6-PDKT Kalau Kata Orang-Orang

96 16 0
                                    

Faisal melempar handuknya melihat Karin sudah ada di sofa rumahnya saat ia baru saja selesai mandi. "Ngapain lu senyum-senyum aja? Kayak orang gila tau. Biarpun emang lu udah gila sih."

Menyingkirkan handuk milik Faisal, Karin mengerutkan air wajahnya. "Lu temen sendiri lagi bahagia ditanya baik-baik kek, ini malah dikata gila."

Mengabaikan gerutuan temannya, Faisal justru melambungkan serangan lagi pada Karin. "Lu ngapain dah pagi-pagi udah di sini aja? Udah mandi belum lu?"

Berbeda dengan ekspektasi Faisal, Karin justru memberikan reaksi yang semringah. Menunjukkan cengirannya yang khas, Karin berucap, "Mau bagi kabar gembira nih gua."

Menempatkan bokongnya di sofa yang sepertinya sudah menjadi hak milik Karin, Faisal bertanya, "Kabar apaan?"

Dengan matanya yang berbinar,—tidak seperti Karin yang biasanya—Karin menghadap ke arah Faisal. Beda dengan Karin, Faisal justru mengerutkan wajahnya. "Jadi ya, Cal. Lu mau tau gak infonya?"

Faisal semakin aneh dengan tingkah lakunya Karin. Dia sudah tahu pasti ada beberapa hal yang dapat membuat Karin tersenyum semringah seperti itu. Kondisi pertama adalah ketika dia menang taruhan dengan Faisal. Kondisi kedua adalah ketika dia bisa mematahkan pendapat lawan bicaranya yang dianggap tidak masuk akal. Kondisi ketiga adalah kondisi yang jarang sekali Faisal temukan dari Karin, yakni jatuh cinta. Kalaupun jatuh cinta, mau jatuh cinta sama siapa?

"Gua punya nomernya mas Kai dong," ucap Karin antusias.

"Kai, si bapak kantoran itu maksud lu?"

Karin menjawab dengan anggukan antusias. "Ini gua lagi chat tau sama dia dari semalem. Cuma sekarang belum dibales juga sama mas Kai. Kenapa ya?"

Kalau hal seperti ini sih Faisal sangat yakin bahwa Karin sedang jatuh cinta. Tapi yang benar saja, masa dengan mas-mas kantoran itu? Padahal baru ketemu beberapa kali. Ini adalah salah satu hal yang sering dikhawatirkan oleh Faisal. Sebelumnya dia pernah melihat Karin jatuh cinta, tapi juga pernah melihat perempuan itu jatuh karena cinta. Melihat temannya yang sudah terasa seperti saudaranya sendiri terluka tentu saja membuat Faisal turut merasa teriris hatinya.

Mengabaikan pertanyaan terakhir Karin, Faisal justru melontarkan pertanyaan yang membuatnya penasaran. "Lo suka sama si Pak Kai ini?"

Perempuan di hadapannya berpikir sebentar sebelum dengan ragu menjawab, "Kayaknya sih iya. Mana ada sih perempuan yang gak suka sama dia? Orang ganteng kok, sopan lagi, udah gitu royal, terus mapan, terus juga ba—"

"Udah udah udah, stop. Dari cara lu menceritakan dia itu emang lu tuh udah suka sama dia. Gua si ya, Rin sebagai teman yang baik cuma mau ingetin, jangan terlalu buat diri lu suka banget sama dia sebelum dia juga nyampein perasaannya ke lu. Gua udah lihat lu lagi sakit hati, gua gak mau lagi lihat itu, Rin. Gua yang ikutan sakit."

Menolak suasana yang melankolis, Karin justru mendorong Faisal dan tertawa. "Ya elah gaya lu, Cal. Sok sweet banget lu."

Karin tetap menjadi Karin. Faisal ya tetap harus jadi Faisal yang sabar menghadapi kekonyolan perempuan satu ini. Tapi tanggapan Faisal kali ini adalah dengan menjitak kepala Karin. "Gua lagi ngomong serius, Munaroh. Malah ditanggepinnya bercanda."

"Lagian pagi-pagi udah serius aja, hidup lu kebanyakan serius. Pantesan banyak keriputnya tuh." Karin menunjuk-nunjuk bagian wajah dari Faisal sambil tersenyum.

Berdecak dan menepis tangan Karin, Faisal bangun dari sofa dan menuju ke dapur untuk mencari makanan. Percuma bicara dengan gadis itu. Bicara sampai berbusa, sampai emosi pun sama saja, tidak berguna. Kalau sudah terkena dampaknya, baru lah dia menangis-nangis di hadapan Faisal.

Melihat reaksi Faisal, Karin justru mengerutkan hidungnya yang omong-omong ditolak untuk mendapatkan udara lebih banyak oleh semesta. Mengikuti Faisal ke dapur, ia justru menemukan Hilmi Dirgantara yang merupakan kakak semata wayang yang dimiliki Faisal. Tampan, tapi memang terlalu pendiam. Sama saja dengan Faisal sebenarnya, tapi karena Karin sudah biasa dengan Faisal, jadinya lebih mudah berbicara dengan Faisal ketimbang dengan Hilmi.

"Eh ada Bang Imi, Tumben gak keluar-keluar Bang hari libur?"

"Eh Karin. Makan, Rin. Udah makan belum?"

Menyela Karin yang ingin menjawab, Faisal lebih dulu memberikan reaksinya. "Ya elah, Bang. Aturan dia mah jangan ditawarin makan, langsung abis nanti makanan kita digares sama dia."

"Ya elah, lu tuh mestinya nurun dari bang Imi, Cal. Orangnya baik, nawarin gua makan. Lu mah kapan nawarin gua makan?"

"Ya lu mah kaga ditawarin juga udah pasti langsung comot kan."

"Biarin napa, Cal. Kayak ama siapa aja kudu ditawarin makan. Makan mah makan aja, Rin." Romlah turut bergabung di dapur setelah kembali dari senam pagi di daerah rumahnya—tentu saja dengan Malihah.

Karin memeletkan lidahnya ke arah Faisal, merasa sudah menang dari Faisal dengan Hilmi dan Romlah sebagai antek-anteknya. Faisal sudah biasa dengan kejadian seperti ini. Kalau sudah seperti ini, dia memilih untuk mengabaikan semuanya saja. Percuma, tidak akan menang melawan Karin di rumahnya. Hal ini sebenarnya juga berlaku kalau Faisal main ke rumah Karin, Emak dan Bapaknya Karin justru menjadi antek-anteknya.

"Iya iya, serah dah ya." Faisal memulai makan paginya sambil menonton telivisi di samping Hilmi, tentunya disusul oleh Karin.

Di pertengahan saat makan, ponsel Karin menunjukkan adanya pesan masuk. Secara sigap, Karin mengambil ponselnya dan melihat nama Kai yang muncul di sana. Pagi ini tentunya menjadi pagi yang bahagia bagi Karin. Senyumnya tidak lepas saat membalas pesan dari Kai.

Faisal melirik merasa risih mendengar suara cekikikan yang dihasilkan oleh Karin. Menoyor kepala Karin, Faisal bertanya, "Lu napa sih? Serem juga gua lama-lama ngedengerin lu ketawa yang kayak kuntilanak."

Memanyunkan bibirnya, Karin menyahut, "Kenapa siiii, gak suka banget lu sama kebahagiaan hidup gua?"

"Bukannya kagak suka, ketawa lu serem, Markonah!"

"Si Karin kenapa emangnya ketawa-ketawa gitu?" Hilmi yang biasanya tidak ikut campur masalah dari sejoli sahabat itu, turut penasaran dengan tingkah dari Karin.

Mendengar hal itu, Karin merespon pertanyaan dari Hilmi dengan ledekan, "Eciee Bang Imi tumben kepo?"

"Bukan kepo bege, emang lu nya aneh, Sulastri!"

"Ya Allah, nama gua yang bener apaan si emang, Cal? Lah iya Markonah, iya Sulastri. Banyak amat nama panggilan gua. Lagian lu kenapa si, lagi sewot mulu kayaknya bawaannya?"

"PMS," sahut Faisal dengan singkat, padat, dan jelas.

"Lah anjir, ya pantes lah."

"Ah udah ah, gua makin gak nyambung dah di sini sama kalian. Mending gua urus berkas-berkas aja dah." Hilmi menarik bangkunya dan berdiri.

"Eh iya, Bang Imi. Bang, nanti kapan-kapan mau nanya soal ngajar di SD ya, sama kalau ada penelitian boleh kaga nelitinya di SD tempat Abang ngajar?"

"Iya santai, entar kalau emang perlu SD buat latihan ngajar, juga gapapa ke SD gua aja."

Karin menunjukkan cengirannya, "Cieelah. Asik dah. Makasih Bang Imi tersayang."

"Iya sama-sama."

"Ama Bang Hilmi aja lu sayang-sayangan, ama gua aja lu buang-buangan," celetuk Faisal.

Karin melirik Faisal aneh. "Sumpah, kayaknya emang bener lu PMS dah. Bawaannya sensi mulu lagian."

Tidak mengacuhkan ucapan Karin, Faisal bangun dari tempat duduknya dan membawa piring yang sudah bersih dari makanannya ke tempat cucian piring meninggalkan gadis itu berceloteh sendirian.

===============================

Lagi sering update, karena gak tau kapan nanti bisa gak update lagi hehe

Enjoy the story!

Small #Inferiority SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang