Tapak sol high heels Vig meninggalkan jejak kotor di sepatu Deven. Tak disangka, tenaga pengacara ibunya lumayan kuat. Buktinya tiga jari kakinya ngilu, semoga tidak patah.
Vig melenggang pergi begitu saja, tak menghiraukan kesakitan korban kekesalannya. Pasien rumah sakit menoleh ingin tahu ada perdebatan apa. Sekejap saja sebelum kemudian sibuk dengan kerepotan masing-masing.
Perempuan lain akan bersikap malu-malu dan lembut seperti putri Solo demi mengesankan Deven. Vig sebaliknya, tak ambil pusing orang menilainya liar cenderung kejam.
Menghampiri penjual minuman, makanan ringan, dan tisu dekat loket penerimaan pasien, Deven menunjuk kemasan tisu basah. Satu-satunya lembar uang yang menghuni dompetnya adalah pecahan lima puluh ribu.
"Ambil saja kembaliannya." Deven mengibaskan tangan menolak.
Bagusnya, pasien dan tenaga medis di sini tak mengenalinya sebagai Deven Dhanapati yang populer. Mustahil seorang selebritis papan atas datang ke rumah sakit rakyat kebanyakan.
"Umur tiga puluhan, kelakuan kayak anak tiga tahun." Deven bergumam mengusapkan helai putih lembab non alkohol itu ke area bekas injakan. Sepatu mahal merek lokal yang membungkus kakinya sedang jadi buruan. Harganya tak semahal merek terkenal, tetapi peminatnya membludak karena kualitas bagus dan harganya murah. Deven berencana menandatanganinya lalu melego dengan harga lebih tinggi.
"Kenapa sepatunya?" tanya suara merdu perempuan dengan sedikit sengau.
Tatapan Deven tertuju pada sepatu ballerina biru muda. Cowok itu mendongak mendapati rok terusan bunga-bunga berbahan chiffon menutupi mata kaki dan hijab biru muda yang serasi meliliti leher. Gadis ini amat jangkung. Tatapan Deven beralih pada hidung mancung khas Yaman yang menghasilkan suara sengau. Sepasang mata berbinar sang dokter yang memikat Deven seakan mengajak masuk ke dalam pusaran jiwa dan menyatu, balas menatapnya. Senyumnya masih sama cerah dengan ketika Deven mengejarnya di Saung Mang Uus.
"Fika," kata Deven tanpa tergagap. Serta merta cowok itu membuang tisu bekas ke tong sampah, mengambil kotak mawar dari bangku plastik di sebelahnya, lalu memberikan isyarat agar Rafika duduk tanpa menjawab pertanyaan.
Rafika mengenyakkan diri di sana. Semburat merah muda menjalari wajah ovalnya ketika Deven meletakkan kotak mawar di pangkuannya.
"Dalam rangka apa?" Sepasang alis lebat hitam mengernyit tatkala Rafika berusaha mengingat kalau-kalau hari ini adalah ulang tahunnya atau apa.
"Tidak perlu alasan untuk memberikan mawar."
Jawaban Deven seketika menambah rona malu-malu Rafika. Sang dokter membuka karton berlapis mika transparan. Penjual bunga telah menyemprotkan parfum artifisial sehingga aroma kuatnya membuat kepala berputar. Rafika menutupnya kembali.
"Sudah makan siang?"
Deven mencuri kesempatan untuk menemui Rafika lantaran jenuh berkencan dengan pesohor. Dia belum menyiapkan apa pun selain mawar warna-warni tadi untuk mengesankan sang dokter.
"Belum." Suara merdu Rafika mencuri hati Deven.
"Suka makan apa?"
Rafika menelengkan kepala, memikirkan alternatif menu di kepalanya.
"Kalau ada yang segar-segar mungkin enak."
Deven mengangguk mengerti. Rafika seperti kebanyakan perempuan lain, sungkan mengatakan maunya secara terang-terangan. Berbeda dengan Vig. Deven merutuki dirinya, kenapa malah mengingat perempuan sadis itu?
"Saya tahu restoran yang akan kamu suka. Yuk." Deven hendak menggandeng tangan putih langsing Rafika. Namun, sang dokter mendekap kotak mawar sebagai penolakan halus, seolah mengatakan tidak mau bersentuhan dengan laki-laki yang bukan mahram.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTINOMI
ChickLitSembilan tahun menjalin hubungan cinta dengan Agra Omardi, Vigilante Ignacia bimbang akan dibawa ke mana kisah mereka. Masa lalu mama Vig selalu dibawa ke permukaan setiap membahas persoalan itu. Deven Dhanapati, cowok gahar agak bengal vokalis band...