Pengakuan

139 14 13
                                    

"Kamu suka Ranky?" tanya lelaki yang duduk di depan Finka.

"Iya. Kenapa memangnya?" jawab Finka dengan santai.

Segelas jus mangga yang hendak diminum Finka kini digeser oleh sosok itu.

"Tapi kamu itu kan pacar aku," tegas Vandri. "Terus raga kamu masih akan tetap dengan aku, sekalipun seluruh hati kamu tertuju sama dia?"

"Kamu maunya gimana? Aku berpindah ke dia atau tetap ke kamu?" Finka bertanya dengan ekspresi datar.

"Kok kamu malah nanya ke aku?" Vandri memalingkan wajah.

"Kan kamu yang tanya aku duluan suka dia atau nggak."

Vandri menghela napas panjang. Jika saja perempuan yang di hadapannya bukan orang yang dia suka mungkin dirinya sudah benar-benar hilang kendali.

"Gak ada laki-laki yang rela kekasihnya tinggal di hati orang lain, Fin."

"Kamu yang paksa aku untuk tinggal di hati kamu, bukan aku yang masuk dengan keinginan sendiri," balas Finka.

"Tapi Ranky gak suka sama kamu. Dia bahkan gak kenal kamu. Aku udah tanya dia tadi pagi."

"Oh, gitu," Finka tetap tenang. Matanya mulai berkeliling ke area kantin. Ia tidak fokus dengan keberadaan Vandri yang duduk di hadapannya.

"Finka!" bentak Vandri. Batas kesabarannya sudah habis.

Finka sempat terkejut melihat sikap lelaki itu. Ia kemudian melihat jam di tangannya sambil memikirkan sesuatu. Vandri menghela napas berat. Merasa menyesal telah membentak Finka namun juga kesal menghadapi situasi yang dihadapinya saat ini.

"Jam sepuluh lewat sepuluh. Finka dan Vandri sudah mengakhiri kisah. Sekarang kita kembali jadi orang asing. Jangan pernah saling tanya seolah kita teman, ataupun saling perhatian seolah kita masih pacaran," ucap Finka yang langsung bangkit dari kursi.

"Fin, kamu tuh kejam banget sama aku," Vandri menahan lengan Finka.

"Seharusnya kamu memilih dicintai dibanding mencintai. Jangan mencintai orang yang gak mencintai kamu," kata Finka.

"Kata-kata itu cocok untuk kamu, bukan untuk aku. Cari orang yang cinta sama kamu, bukan sama orang yang bahkan gak pernah jatuh cinta sama kamu. Kalau kamu bisa bertahan mencintai orang lain, lalu kenapa aku nggak, Fin?" balas Vandri tak menyerah.

"Udahlah, Van. Kamu cari yang lain aja," Finka mencoba melepas tangan yang mencengkeramnya.

"Meski aku gak memenangkan hati kamu, tapi aku juga gak mau kalah dalam memperjuangkan kamu, Fin."

Finka terdiam sebentar.

"Balikan, ya?" Vandri sungguh berharap.

"Vandri, ada hal yang harus kamu sadari secepatnya tentang cinta. Saat memaksakan seseorang mencintai kamu, maka hanya akan menghadirkan luka. Hubungan pun gak akan berjalan baik. Kita harus sama-sama belajar untuk melupakan," Finka mengucap dengan senyum simpul.

Vandri terpaku. Finka pun melangkah meninggalkan Vandri yang penuh luka di hatinya. Sungguh, ia tak bisa berbuat apapun saat ini. Gadis itu telah mencampakkannya demi orang lain.

***

"Mana Vandri? Biasanya diantar dia kalau ke kelas," tanya Risya saat melihat Finka berjalan masuk kelas sendirian.

"Ngapain dianter-anter? Udah kayak anak PAUD aja dianter ke kelas."

Risya terkekeh mendengarnya. "Saking dia cinta mati sama Finka!"

"Udah putus barusan. Jangan dibahas lagi orangnya. Kasihan," balas Finka yang langsung duduk di bangkunya.

"Serius?!" Risya histeris hingga beberapa siswa di kelas melihat ke arahnya. Finka menaruh satu jari di depan bibirnya, memberi isyarat agar sahabatnya itu tetap tenang.

"Jadi akhirnya kamu beneran putus sama dia? Demi cinta yang gak jelas itu? Duh, ini anak bodohnya keterlaluan, deh! Cowok sebaik dia diputusin? Parah!" kata Risya yang tak sungkan untuk mengutuk sahabatnya. Finka sendiri sudah tahu watak Risya yang memang seperti itu. Jadi ia tak perlu sakit hati ataupun tersinggung.

"Aku emang bodoh, jahat, egois, pokoknya gak ada bagus-bagusnya," ucap Finka. Ia tengah memaki diri sendiri.

"Tapi aku hanya ingin memperjuangkan perasaan aku sama orang yang aku suka. Sesuatu yang mungkin harusnya aku lakukan sejak dulu. Seenggaknya sebelum lulus SMA dan pergi ke Jepang, aku ingin memastikan perasaan orang itu. Sekali aja, aku ingin berjuang dengan sungguh-sungguh."

Risya langsung duduk di samping Finka dan memeluknya dengan erat. Ia tahu betul bahwa Finka benar-benar menyukai seseorang dengan perasaan yang cukup besar. Di sisi lain, ia pun merasa kasihan pada Vandri yang telah diputuskan. Si lelaki yang selalu berjuang untuk meluluhkan hati Finka.

"Sebenarnya siapa sih orang yang kamu suka? Kenapa kamu gak pernah sebut namanya? Apa kita kurang dekat untuk berbagi rahasia? Atau ... Vandri udah tahu duluan dibanding aku? Makanya kalian putus. Ayolah, jangan rahasiain terlalu lama."

Finka menarik napas berat. "Aku merasa bersalah sama Vandri. Tapi akan lebih menyakitkan untuk dia kalau dibiarkan terlalu lama. Aku merasa gak bisa mengobatinya, untuk itu aku berusaha menghentikan dia sebelum dia benar-benar terluka."

"Dia udah terluka, Fin. Siapa yang gak terluka saat putus cinta?"

"Justru itu sebelum tambah parah. Yang putus cinta aja terluka, apalagi cinta yang gak kesampaian?" Finka memasang wajah murung. Situasinya kurang lebih seperti itu jika ia tidak berhasil putus dengan Vandri. Terjebak pada cinta yang tak membuatnya bahagia, sementara dirinya pun terpisah dengan orang yang ingin ia gapai.

"Akan aku ceritakan semua, Ris. Tapi gak sekarang. Saat ini aku cuma mau tenang dulu dari tragedi putus ini. Kamu tahu banget Vandri baiknya gimana, kan? Gak mudah untuk memutuskan dia selama ini. Aku gak pernah punya celah, selain pas tadi." Finka menghela napas.

"Ya udah. Sekarang kamu jangan banyak pikiran. Beban kamu juga berat. Vandri perlu cari cara untuk mengobati lukanya, dan kamu juga perlu mengatur perasaan lagi saat ketemu Vandri nanti. Setidaknya jangan telalu jahat. " Risya mengelus pundak Finka, "dan juga, kamu harus siap tempur untuk memperjuangkan orang yang kamu suka," Risya menepuk-nepuk bahu Finka kemudian memeluknya lagi. Berusaha memberi sedikit semangat.

Finka berusaha tersenyum. Perasaannya kini lebih baik dari sebelumnya. Saat ini ia ingin melupakan rasa bersalahnya pada Vandri. Namun sepertinya, itu tidak akan mudah untuk orang sebaik Vandri.

Bel masuk pun berbunyi. Keduanya kemudian kembali duduk ke bangku masing-masing.

Finka mulai membuka buku, baru saja ingin mengeluarkan bolpoin, ponselnya bergetar. Jarinya lalu membuka pesan saat guru Fisika mulai memasuki kelas.

Kamu tahu kan, aku selalu menyayangi kamu.

Pesan dari Vandri. Finka segera mematikan ponselnya. Diam-diam hatinya meminta maaf dengan penuh ketulusan hingga menutup mata. Ini berat, tapi hatinya menolak untuk bersama Vandri lebih lama. Ia menginginkan orang lain. Orang yang telah cukup lama mengurung hatinya untuk tidak jatuh pada orang lain.

KATAOMOITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang