"Gila sih, gua baru umur dua puluh aja udah banyak banget yang ngasih gua undangan. Kondangan mulu, dikondanginnya kapan ya gua?"
Karin baru saja mendapat undangan dari teman sebayanya yang akan melaksanakan pernikahan. Sebenarnya terserah mereka sih mau nikah kapan, yang penting mental dan fisik mereka sudah kuat saja. Karin sendiri tidak mau ambil pusing dengan keputusan orang lain, toh hidupnya saja sudah ribet.
"Pertanyaannya nih ya, Rin. Kalaupun lu mau ngasih undangan, undangan apa dulu nih yang bakal lu kasih? Kalau undangan nikahan, emang udah ada yang ke rumah lu?"
Karin memasang wajah datar menghadap temannya, Sabrina. "Jangan salah ya, banyak yang ke rumah gua tau."
"Siapa?"
"Tetangga gua lah, kan bokap gua pak RT."
Tangan Sabrina mendorong lengan Karin. "Gak masuk itungan anjir."
"Lu nanyanya kan ada yang udah ke rumah gua apa belum, ya gua jawab banyak lah."
Sabrina memutar bola matanya malas. "Eh abang lu apa kabar?"
"Bin, lu kalau ada apa-apa sama abang gua, udahin aja deh. Lagian Ical mau lu kemanain anjir?"
"Lah, emang kenapa? Ical boleh jadi cowok gua, tapi kan abang lu cakep, pinter, badannya juga bagus lagi, bisa buat cuci mata dong. Gua heran deh, kok lu kayak bertolak belakang gitu sih sama abang lu?"
"Sialan. Lu jangan kayak emak-emak nyinyir yang di tukang sayur deh. Udah kesel gua denger ocehan emak gua gara-gara kalau di tukang sayur gua selalu jadi sasaran diskusi emak-emak."
Sabrina tertawa mendengar gerutuan temannya. Sebenarnya Karin tidak masalah mendengar ucapan orang lain, tapi kalau terus-terusan mendengarnya, siapa yang tidak muak?
"Eh iya, Bin. Gua minjem Ical boleh gak? Buat nemenin gua kondangan nih?"
Tanpa basa-basi, Sabrina menjawab, "Gak."
"Et dah. Jahat banget sih lu sama temen lu yang jomlo nan manis ini." Karin mengedip-ngedipkan matanya, memasang wajah memelas.
Bukannya kasihan, Sabrina justru tertawa melihat ekspresi temannya itu. "Gua kan emang jahat."
"Ah bodo amat, yang penting gua udah ngomong. Nanti gua tinggal ajak Icalnya."
"Lu kenapa gak ajak abang lu sih? Sekalian buat pamer kan."
"Ogah. Kalo gua ajak dia nih ya, yang ada nanti temen-temen gua pada nanya soal dia dah. Kayak semacem lu ini. Gua kan paling gak suka ditanya-tanya soal orang lain, emangnya gua customer service?"
Belum sempat menjawab ucapan Karin, dosen mata kuliah metodologi penelitian memasuki kelasnya. Karin benar-benar mengikuti mata kuliah yang satu ini, apalagi saat di awal mata kuliah, Karin semangat sekali mengerjakan tugasnya. Hanya saja, yang menjadi kendala Karin selama hidupnya adalah ia yang cepat sekali merasa bosan. Pelajaran, novel, film, atau bahkan teman. Sebenarnya hal ini juga yang jadi salah satu pertimbangan Karin masih belum memiliki pacar. Ia takut cepat bosan.
Rasanya lucu. Jika dengan Faisal, ia tidak muncul rasa bosan, tapi lebih ke arah nyaman. Mungkin juga karena mereka sudah berteman sejak kecil. Faisal sendiri bukan tipe teman seperti teman perempuan yang suka merintah atau membicarakan Karin di belakangnya. Kalau bukan karena adanya Sabrina, ia dan Faisal selalu dianggap seperti pasangan.
Terkadang, Karin merasa tidak enak hati dengan Sabrina. Bukan berniat untuk mengambil waktu pacaran mereka berdua, hanya saja terlalu susah untuk melepas kebiasaannya yang sering datang ke Faisal kapanpun gadis itu mau. Entah Sabrina tidak merasa risih dengan fakta itu atau ia juga tidak sampai hati untuk memisahkan kedua sahabat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Small #Inferiority Series
ChickLitPernah merasa kecil di hadapan seseorang? Begitulah yang dirasakan oleh seorang Khairina Ananda Putri. Berkat sebuah pertemuan yang kebetulan, ia bertemu dengan laki-laki yang membuatnya merasa kecil, meski sebelumnya ia tidak pernah merasa begini. ...