"Harusnya gue tadi gak ajak lo sama Wisdar buat ngerjain tugas sampe malem di basecamp," sesal Ranky pada Wisdar yang duduk di sofa sementara dirinya berdiri di ambang pintu kamar Risya.
Ranky dan Wisdar beruntung karena Risya berbaik hati membawa Argan yang pingsan ke rumahnya. Orang tua Risya sedang bepergian keluar kota hingga Risya yang anak tunggal hanya tinggal sendiri di rumah.
"Nggak kok, Ran. Tugas kan emang kewajiban barengan."
"Salah gue, Wis. Padahal gue tahu banget Argan lagi gak enak badan, tapi masih aja gue ajakin buat nuntasin tugas hari ini. Gue gak nyangka berandalan itu bakal cegat kita kayak gitu."
"Gak kok, Ran. Salah gue juga, kenapa ladenin mereka duluan, jadinya ...."
"Aduuuh, kalian maen drama apa sih? Mau sampai episode berapa cari yang salah? Udah dong. Permasalahan nggak akan selesai dengan mencari kesalahan seseorang, justru yang salah adalah terus memperpanjang masalah tentang 'siapa yang salah'."
Ranky dan Wisdar terdiam. Risya yang duduk di antara mereka lelah dengan obrolan mereka yang sejak tadi bulak-balik dengan topik yang sama.
"Gak belibet itu ngomong kayak orang dewasa begitu?" Wisdar menahan tawa. Ranky ikut tersenyum tetapi kemudian memegang bibirnya yang terasa sakit ketika tersenyum.
"Gak berbobot tahu gak pertanyaan kamu, Kak!" Risya yang kesal bangkit dari kursi. "Urusin tuh luka kalian, obatnya keliatan, kan?" sindir Risya yang langsung melangkah ke kamarnya.
"Jutek banget tuh adek kelas, lama-lama jadi singa tuh." Wisdar meraih kotak P3K yang ada di atas meja. Ranky hanya geleng-gelang kepala mendengarnya lalu mulai duduk di samping Wisdar.
"Fin, ngapain sih? Udah sana, urusin Kak Ranky! Obatin dia," Kata Risya saat melihat Finka yang tengah mengompres kening Argan.
"Kayaknya kita harus bawa dia ke klinik, Ris. Dia demam berat. Tadi pas sadar gak ngomong apa-apa dan langsung tidur," Finka mulai khawatir.
Risya yang melihat kecemasan di wajah sahabatnya langsung melepas handuk di atas kening Argan dan memastikan sendiri. Ia menyimpan telapak tangan di atas kening Argan.
"Iya, sih. Panas banget. Jam berapa sekarang?" Risya melihat jam dinding kamarnya.
"Delapan," jawab Finka.
"Yaudah kalau gitu aku bilang dulu sama Kak Ranky dan Kak Wisdar, ya." Risya segera keluar kamar.
Finka melihat wajah Argan yang tampak lebam dan juga memerah karena suhu badannya. Finka memejamkan mata sambil menghela napas berat.
Tak lama sebuah tangan memegang pundak Finka.
"Lo bisa ke pinggir? Gue mau angkat Argan," kata Ranky menatap pada Finka yang tengah duduk di tepi ranjang dekat Argan. Finka terkejut. Ia segera menurunkan tatapannya kemudian segera berdiri.
Argan terbangun dengan mata setengah terbuka. Ia berjalan dengan salah satu tangan yang di bahu Ranky. Keduanya sempat melihat ke arah Finka sebentar lalu keluar dari kamar.
Finka memegang dadanya yang berdetak lebih cepat.
Dengan bantuan kendaraan yang dipesan secara online, lima orang anak SMA itu pun sampai di salah satu klinik terdekat. Risya dan Finka duduk bersebelahan, sementara Ranky tepat di samping Finka. Wisdar menemani Argan di ruang pemeriksaan.
"Udah yuk, pulang," kata Argan yang berjalan pelan setelah keluar dari ruang dokter. Wisdar dan Ranky segera memegangi sisi kiri dan kanan tubuh Argan.
"Gue cuma demam, bukan lumpuh yang harus dipegangin sana-sini," kata Argan dengan tatapan lemas. Ranky dan Wisdar hanya tersenyum. Begitu pun dengan Risya dan Finka yang berjalan di belakang mereka.
Ponsel Ranky tiba-tiba berdering. Ia melihat nomor asing di layar ponselnya. Karena penasaran, Ranky mengangkat dengan cepat. Empat orang di sekitarnya mulai berhenti melangkah dan memerhatikan Ranky.
"Halo?" sapa Ranky.
Dalam beberapa detik Ranky tak bicara apapun. Ia kemudian menutup telepon dengan mengepalkan tangan.
"Kenapa?" tanya Wisdar.
"Berandalan itu ngepung rumah Pamira. Gue harus ke sana sekarang. Lo jaga Argan sama yang lain, Wis," ucap Ranky yang langsung berlari keluar rumah sakit.
"Ranky! Jangan sendiri! Bahaya!" teriak Wisdar yang hendak mengejar namun ditarik Argan.
"Cinta bisa menguatkan dan melumpuhkan ego seseorang."
"Peduli amat sama Cinta, itu Ranky bukan Rangga!"
"Malah becanda lo. Justru itu, tugasnya kita sebagai teman adalah saat ini."
"Maksud lo?" Wisdar tak mengerti perkataan Argan."Butuh strategi yang hebat agar bisa selamat dan menyelamatkan."
Wisdar tersenyum sambil mengangguk pelan mendengar perkataan Argan, "Good quote, Man!"
"Kita butuh personil tambahan buat penyelamatan." Argan melihat ke arah Risya dan Finka secara bergantian. "Cuma mereka yang kita punya sekarang."
"Hah? Mereka?" Wisdar mengangkat alisnya dengan ekspresi tak percaya. Argan mengangguk pelan. Seketika Risya dan Finka saling bertatapan dengan wajah cemas.
"Kok, kita?" tanya dua gadis itu berbarengan.
"Ya udah kalau gitu, kita harus gerak cepat," kata Wisdar menyetujui dan tak peduli dengan respon dua gadis itu.
"Kita rapat dadakan di sini aja," kata Argan yang mulai duduk di kursi tunggu yang tak jauh dari mereka. Wisdar segera duduk di sampingnya. Sementara itu Finka tak memiliki pilihan lain. Ia langsung menarik Risya untuk mendekat. Ini mungkin saatnya Finka menunjukkan bahwa dirinya juga berguna.
"Aku siap bantu, Kak. Aku juga paling cerdas di kelas, jadi kalau ada yang berkaitan dengan pelajaran dan ...."
"Lo pikir misi penyelamatan tentang cari jawaban soal ujian apa? Ini tuh persoalan nyawa." Wisdar memotong kalimat Finka.
Gadis itu terdiam dengan memicingkan mata. Sementara Argan hanya tersenyum sekilas, menahan tawa.
"Si Wisdar memang Monster," kata Risya yang berbisik pada Finka. Ia kesal melihat Wisdar yang tak ada lembut-lembutnya.
"Eh, ngomong apa lo?" Wisdar mulai melotot.
"Apa?" Risya balik melotot."Udah, cukup," ucap Argan masih dengan sedikit lemas.
"Tapi Kak Argan masih sakit, memangnya gak apa-apa?" tanya Finka ragu-ragu.
"Iya, biar gue aja yang tanganin," Wisdar sadar Argan belum pulih.
"Gue sekarang langsung minum obat, tenang aja. Udah jangan ajak debat, atau kita jadi semakin lama di sini."
Mereka terdiam sejenak, namun akhirnya sepakat untuk merencanakan bersama.
Di tengah obrolan mengatur strategi, masih saja Risya dan Wisdar berdebat tentang beberapa hal.
"Ah, udah deh. Kalau ribut terus Pamira nanti mati duluan!" kata Finka.
Tanpa sadar Finka telah membuat tiga orang di sekitarnya menatap kaget ke arah Finka. Kata mati menjadi perhatian mereka.
Ah, salah ngomong lagi! Finka berucap dalam hati sementara tangannya memegang kening seraya mengalihkan pandangan ke arah lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
KATAOMOI
Teen FictionSepanjang hidup, Finka tak pernah mau pacaran. Ia hanya ingin sekali saja jatuh cinta pada seseorang kemudian berakhir bahagia dengan pernikahan saat dewasa nanti. Sayang, masa SMA tak sesuai harapannya. Seseorang bernama Vandri jatuh cinta padanya...