Nelson Mandela pernah berkata, "Kebencian adalah seperti meminum racun dan berharap musuhmu yang terbunuh."
Boleh saja Mandela benar, tetapi pasti pahlawan Afrika Selatan itu tahu tidak ada manusia yang ingin terjatuh dalam sumur kebencian, membiarkan hati terpuruk meratapi sesuatu atau seseorang yang sama.
Deven tidak membenci Vig maupun orang tuanya. Salahkah jika dia ingin ayah dan ibunya rukun seperti pasangan normal?
Gerbang besar rumah keluarga Gregory Pangkahila, ayah Gideon, dibuka satpam ketika Mustang Deven mengklakson dari jauh. Cowok itu mengangguk pada satpam kemudian melambai pada seorang pria beruban yang sedang mencuci mobil. Hanya itu yang bisa dia lakukan ketika sedang kalut.
"Siang, Mas Deven" teriak Pakde Awan, sopir keluarga Pangkahila yang sudah mengabdi sejak Gideon belum lahir. Pria yang masih setia mengenakan setelan safari layaknya pejabat orde baru itu tengah mencuci Mercedes 280ge putih koleksi Gregory.
Deven mengangguk sekilas. Di atas panggung, publik mengenalnya sebagai sosok ramah. Kenyataannya, Deven kurang suka berbasa-basi.
Pakde Awan berdiri dari posisi dekat ban lalu memberi aba-aba. "Kiri, Mas. Kiri lagi. Balas kanan. Awas pot bunga."
Mustang biru itu terparkir sempurna di samping Mercedes milik Gideon.
"Ooop!" Pakde Awan mengangkat tangan.
"Makasih, Pakde." Deven mengulurkan uang pecahan seratus ribu.
"Makasih, Mas." Pakde Awan memasukkan uang itu ke saku safarinya.
"Diandra masih di sini?"
"Masih, sama Mas Dion."
Kalau teman-teman Gideon suka memanggilnya Gepe, kependekan dari Gideon Pangkahila, atau Gide, Pakde Awan enggan mengubah panggilan kepada majikan mudanya itu sejak lahir. Di rumah, hanya Pakde Awan yang memanggilnya Mas Dion.
"Saya masuk dulu, Pakde."
Deven berusaha tetap tenang saat melewati pintu utama menuju ruang tamu yang baru saja ditata ulang. Patung yang merupakan suvenir dari berbagai belahan dunia yang tadinya menghuni meja konsol, sekarang disimpan dalam lemari tanpa kaca dan dijadikan penyekat dengan studio musik tempat latihan personel Blue Ribs.
Suara bass yang meraung garang terdengar saat Deven membuka pintu ruang musik.
"Woi, Pen!" Gideon sontak berhenti memainkan bass saat temannya masuk dengan mata nyalang.
Deven memindai seisi ruangan. Dia melihat peralatan musik yang familiar. Drum, bass, kibor, gitar, bahkan ada biola dan flute yang amat jarang dipakai. Tidak ada Diandra.
Tak menjawab sapaan Gideon, Deven membuka pintu vocal booth tempatnya biasa mengolah vokal. Seingatnya di sana ada dipan kecil yang dia duduki untuk menghafal lagu dari partitur.
"Dipan di sini mana?!" bentak Deven.
"Woy, woy, santai. Enggak usah ngegas gitu. Diandra di sebelah. Dipan dikeluarin sama Gaz soalnya udah reot banget. Dia sama Brian lagi ke toko buat beli yang baru. Katanya mau beli yang bisa dijeblak jadi tempat tidur gitu, biar enak." Gideon terbahak seorang diri. "Paling bentar lagi balik."
Kemarahan bercampur kekhawatiran Deven membuatnya ingin melempar Gideon dengan microphone. Itu bisa dia lakukan nanti.
Deven keluar dari vocal booth menuju control room. Kalau nanti mendapati Diandra tercolek sedikit saja, dia mempertimbangkan untuk menghajar Gideon di atas mixer besar antik kesayangan Gregory Pangkahila.
Diandra tertidur di karpet control room, memeluk bantal hati hadiah fans Brian, sang drummer. Masih mengenakan seragam SMA, rambutnya jatuh di bahu menutupi kantong logo OSIS.
Deven berlutut di samping adiknya. Bulir air mata mengalir dari sela-sela matanya yang terpejam. Diandra membolos lagi. Ranselnya diletakkan dekat ujung kakinya. Ulu hati lelaki itu serasa ditusuk, mengakibatkan luka dalam tak berdarah. Deven mengusap pipi Diandra.
"Papi," lirih Diandra. Air matanya mengalir. "Papi.... Pulang."
"Adik lo udah begitu. Tadi tidur di sofa depan, terus pas gue tinggal ke WC, malah pindah ke sini. Mungkin karena keberisikan denger gue main." Gideon ikut berlutut di samping Deven.
"Apa?" tanya Gideon saat Deven menatapnya bengis.
"Lo enggak apa-apain dia kan?"
Gideon mendengus seperti naga di film fantasi. "Kalau gue apa-apain, adik lo bakal ngigau, 'Gideon, lagi.... Enak....' Bukannya 'Papi, Papi' gitu."
"Brengsek lo, Gide! Bukan waktunya bercanda!" Deven mencengkeram kerah kaus Gideon.
"Hei, santai!" Gideon menepis tangan Deven dengan kasar. "Gue berusaha bikin lo tenang. Ngerti enggak sih?!" Dia berdiri.
"Gue tau penyakit lo," balas Deven, ikut berdiri.
"Ya terus mau lo apa? Adik lo baik-baik aja. Nggak gue apa-apain."
"Tapi gue nggak suka cara ngomong lo yang melecehkan. Jangan samain Diandra dengan cewek-cewek lo yang bisa lo apain aja!" bentak Deven, kembali meraih kerah kaus Gideon.
"Diandra emang bisa gue apa-apain kalau gue mau. Tapi gue tau diri, nggak akan 'makan' cewek yang harus gue jaga!" Suara Gideon meninggi, menantang Deven. Dia paham masalah keluarga sahabatnya. Namun menolak dijadikan sasaran rasa frustrasi Deven.
"Udah, Pen, Gid!" Gaz yang baru datang dengan Brian langsung memisahkan dua sahabatnya.
"Lo berdua kenapa sih?" tuntut Brian setelah berhasil melepaskan tangan Deven.
"Tanya aja tuh sama vokalis Blue Ribs!" Gideon masih tak terima atas perlakuan sahabat sejak kecilnya.
Deven bungkam karena marah dan parahnya tak tahu harus menumpahkannya di mana atau kepada siapa.
"Tenang, Pen." Brian menggiring Deven dari control room menuju kamar Gideon, ngeri kalau lelaki itu marah menyasar peralatan mahal Gregory. Ada komputer, berbagai instrumen musik, dan Play Station. Lumayan bisa dibanting.
Selama ini Deven jarang marah. Kalaupun marah hanya mengebut dengan Mustang. Tahu-tahu sudah ada di Puncak. Tapi barusan cowok itu terlihat murka, seperti kerasukan iblis. Brian harus mengantisipasi.
"Kalem, Pen," ujar Brian selembut mungkin. Deven duduk di ranjang, masih tak bersuara. Gaz kebagian tugas menenangkan Gideon.
"Pen, orang tua gue enggak pernah menghadapi masalah kayak orang tua lo. Gue enggak akan bacotin lo soal perceraian. Apalah gue yang nikahin anak orang aja belum berani." Brian berhenti bicara, memeriksa situasi. Deven sudah lebih tenang. Merah padam di wajahnya berangsur memudar.
"Pen, gue hanya bisa nyaranin, lo ngobrol lah sama Mami lo. Kalau Mami lo enggak bisa diajak ngobrol, bisa sama Om Wira."
"Percuma. Lo enggak tau gimana gue mencoba! Om Wira malah nyuruh Mami gue ke kantornya. Dan pengacara Mami gue emang, bedebah banget." Sosok Vig yang mungil tapi menyebalkan berkelebat.
"Pengacara ya?" Brian berpikir. "Kalau enggak salah, lo habis dari kantor pengacara kan? Dan dia cewek?"
Deven diam lagi.
"Umurnya berapa?" tanya Brian.
Deven membalas, "Buat apa gue urusin umur dia?"
"Sensi amat sih." Brian menggaruk kepalanya, kesal dengan kelakuan Deven kalau sudah begini. "Kalau pengavara itu masih muda dan single kan bisa lo deketin. Bujuklah supaya dia mengundurkan diri dari kasus ini. Kalau dia sayang sama lo kan pasti nggak mau orang tua lo cerai."
Deven menoleh, menyorot ke dalam mata Brian.
"Serem banget lo, Pen." Brian bergidik.
Sedetik kemudian, ujung bibir kanan Deven naik memahat sebuah senyum tipis. "Bri, bantuin gue mencari apa pun tentang Vig. Tanggal lahir, almamater, kehidupan keluarga, dan semuanya. Perceraian orang tua gue enggak boleh terjadi. Demi Diandra."
***
Hello Readers,
Jangan lupa komen dan kasih bintang untuk chapter baru Antinomi ya.
Love,
💕Belladonna Tossici💕
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTINOMI
أدب نسائيSembilan tahun menjalin hubungan cinta dengan Agra Omardi, Vigilante Ignacia bimbang akan dibawa ke mana kisah mereka. Masa lalu mama Vig selalu dibawa ke permukaan setiap membahas persoalan itu. Deven Dhanapati, cowok gahar agak bengal vokalis band...