Hari Tarik Napas!

27 3 2
                                    

      "Aarrrggghh!!" Finka berteriak sambil menggigit boneka monyetnya.

      Finka merasa sangat kesal. Tidakkah kejadian kemarin mengguncang hati Argan? Bahkan bagi Finka dunianya terasa porak poranda saat mengakui rahasia besarnya. Finka bahkan rela bermain drama yang dirangkai hanya untuk menutupi perasaan dia yang sebenarnya.

      Susah payah Finka berada dalam lingkaran teman dekat Argan demi bisa tetap melihat dirinya tanpa perlu terlihat sedang jatuh cinta. Mengirim testimoni hanya untuk mendapat informasi tentang dirinya, demi tidak terlihat mencurigakan ia memberikan hal yang sama pada dua temannya.

      "Gimana ini? Aku bahkan dicuekkin setelah mengungkap perasaan. Ah, sekarang baru ngerti yang orang lain katakan tentang dia. Haruskah aku gak tahu malu dan kejar dia secara terang-terangan?" Finka mendesah sambil berguling ke kasurnya.

***

      Sinar matahari pukul tujuh pagi begitu hangat. Dalam hitungan detik bel akan berbunyi, sementara Finka masih asyik memainkan jemarinya yang tengah meraih matahari. Ia senang bagian tubuh yang disukainya itu bersentuhan dengan sinar matahari.

      "Itu anak yang katanya kemaren nyatain cinta ke Argan, kan? Wah berani banget dia."

      "Iya, gue yakin tuh anak bakal stres karena ditolak. Gue kira beneran suka ke Ranky."

      Bisik-bisik suara siswa yang tengah berjalan cepat itu membuat Finka berhenti bermain dengan terik matahari. Dia menghela napas panjang. Padahal ia baru saja mencoba membuat diri sendiri lebih relax setelah hampir semalaman tidak tidur memikirkan persoalan kemarin. Finka bergegas masuk saat Pak Satpam hendak menutup gerbang.

      Finka dapat sedikit menghindar dari pandangan orang lain kemarin karena lebih banyak bersembunyi namun hari ini ia harus terbiasa dengan menampakkan diri. Tidak mungkin selalu hidup dalam persembunyian. Menuju lulus bukanlah waktu yang pendek. 

      Pandangan orang-orang itu sesungguhnya membuat hati Finka terguncang. Menahan diri untuk berpura-pura menutup telinga. Entah harus berapa lama ia diperbincangkan orang-orang.

     Satu mata pelajaran berhasil dilewati di jam-jam awal pembelajaran, namun semua teori tak mampu masuk ke telinganya sama sekali, apalagi ke otak. Berulang kali ia berpikir apa yang akan dia lakukan setelah kejadian pernyataan itu. Lebih tepatnya apa yang harus ia lakukan pada Argan dibanding pada orang sekitar. Karena Argan adalah hal paling inti dari semua hal yang telah terjadi.

      "Aku ke UKS dulu ya. Tolong kalau Bu Saski datang terus tanya, bilang aja aku kurang enak badan," Finka berdiri dan menitip pesan pada teman sebangkunya yang tampak begitu mengasihaninya.

      "Ya udah istirahat dulu aja, nanti pingsan, aku juga yang sedih. Lagian gak tidur segala tadi malam. Dan ingat kamu berhutang cerita sama aku kenapa bisa berawal dari Ranky dan berakhir di Argan."

      Kalimat itu dibiarkan saja oleh gadis yang tengah diterpa perasaan kusut nan suram itu.

      Finka berjalan di lorong dengan pandangan kosong. Saat berbelok, ia melihat seseorang keluar dari kelas XII IPA 5. Pandangan orang itu sama kagetnya dengan Finka.

      "Emh ... mau kemana? Kok tumben lewat sini," cowok itu bertanya dengan sedikit canggung.

      "Oh, itu ... mau ke UKS," ujar Finka sambil mulai melangkah lagi dan sedikit menghindar.

      "Kamu sakit?" tanyanya lagi.

      "Cuma butuh sedikit istrahat kayaknya."

      "Kok samaan?"

      Finka menaikkan alisnya tanda tak mengerti.

      "Tentang waktu ...."

      "Aku minta maaf Kak," Finka segera menghadap cowok itu dengan menundukkan wajah. "Semua salah aku sampai kesalahpahaman ini terjadi, Kakak jadi terlibat dan disangka yang nggak-nggak."

      Ranky tersenyum mendengarnya. Ia lalu melihat ke arah kelasnya yang tengah ramai karena tak ada guru. Finka tak berani melihat ke kelas itu, khawatir si teman sebangku Ranky bertatapan dengannya. Si lelaki yang kini erat dengan semua perbincangan para siswa satu sekolah.

      "Gak apa-apa. Yaa.. walau sebenarnya gue sempat GR karena gue kira beneran ada yang suka sama gue. Udah gak usah dipikirin. Mau ketemu Argan?"

      "Thank you Kak. Bye!" Finka dengan cepat menjawab dan segera melangkah menuju UKS.
      
       Ranky hanya menyunggingkan sudut bibirnya sambil menggaruk kepalanya melihat tingkah Finka. Dirinya jadi merasa bersalah dengan pertanyaannya, pastinya situasi Argan dan Finka masih canggung. Bodohnya Ranky yang tidak peka.

      "Ah, kenapa juga harus ketemu Kak Ranky? Tar kalau diceritain ke Kak Argan gimana dong?" Finka memukul keningnya berkali-kali. Ulah tangannya itu tampak membuatnya sedikit oleng saat berjalan. Kepalanya semakin pusing karena kurang tidur. Setelah membuat syal ia malah stres dan tidak bisa tidur lagi.

      Ia segera mengeluarkan beberapa lembar uang. Ia perlu menghitung uang yang dia miliki untuk memesan ojek online jika nanti ia tak kuat dan ingin pulang. Jaraknya lumayan jauh, setidaknya ia harus punya uang cash untuk membayar karena ia ingat tak pernah mengisi saldo di aplikasi online karena hanya memakai sesekali saja. Selebihnya naik bis atau memakai motor pamannya.

      Saat memegang handle pintu UKS, tangannya hendak mendorong pintu, namun seseorang bersamaan menariknya dari dalam, hingga pintu terbuka dengan mudah.

      Finka yang tengah sedikit pusing mendadak memegang dada hingga uangnya terjatuh. Seperti petir yang tiba-tiba menyambar di dekatnya hingga membuatnya terdiam kaku. Sosok yang tengah membuka pintu itu menatap pada pada Finka setelah menyadari bahwa keduanya ternyata sama-sama memegang handle pintu walau di sisi yang berbeda. Orang itu kemudian melangkah dan berdiri dengan jarak dekat.

      Finka merasa sesak dan berharap ia tidak pingsan mendadak. Sosok yang tengah mendekat itu kini mulai membungkuk lalu berdiri kembali. Ia menarik salah satu lengan Finka hingga membuat mata gadis itu tak berkedip. Ia menyimpan beberapa lembar uang Finka yang terjatuh tadi dan menggenggamkannya. Ia memandang Finka sekilas lalu melangkah perlahan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

      Finka yang ditinggalkan masih terdiam. Tak sangka mengapa bisa bertemu seperti itu. Mengapa selalu ada kebetulan yang mendebarkan.

      "Dia gila apa, ya? Gak ngomong apa-apa?" Finka bergumam sambil melihat genggaman tangannya. "Tapi dia megang tangan aku tadi, ya?" Finka meringis antara ingin menangis atau harus gembira.

Hello! Saya kembali setelah vacum setahun. Pas update langsung dengan cover baru lho hehe. 

Rencananya saya akan menuntaskan cerita ini di tahun ini.

Entah masih ada yang baca atau enggak, namun saya berharap siapapun yang masih baca semoga bisa tetap menyukai karya saya ya :) 

Terima kasih :)

Tayang setiap hari minggu ya! :)

KATAOMOITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang