"Mak," Karin menadahkan tangan di hadapan emaknya. Emaknya justru memberikan tangannya untuk disalimi oleh anak gadisnya.
Karin melongo melihat tanggapan emaknya. "Ih maksudnya piti, Mak," ucap Karin sambil menggosokkan ibu jari dan jari telunjuknya.
"Pata, piti, pata, piti. Disuruh ngerjain kerjaan rumah kagak mau, tapi masih minta duit." Gerutuan emaknya membuat Karin merapatkan bibirnya.
"Nih." Satu lembar uang kertas berwarna hijau mendarat di telapak tangan Karin.
Karin tersenyum dan memeluk emaknya. "Karin pamit, assalamu'alaikum!"
Keluar rumah, Karin mendapati Faisal sudah di depan rumahnya. Tapi, tidak ada kendaraan apapun di sekeliling laki-laki itu. "Lah Cal, motor lu mana?"
"Lagi ngambek, ke stasiunnya pake motor lu aja ya?"
"Oke, bentar gua ambil kuncinya." Karin kembali memasuki rumahnya dan mencari kunci motor yang ia gantungkan di tempat biasanya.
"Nih." Melemparkan kunci motornya pada Faisal, Karin memakai sepatunya sembari menunggu Faisal memanaskan motor.
"Emak lu mana?" tanya Faisal sebelum mereka berangkat.
"Di belakang kayaknya. Jalan aja udah, gua udah telat nih."
"Siapa suruh ngeluyur pagi-pagi, bukannya mandi."
"Berisik lu, kayak emak gua."
Faisal menghadapkan wajahnya ke depan dan menjalankan motor. Percuma berdebat dengan makhluk sejenis Karin, tidak akan ditemukan jalan keluar.
Biarpun sudah jam sembilan, stasiun kereta masih ramai dipenuhi oleh makhluk-makhluk yang saling berdesakkan saling mendahului untuk mengisi penuh peron-peron kereta. Sebenarnya Karin sendiri merasa was-was menggunakan jasa angkutan umum yang satu ini. Berdasarkan berita yang baru-baru ini ia baca, terdapat rumah warga yang kebakaran, atau kereta anjlok. Tapi mau bagaimana lagi, angkutan yang satu ini sangat jauh lebih terjangkau dibanding dengan yang lainnya.
Kalau berbicara mengenai kecelakaan sebenarnya semua kendaraan atau bahkan hanya sekadar jalan kaki pun bisa saja terjadi kecelakaan menurut Karin. Maka dari itu, setakut-takutnya ia menggunakan jasa commuter line, tetap saja ia gunakan jasanya. Mau bagaimana lagi? Kalau tidak mau terjadi apa-apa, ya diam saja di rumah. Bahkan, biar diam di rumah pun bisa saja terjadi kecelakaan. Kalau memang harus terjadi kecelakaan ya terjadi saja.
"Lu tiap hari desek-desekkan kayak gini, Rin?"
"Ya kayak gini deh. Lu belum aja ngerasain kalau berangkat pagi. Gila sih lebih lagi dari ini! Kaki gua di mana, badan gua belok ke mana. Kadang ada mbak-mbak sanggulnya tinggi banget sampe hidung gua ketutupan. Kan hak bernapas gua jadi kurang."
Faisal tertawa mendengar gerutuan temannya. "Idung lu aja yang irit!"
"Ish ngeselin banget sih lu! Tapi gak apa deh, demi menuntut ilmu."
"Halah, gaya lu, Neng!"
"Calon guru gak boleh malas menuntut ilmu, Cal!"
"Ilmu gak salah apa-apa, lu tuntut, Rin."
"Bodo amat!" Kereta yang mereka naikki berhenti di salah satu stasiun dan menambah beban pada kereta. Tubuh Karin yang kecil pun terdorong-dorong oleh orang-orang yang memasuki kereta, bahkan Karin dan Faisal pun jadi terpisah. Luar biasa!
Kesengsaraan Karin belum selesai sampai di situ. Wajah Karin harus tertutupi oleh ketiak orang lain. Sungguh luar biasa! Tapi, sepertinya gadis itu tidak masalah karena laki-laki yang menutupi pandangan Karin memiliki aroma yang harum, tidak seperti zonk yang biasa ia dapatkan.
Karin berusaha untuk mendongakkan kepalanya agar dapat melihat wajah laki-laki itu, tapi sayangnya hidungnnya justru terkena sikut laki-laki itu. "Aw." Ingin mengusap hidungnya, tapi tangannya tidak bisa bergerak sedikitpun.
"Eh eh, maaf, Mbak gak sengaja. Gak apa, Mbak?"
"Hidung saya kena sikut, mana ada yang gak sakit, Mas." Tapi berkat sikutan itu, Karin jadi bisa melihat wajah laki-laki itu. "Mau marah tapi ganteng, gimana dong?" batinnya.
"Maaf, Mbak. Saya nggak lihat."
"Iya, saya tau saya kecil." Gerutuan Karin tidak begitu terdengar oleh laki-laki itu, tapi beberapa orang yang mengelilinginya sedikit tertawa mendengar ucapannya.
"Kenapa, Mbak?" Wajah laki-laki itu diturunkan untuk mempertajam pendengarannya.
"Ngapain sih segala nunduk, bikin jantung gua jadi degum-degum kan," batin Karin. Dasar jomlo!
"Ah enggak, Masnya wangi," celetuknya. Faisal yang tidak jauh dari Karin mendengar ucapan teman masa kecilnya itu spontan tertawa.
"Sa ae pantat panci," ucapnya menyahuti ucapan Karin.
"Diem deh lu kerak nasi." Beberapa orang merasa terganggu dengan celetukkan keduanya, tapi tidak sedikit juga yang tersenyum mendengar sahut-sahutan keduanya.
Karin tiba-tiba melirik laki-laki di sampingnya yang memperhatikan ia dan Faisal. "Biasa Mas, namanya juga fans, ya gitu kerjaannya." Laki-laki di sampingnya terkekeh.
"Kalian temenan?"
"Enggak, enggak, dia fans saya," sangkal Karin.
"Dih ogah, tunggu muka lu kayak Raisa deh, baru gua jadi fans lu."
Baru kali ini Karin merasa di kereta terlalu cepat. Biasanya ia selalu ingin buru-buru sampai tujuan karena sudah tidak tahan dengan kondisinya di dalam kereta. Sesampainya di stasiun Tanah Abang, ia berjalan dengan cepat mengimbangi langkah-langkah kaki yang berjalan seperti berlari untuk mendapatkan kereta berikutnya.
Sambil menunggu kereta datang, Karin menunggu Faisal yang berjalan dengan santai. "Lu santai amat sih, Cal?"
"Lah ngapain buru-buru? Keretanya juga belum ada."
Karin membuang mukanya menunggu kedatangan kereta. Faisal mengeluarkan kunci motor milik Karin. "Nih kunci lu, nanti baliknya bingung lu."
"Oh iyaa." Karin mengambilnya dan memasukkannya ke dalam tas. Menoleh ke sebelah kiri, Karin menemukan laki-laki tadi yang tidak sengaja menyikut hidungnya.
"Loh, Mas yang tadi di kereta kan?"
"Eh, Mbak." Laki-laki itu tersenyum lalu matanya mengarah pada Faisal. "Katanya bukan temen?"
"Ya kan saya bilang dia fans saya. Ini buktinya dia ngikutin saya terus kan."
Faisal mendecakkan lidahnya. "Ngayal mulu bocah. Mau jadi guru masih ngayal mulu kerjaannya."
"Loh, udah kuliah, Mbak?" Karin belum menanggapi, tapi tawa Faisal terdengar sebagai tanggapan.
"Udah semester lima dia, Mas."
"Loh, beneran, Mbak?"
"Emang kenapa sih kalau saya udah semester lima?"
"Eh jangan salah paham, Mbak. Saya malah jadi kagum, saya kira masih sekolah, apalagi Mbaknya pakai seragam gini."
"Iya, di kampus diwajibin, buat ngelatih diri katanya. Tapi emang lebih baik gini sih, biar gak ada diskriminasi sosial. Jadi gak beda-bedain mana yang kalangan atas, mana yang menengah, mana yang bawah. Kalau pakai seragam kan jadinya semua setara."
"Iya benar, Mbak. Pakaian kan salah satu dari gaya hidup tuh, kalau buat orang-orang yang gak kuat bisa buat stres juga kan nantinya. Lagian, kalau pakai seragam kayak gini, bukannya jadi keliatan imut terus?" Laki-laki itu menunjukkan senyumnya yang baru Karin sadari bahwa terdapat lesung pipinya di sana.
Kalimat laki-laki itu tentu saja membuat Karin menyombongkan diri pada temannya. "Hehehehehe, denger tuh, Cal!"
"Yah, Mas. Ninggi deh nih anak."
"Biarin." Karin memutar bola matanya malas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Small #Inferiority Series
ChickLitPernah merasa kecil di hadapan seseorang? Begitulah yang dirasakan oleh seorang Khairina Ananda Putri. Berkat sebuah pertemuan yang kebetulan, ia bertemu dengan laki-laki yang membuatnya merasa kecil, meski sebelumnya ia tidak pernah merasa begini. ...