"Dan kamu mau gitu saja diminta ketemu sama keluarga cewek lain?" Emosi serasa membakar perut Vig. Panasnya merambat ke kerongkongan. "Oh my God! Agra, masa kamu enggak bisa merasakan keluarga kamu lagi berusaha jodohin kamu?"
Agra membuka pintu mobil. "Jangan terlalu sering meramal dan bikin asumsi. Lagipula, aku enggak mau jadi anak durhaka."
"Kamu enggak bilang kalau ada aku, pacar kamu delapan hampir sembilan tahun?" desak Vig. Ini bukan ruang sidang. Vig dan Agra tidak sedang bertarung di depan hakim menunjukkan siapa yang paling benar. Seharusnya mereka melepas kangen dengan cara yang lebih romantis.
"Vig, aku sudah terlambat. Kita bahas ini nanti ya." Agra mengecup kening Vig lalu buru-buru turun menggeret kopernya.
Agra wajib menjaga perasaan kedua orang tua, Vig tahu. Namun, apa susahnya bersuara memperjuangkan hubungan mereka? Delapan hampir sembilan tahun bukan waktu sebentar.
Vig menenangkan diri, takut menyetir dalam keadaan murka. Diarahkannya semua lubang AC ke wajahnya hingga kemarahannya mendingin. Vig melanjutkan perjalanan ke pengadilan, mendaftarkan berkas gugatan.
Sebuah chat masuk ke WhatsApp.
Deven Dhanapati:
Di mana, Bu?Vigilante Ignacia:
Ini masih di jalan, Deven. Tunggu sebentar ya.Deven Dhanapati:
Saya tunggu di Saung Mang Uus.Karena bagi orang Indonesia waktu bukanlah sesuatu yang penting dan bebas dibuang-buang, maka sudah rahasia umum mengurus apa pun di negara ini selalu lama. Vig menebak dia akan terlambat.
Sementara itu di Saung Mang Uus, Deven menunggu pengacara ibunya. Audemars Piguet di pergelangan tangannya menunjukkan waktu makan siang. Dia menyesap kopi hitam dari cangkir keduanya, lalu berdecak sebal. Bayangkan, dua jam menunggu dalam ketidak pastian. Orang yang ditunggunya cuma bilang, "Sedang di jalan."
Yang benar saja. Mungkin maksudnya jalan di Papua sana. Masa dua jam belum sampai?
Penampakan luar Deven memang terlihat seperti berandal. Rambutnya dipangkas pendek, agak cepak malah demi menghindari risiko kena jambak fans gilanya yang suka mengerumuni dan menarik-narik dirinya. Namun, tato ular kobra di lengan kiri Deven meneriakkan kata kebebasan.
Jangan salah, meski menggores kulit dengan jarum dan tinta yang sulit sekali hilang untuk mengesalkan kedua orang tuanya, Deven tidak pernah main-main soal disiplin. Sejak kecil dia sudah bangun sebelum matahari terbit.
Wajah Deven dipasang datar, artinya sedang kesal. Matanya sampai pedih menatap layar ponsel yang dia scroll dari tadi untuk membunuh kebosanan.
Ayahnya yang mewariskan sifat hidung belang pernah bilang, "Harga diri berasal dari mulut. Jika kita mengingkari kata-kata yang telah dibuat, sama saja melecehkan orang lain. Pada akhirnya orang lain pun akan melecehkan kita."
Kalau dalam hal kesetiaan Deven menganggap ayahnya cuma membual, setidaknya pria yang menyumbangkan sperma agar Deven bisa lahir ke dunia itu masih pantas dicontoh kedisiplinannya.
Dunia usaha tempat Kresna Dhanapati – Ayah Deven – bergulat tidak mengizinkan kata terlambat. Pernah sekali waktu Kresna terlambat membalas e-mail calon kliennya dari Jepang. Seketika tawaran pun hilang. Calon rekan bisnisnya beralih pada perusahaan lain yang lebih bisa diandalkan.
Begitupun dalam industri hiburan. Banyak yang bisa Deven lakukan kalau si kura-kura sudah datang dari tadi. Apakah si kura-kura tidak tahu dua jam berharga ratusan juta? Terakhir kali menghibur fans di Singapura, suara dan iringan musik band-nya dihargai satu miliar rupiah untuk tampil selama dua jam. Artinya Deven sudah kehilangan banyak hal karena menunggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTINOMI
ChickLitSembilan tahun menjalin hubungan cinta dengan Agra Omardi, Vigilante Ignacia bimbang akan dibawa ke mana kisah mereka. Masa lalu mama Vig selalu dibawa ke permukaan setiap membahas persoalan itu. Deven Dhanapati, cowok gahar agak bengal vokalis band...