Wahai Lelaki Pelindung

53 7 7
                                    

"Finka makan dulu," suara Tante Nayla terdengar di balik pintu kamar.

"Iya, Tan," sahut Finka yang sudah berganti dengan piama. Ia lalu segera turun ke ruang makan.

"Gimana rencana kamu buat kuliah di Jepang? Sudah bulat tekadnya?" tanya Om Revo di tengah acara makan malam.

"Emh ... ya-yakin sih," jawab Finka.

"Kok gugup? Belum yakin tuh berarti," ujar Tante Nayla. "Jangan-jangan ada orang yang gak mau kamu tinggalin ya di sini selain Tante dan Om?"

"Enggak kok, Tan. Cuma ... belum yakin sampe seratus persen aja. Aku pengen sih kumpul bareng Mama dan Papa di sana. Tapi ...."

"Tapi kenapa? Masih ragu, kan?" Om Revo berhenti mengunyah. Finka terdiam.

"Enggak seragu itu sih. Hanya ... aku berada dalam pilihan yang gak mudah aja." Finka menghela napas. "Mengambil keputusan ternyata gak mudah. Saat sebuah pilihan diambil maka artinya kita telah meninggalkan pilihan lain. Jadi aku perlu pikirkan hal itu dengan matang. Tapi Mama dan Papa tetap mewajibkan aku ke sana."

"Kamu suka sama seseorang, ya?" Tante Nayla tersenyum. Finka ikut tersenyum simpul.

"Aku gak bisa jawab, Tan. Jadi daripada diinterogasi, aku mau cuci piring aja sekarang," ucap Finka yang beranjak dari kursi setelah selesai makan. Om dan Tantenya tertawa. Mereka paham betul sifat keponakannya yang sering menghindari pertanyaan-pertanyaan pribadi. Khususnya permasalahan cinta.

"Kabur nih, yee!" kata Om Revo yang masih terkekeh. Finka jadi ikut tertawa di dekat bak cuci piring yang tak jauh dari ruang makan.

Finka memang tinggal bersama Om dan Tantenya sejak SMA. Ia memilih tinggal di Indonesia ketika kedua orang tuanya memilih untuk melanjutkan karier di Jepang. Kedua orang tuanya kini menjadi salah satu pebisnis yang sukses di jepang.

Dengan hadirnya pertanyaan tadi Finka jadi termenung. Bayang-bayang kejadian di kantin pun tiba-tiba muncul di kepala. Ia jadi kesal dan mulai meremas spons yang ada di tangan kanannya, begitu pun dengan botol sabun cuci piring di tangannya sebelah kirinya.

"Nyebelin!" Finka bersuara dengan setengah berteriak.

"Ya ampun, Finka!" suara lain muncul di samping Finka.

Dengan refleks Finka menengok ke sumber suara. Terlihat Tantenya yang tengah memegang setumpuk piring kotor dari meja makan membulatkan mata dengan mulut membuka. Pandangan Tante Nayla tertuju ke samping lain Finka. Gadis itu segera mengikuti arah pandang tantenya. Gadis itu terkejut ketika melihat sesosok lelaki tengah menatapnya dengan wajah berlumuran sabun cair.

"Sorry, Jey!" Finka berucap sambil melihat tangannya yang memegang botol sabun pencuci piring. Ia tak sadar bahwa telah menghentakan botol sabun ke bak cuci piring saat kesal tadi hingga isinya menyembur.

"Gila lo, ya. Sepupu sendiri disamain sama piring kotor!" keluh Jey dengan wajah tak terima.

"Gak sengaja. Lagian kenapa juga muncul gak bilang-bilang." Finka segera mencuci tangannya yang juga terkena sabun.

"Finkaaaaa!" Jey berteriak kesal mendengar jawaban Finka. Tanpa basa-basi gadis yang berbuat salah itu langsung berlari menuju tangga.

Saat membuka pintu kamarnya yang berada di lantai dua, samar-samar terdengar suara Jey yang masih mengeluh bersamaan dengan suara tawa ibunya, Tante Nayla. Jey adalah anak tunggal yang usianya lebih muda satu tahun dari Finka. Jey pun bersekolah di tempat yang berbeda dengan Finka.

Finka kemudian berjalan menuju toilet dan membilas lagi tangannya yang masih bersisa sabun, tak sempat sampai bersih saat ia terancam oleh sepupunya.

Ia lalu berjalan ke meja belajar. Sebuah laci dibuka lalu dikeluarkannya sebuah kotak. Ia membukanya perlahan. Di dalam kotak tersebut ada sebuah kacamata berukuran cukup besar yang telah retak. Gadis itu mulai mengingat kejadian setahun lalu. Kejadian saat ia hendak memberikan sebuah kertas berisi pengakuan perasaan terhadap seseorang.

"Kak Ranky, tunggu!"
Finka yang menggelung rambutnya dengan asal berusaha berlari mengejar Ranky yang tengah berjalan bersama teman-temannya dengan jarak yang cukup jauh. Kala itu Finka masih memakai kacamata. Lelaki itu tak mendengar panggilannya hingga Finka terjatuh saat berlari terlalu cepat karena tersandung batu.

Finka jatuh telungkup dalam balutan seragamnya. Kacamatanya pun terlepas dan jatuh. Penglihatannya menjadi buram. Ia lalu mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Sebuah tangan terulur tiba-tiba. Awalnya Finka tak melihat wajah itu dengan jelas, tapi saat dibantu berdiri ia mampu melihat wajah itu dalam jarak yang dekat. Papan namanya terlihat jelas di bagian dada.

Finka tersenyum mengingatnya. Kacamata yang telah rusak itu kemudian disimpan kembali ke tempatnya. Ia kemudian merebahkan tubuh di atas ranjang.

"Aku udah berubah sejauh ini. Bahkan udah putus dengan Vandri. Sebaiknya aku gak boleh nyerah. Gak boleh gampang emosi. Harus tetap semangat untuk berjuang mendapatkan dia," ucap Finka sambil menutup mata dengan napas berat.

Memikirkan hal itu, Finka merasa begitu lelah hingga berniat untuk tidur lebih awal agar kepenatan dan beban hatinya berhenti sejenak. Sayang, niatnya kandas saat ponsel miliknya berdering keras. Finka segera bangkit dan melihat nama orang yang menelepon. Risya.

"Kenapa, Ris?" tanya Finka.

"Gawat, Fin! Kak Ranky sama gengnya malam ini diincar berandalan yang suka ganggu sekolah kita. Aku tahu ini dari temannya Pamira."

"Apa? Kok bisa?"

"Iya. Kak Ranky sama gengnya seminggu lalu sempat berantem sama mereka gara-gara belain si Ujang yang waktu itu digangguin mereka. Duh, si Pamira katanya bahkan gak dibolehin keluar rumah sama Ranky karena takut dicelakain."

"Terus kamu di mana sekarang?"

"Di tempat yang gak jauh dari berandalan itu mangkal."

"Ris, bahaya tahu!" Finka jadi khawatir.

"Ya abisnya gimana, lokasi rumah aku kan lebih deket daripada rumah kamu. Takutnya mereka babak belur. Aku sih mau mastiin aja mereka baik-baik aja. Nanti kalau Kak Ranky kenapa-kenapa kamu nangis lagi!"

"Ok. Aku akan nyusul ke sana!" kata Finka yang langsung menutup telepon meski sempat terdengar suara Risya yang melarangnya datang.

Finka bergegas mencari jaket dan memakainya dengan cepat. Ia kemudian menuruni tangga dan berjalan ke dapur yang telah sepi. Setumpuk karet gelang yang ada di lemari diambil dan disimpan ke dalam saku jaket. Ia lalu berlari keluar rumah.

"Finka, mau kemana?" tanya Om Revo yang sedang duduk di kursi halaman rumah.

"Om, aku pinjem kunci motor sebentar boleh? Nanti aku ceritain semuanya. Please," Finka memohon. Om Revo yang tak tega melihat wajah yang memelas itu segera memberikannya. Dia selalu percaya bahwa keponakannya itu tak akan pernah berbuat hal yang aneh-aneh.

"Makasih, ya. Pokoknya Om lebih ganteng dari Jey! Bye!" ucap Finka.

Om Revo hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. "Paling bisa bikin seneng orang," ujarnya, kemudian terhenti sejenak, "waduh, dibandinginnya sama produk sendiri, Si Jey denger gak, nih?" Om Revo menengok kiri dan kanan.

"Kenapa, Pah?" Jey menatap datar ke arah Papanya. Sang Papa hanya berdeham dan pura-pura sibuk dengan ponselnya. Jey baru saja akan naik ke kamarnya dengan wajah dan poni yang cukup basah.

"Kamu mandi di bawah? Tumben gak di kamar," ayahnya mengalihkan pembicaraan.

Jey tersenyum kecut kemudian jalan menaiki tangga, "Abis cuci muka pake sabun cuci piring, bisa ngilangin dosa gak ya, Pah?"

Papanya mengerutkan kening, "Maksudnya?"

***

KATAOMOITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang