5. Kamu Lagi

4.6K 581 93
                                    

Punggung Vig menyandar pada dinding keras. Tangannya tak sanggup bergerak untuk menampar. Amarah bercampur kepedihan seolah membentuk awan kelabu menudungi kepalanya. Mana laki-laki yang membuatnya jatuh cinta?

Perasaan Vig pada Agra tumbuh perlahan, bukan instan dari tabrakan seperti adegan sinetron. Kantin kampus siang itu, sembilan tahun lalu menjadi tempat bersejarah. Mahasiswa ramai mengisi perut. Sebagian besar mengobrolkan hal ringan. Dua orang mahasiswa Fakultas Kehutanan malah memilih topik anti mainstream.

"Istri gue nanti harus perawan dan bisa masak," celetuk teman Agra. Semangkuk bakso pesanannya dia aduk-aduk. Kuahnya merah karena cabe.

"Gue enggak peduli, istri gue bisa masak atau enggak. Menikah itu untuk membangun rumah tangga, bukan membangun rumah makan." Agra setuju masakan ayahnya lezat. Sebagai perbandingan, kucing peliharaan keluarga Omardi akan melengos angkuh jika disodori masakan ibunya, tetapi makan dengan rakus bila diberi masakan ayahnya. "Dan soal perawan, asal lo tahu Amazon menjual selaput dara palsu untuk menipu laki-laki pemuja perawan kayak lo," katanya seraya menusuk lengan kawannya dengan telunjuk.

"Perawan itu harus dijaga sampai menikah," celetuk sebuah suara. Agra menoleh ke kanan, ke kiri, mencari wajah yang dia kenal. Nihil. Seorang gadis mungil tahu-tahu duduk di bangku kosong sebelahnya. Gayanya terlalu percaya diri, lebih besar daripada tubuhnya yang, maaf saja, ramping dan pendek.

"Maaf nimbrung." Gadis itu menyodorkan tangan dan menyunggingkan senyum cerdasnya. Rambut dikuncir, poni ala anak SMP. Agra sempat mengira dia tersasar. "Vigilante, FH."

"Agra," ucapnya setengah terkesima. "Boleh tahu alasannya?" Agra tergelitik mengetahui isi kepala Vig.

Vig menatapnya serius, meletakkan tangan di atas meja, kemudian menyuarakan pendapatnya, "Keperawanan adalah simbol seorang perempuan sanggup menjaga diri."

Mereka berdebat setelah itu. Cukup sengit, Vig mempertahankan argumen habis-habisan.

Di mata Agra, Vig adalah domba ungu di antara domba putih. Unik dan mencolok. Di kota sebesar Jakarta, seks sebelum menikah sudah lumrah. Laki-laki itu belum tahu alasan sebenarnya kenapa Vig ngotot dengan pendapatnya. Aneh, tapi Agra melihat semangat menyala di wajah gadis itu sebagai suatu hal yang seksi.

Setelah diskusi panas, pertemuan mereka dilanjutkan diskusi dengan topik lain. Kafe, pameran, dan seminar mereka kunjungi. Semakin dalam percakapannya dengan Vig, semakin Agra menaruh hormat.

Pada suatu senja Agra mengajak Vig ke Ancol. So old fashioned, begitu pikirnya. Pasangan era 70-an menganggap Ancol romantis meski kenyataannya perut Agra mual oleh amis air laut. Dia sengaja tidak mengajak ke tempat yang lebih mahal demi menguji perasaan gadis itu. Setelah beberapa bulan jalan bersama, Agra berani menggandeng Vig menyusuri bilah-bilah kayu anjungan.

"Aku serius sama kamu, Vig." Agra menyelipkan anak rambut gadis itu, yang diterbangkan angin, ke belakang telinga. Matahari sedikit lagi jatuh sepenuhnya ke ufuk barat. "Be my girl."

Vig tidak mau menipu dirinya. Bohong kalau dia tak punya perasaan yang sama. Namun, mengingat gaya pacaran anak muda, dia meragu.

"Tapi aku enggak bisa melakukan itu. Tahu kan?"

Seribu satu cara laki-laki merayu perempuan melakukan zina. Namun, Agra bersumpah tak akan melakukannya. Dia menatap Vig cukup lama. Gadis itu menunduk mendengar jantungnya menabuh melodi kegugupan.

"Aku enggak akan maksa kamu melakukan yang enggak kamu suka. Pegang janjiku." Agra mendaratkan ciuman manis ke kening Vig.

Kembali ke masa kini, kilas balik kenangan terasa mencabik hati. Ke mana Agra dan janjinya?

ANTINOMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang