu ada orang yang berbuat kurang ajar seperti ini?"
Alisa mengangguk, "Tentu saja, kau paling muda dari kami semua. Kau belum tahu jahatnya dunia ini Valle. Apalagi ibu, pasti akan cemas."
"Lalu Valle harus bagaimana?"
"Semua pria itu brengsek Valleta, kau harus tau itu. Jangan sampai kau bertemu dengan nya, kalau bisa kau menghindarinya."
"Tap...tapi kak, dia..dia..."
Alisa menatap Valleta kemudian tersenyum, "Incar kelemahan nya."
Valleta mengusap air matanya kemudian mendekat dan memeluk kakaknya, "Kak Alisa yang terbaik dari yang terbaik... makasih ya kak sudah mendengarkanku. Aku akan selalu berhati-hati." Ini yang Valleta suka dari kakaknya, cerita apapun yang diceritakan Valle, ia tidak berusaha untuk menghakiminya. Seolah hanya Alisa yang bisa memahami adiknya.
Alisa hanya tersenyum kemudian mengelus punggung adiknya, "You're welcome my sister." Bisik Alisa lembut. "Udah sekarang tidur ya, jangan cemas. Kakak akan jagain kamu disini. Berdoa dulu supaya tidurmu lebih nyenyak."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Destiny!
Teen FictionMenjadi bergelimang harta tak selalu membuat pemiliknya bahagia. Bahkan terkadang dalam satu waktu di hidupnya, ia berpikir lebih baik bahwa ia menjadi orang yang berkecukupan saja. Menjadi orang kaya membuatnya harus memenuhi tuntutan keluarga ini...