3. Tidak Didukung

5.3K 640 192
                                    

Sepeninggal para tamu karena jam istirahat yang berakhir, karyawan restoran mulai sibuk. Mbak-mbak yang rata-rata mungil dan langsing hilir mudik memunguti piring kotor lalu membersihkan meja. Pengki dan sapu bekerja membersihkan lantai dari sisa makanan serta tisu yang berceceran. Vig ingin berlama-lama di sini. Kapan-kapan akan mengajak Virginia.

"Piringnya sudah, Kak?" Salah seorang pelayan tersenyum pada Vig.

Vig mengangkat siku. "Udah," balasnya membiarkan piringnya berpindah ke troli penuh piring kotor.

Karna ku selow sungguh selow
Sangat selow tetap selow
Santai santai jodoh gak akan ke mana.

Karna ku selow sungguh selow
Sangat selow tetap selow
Santai santai ku yakin tuhan berikan gacoan.

Nama 'YA' tertera di ponsel Vig. Peneleponnya adalah orang yang hanya mau menerima kata 'YA'. Namanya Yamadipati Arsyad, jelmaan Dewa Kematian.

"Ya, Mas," sapa Vig.

"Lancar kan, VI?" Yamadipati jarang berbasa-basi. Semenjak lulus kuliah, Vig tidak pernah pindah kantor. Rekan kerja datang dan pergi, tetapi Vig belum tergoda mencari tempat kerja baru.

"Deven menolak jadi saksi." Jantung Vig berdebar keras menunggu reaksi bosnya. Penolakan bisa membuat Yamadipati murka. Cukup lama laki-laki paruh baya itu diam saja di seberang. Vig sudah siap menerima dampratan.

"Ya sudah, cepat balik kanan!"

Mood bekerja Vig berada di titik minus, tapi sebagai pekerja yang baik, dia menggeber mobilnya kembali ke kantor.

Indira menarik tangan Vig sebelum sampai kubikel. Dari balik kacamata berbingkai mata kucing, manik mata wanita itu tajam memperingatkan.

Indira adalah alumni fakultas hukum sebuah universitas swasta yang terkenal melahirkan banyak pengacara tersohor. Dengan Vig, dia memiliki kesamaan yakni tidak suka coba-coba. Play safe. Mungkin karena itulah keduanya cocok.

"Ngagetin. Gue hampir jatuh tau!" sungut Vig meletakkan tas tangan dan tote bag di atas meja kerja.

"Sssst... Ada Bu Amira di ruangan YA," bisik Indira seraya membuang tatapan ke pintu ruangan Yamadipati.

Yamadipati memanggil dirinya dan para pengacaranya dengan inisial nama. Misalnya VI untuk Vigilante Ignacia dan ID untuk Indira Dhani.

Interkom di meja Vig berdering. "Iya, Mas."

"Vi sudah pulang. Ke ruangan saya sama WW dan LM," perintah Yamadipati. WW yang dia maksud adalah Wirahadi Walraven, adik Amira. LM alias Laura Malau adalah anak magang yang membantu.

Kubikel Wira tepat di sebelah Vig. Jemarinya sontak berhenti mengetik sesuatu di laptop lalu melirik juniornya. Dia mengambil dasi di laci dan membuat simpul double knot melingkari lehernya. Vig sendiri memakai blazer hitam.

"Udah rapi belum?" Wira bertanya pada Vig. Gadis itu membenarkan simpul dan kerah kemeja Wira kemudian mengangguk.

Laura sebagai anak bawang mengekor saja dengan agenda bersampul kulit. Melintasi lorong yang diapit lukisan neo impresionisme yang menggambarkan pemandangan desa, mereka melangkah sampai tiba di ruang paling besar di ujung. Wira mengetuk pintu jati bercat cokelat dan papan nama emas. Yamadipati mempersilakan masuk.

"Nah, Vi sudah datang," kata Yamadipati. Rambut memutih dan jas Prada semakin memancarkan aura tegas.

Amira Walraven Dhanapati duduk anggun di hadapan Yamadipati. Jujur saja Vig menghitung cepat dalam otak, berapa biaya perawatan wanita ini. Kaca mata Chanel penangkal cahaya matahari dia naikkan ke kepala. Tubuh rampingnya pas dibalut gaun sutera merah marun selutut. Make up teraplikasikan sempurna menutupi kerut di wajahnya. Untuk usia awal lima puluhan, Amira tahu cara berbusana dan menjaga kecantikan.

ANTINOMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang