10

21 6 0
                                    

Hari ke-2 tanpa Darka
.
.
.
Pagi ini Lumna masih dengan pikiran kacaunya. Dia melangkah pelan melewati kelompok senior-seniornya dengan mulus tanpa hambatan.

Dia melihat Kak Tyo di sana pagi ini. Tyo sama sekali tidak menggubrisnya bahkan melihat Lumna saja dia langsung mengalihkan pandangannya. Lumna sadar tingkah laku Tyo menunjukkan kalau dia benar-benar menghindar darinya.

Sama halnya dengan di kelas. Hal pertama yang dilihat Lumna ketika masuk kelas adalah bangku Darka.

Masih sama seperti hari kemarin. Setiap istirahat Lumna selalu mengeluarkan kotak bekalnya. Membiarkan kotak bekalnya terbuka begitu saja, berharap ada yang mengambil dan menghabiskannya.

Harapan tetaplah harapan. Sesuatu yang mustahil terwujud jika hanya berdiam diri.

🥀🥀🥀

Hari ke 4 tanpa Darka
.
.

Bel pulang tetap menjadi nada yang paling ditunggu Lumna. Dia ingin cepat pulang. Dirasa sekolah hanya akan membuatnya semakin menyesali keputusannya.

Lumna ingin segera tidur. Dia ingin malam cepat datang karena malam akan membawanya pada mimpi yang indah. Sekalipun tidak indah setidaknya itu hanya bunga tidur.

Dia tidak ingin mentari cepat menyapanya. Karena dia tau, esokpun masih sama dengan hari-hari yang dia lewati kemarin.
Aku sadar, mimpi dan harapanku terlalu besar sampai akhirnya aku kehilangan dia di dunia nyata. Aku sadar, aku egois. Aku mau dia hadir di setiap mimpi dan kehidupan nyataku.
Sekarang bukan lagi saatnya bicara tentang seberapa sakit jatuh dari mimpi yang terlalu tinggi, tapi sadar kalau mimpi tetaplah sebuah mimpi.

Lumna menutup buku diary miliknya.

🥀🥀🥀

" Makasih, Pak." Ucap Lumna setelah keluar dari mobil.

Setelah Pak Bon pergi, Lumna melangkah masuk ke pekarangan rumah bercat putih abu-abu di depannya sekarang.

Menurut alamat yang dia dapat dari Nyoman, ini adalah rumah Darka.

Dia menekan bel rumah itu hingga tiga kali. Masih belum ada yang membukakannya pintu. Ditekannya sekali lagi. Akhirnya pintu terbuka.

" Cari siapa, Dek?"

Wanita tua itu ramah - terlihat seperti asisten rumah tangga.

" Darkanya ada, Bu?" Tanya Lumna.

" Den Darka belum pulang dari Amrik, Dek" wanita tua itu gugup menjawab pertanyaan Lumna.

Bahkan dia tidak melihat ke arah Lumna saat menjawab. Setelah itu segera menutup pintu kembali dengan terburu.

Lumna bingung dengan sikap ibu tadi. Akhirnya dia keluar dari pekarangan rumah itu.

" Ngapain Lo ke sini?"

Suara itu membuat Lumna terkejut dan segera menoleh kearah sumber suara. Dia mendapati Tyo sedang berdiri di balik tembok sedada nya di samping rumah Darka.

" Kak Tyo," Ucapnya pelan,"  aku kesini mau cari Darka. Dia sudah balik dari Amrik kan kak?" Sambung Lumna.

Tyo hanya diam menatap Lumna. Tapi entah hanya perasaan Lumna saja, dia melihat raut wajah Tyo mengeras.

" Sudah seminggu dia gak masuk sekolah--"

" Ikut gue" ucap Tyo.

🥀🥀🥀

Lumna menatap pundak Tyo dengan bingung. Tyo malah membawanya ke dermaga.

Tyo berjalan tiga langkah di depan Lumna. Di tangannya ada sebuah surat yang baru saja dia keluarkan dari jaket miliknya.

" Mau sampe kapan lo sembunyi terus di balik kebohongan receh Lo itu?" Tanya Tyo tiba-tiba.

Lumna terdiam mendengar ucapan Tyo barusan.

" Kenapa Lo bohongin perasaan Lo sendiri?" Sambungnya.

"... Maksud Kak Tyo?"

" Udah, Lo gak usah bohong. Lo sengaja nyuruh Darka jauhin lo kan? Lo itu penakut, Lum. Lo bahkan terlalu takut buat jatuh cinta sama dia. Alasan sebenarnya, bukan karena Lo takut dia merasa iba sama lo, tapi karena Lo takut kehilangan dia." Jelas Tyo.

" Lo salah, Lum. Dia punya ketulusan yang gak lo dapat di luar sana. Lo terlalu egois, sampe-sampe lo lebih mikirin perasaan lo daripada perasaan Darka ke lo. Lo harus tau, karena rencana hidup yang Lo buat itu, Darka hancur! Keinginan Lo nyuruh dia jauhin Lo itu buat dia benar-benar hancur!
Gue tau, keberadaan Darka di hidup lo gak ada di rencana hidup gila Lo itu, tapi dia rencana Tuhan. Rencana yang gak pernah salah!"

Tyo mengatur deru nafasnya. Sedangkan Lumna menahan deru jantungnya yang mulai tak keruan.

" Lo nyuruh dia ngejauh, dia tetap bertahan. Sampai akhirnya dia benar-benar nyerah setelah lo bilang dia pengganggu hidup lo, dia adalah perusak rencana hidup lo, dia adalah penyitaan waktu lo. Lo gak sadar, lo itu motivasi dia buat bangkit dari keterpurukannya." Intonasinya lirih seperti berusaha untuk tetap tenang.

Lumna hanya menunduk tanpa bisa berkata sedikitpun. Lidahnya kaku, matanya mulai berkaca-kaca dan tenggorokannya sakit menahan tangisnya.

" Lo sumber bahagianya, Lo sumber semangatnya buat terus belajar. Asal Lo tau, dia selalu luangin waktu untuk terus ada di samping lo.
Dia orang yang lo sebut aneh adalah orang yang sangat peduli sama lo. Bahkan bagi gue, dia itu bodoh. Lebih mentingin kebahagiaan orang yang sama sekali gak peduli sama dia!"

Lumna sudah tidak kuasa menahan air matanya. Kali ini dia benar-benar menyesal dengan keputusannya.

Dia terduduk dengan lemah dengan tangisnya yang pecah.

Tyo memberikannya surat yang sedari tadi dia bawa.

" Dear Lumna,

Gimana kabar lo?

Gue harap baik. Gak ada kata yang lebih tepat untuk menggambarkan perasaan gue ke lo.

Cinta

Maaf gue cinta sama lo. Karena cinta gue udah ngebuat lo merasa terganggu dan maaf karena cinta gue gak ada di catatan rencana hidup lo, tapi setidaknya gue ada di lembaran kenangan lo.

Gue pernah minta sama Tuhan supaya gak pernah membangunkan gue lagi dari tidur. Gue takut semakin Tuhan kasih waktu ke gue semakin gue cinta sama lo.

Gue bisa terima Lo benci sama gue selagi itu adalah bahagia Lo.

Gue harap lo gak marah sama gue. Meski gue tau surat ini gak akan bisa berubah keputusan lo.

Makasih buat waktu yang lo kasih ke gue buat ngisi hari-hari gue.

Manusia boleh bilang terkadang pertemuan adalah kebetulan, tapi gue percaya Tuhan gak pernah menghadirkan kata kebetulan di dalam sebuah pertemuan.

DARKA.


Lumna menatap Tyo bingung.

" Apa ini, kak? Darka mau pergi kemana, kak? Kak Tyo jawab.." lirih Lumna sambil memeluk surat itu.

" Sebenarnya dia ke Amrik bukan untuk jemput Bokapnya, tapi dia berobat. Dia divonis dokter hidupnya tinggal hitungan bulan. Dia gak mau ninggalin lo disini sendiri, tapi dia juga gak mau liat lo sedih gara-gara keadaannya. Lo alasan dia untuk terus ngelawan penyakitnya walau dia tau itu sia-sia. Demi lo dia rela berobat dengan cara apapun, termasuk berobat ke Amrik. Dia bertahan satu bulan lebih lama dari yang divonis dokter." Jelas Tyo menatap Lumna.

Lumna bisa melihat kesedihan itu di mata Tyo.

" Kapan dia pulang, kak?" Tanya Lumna dengan suara seraknya.

" Jawaban Lo ada di sini"

Tyo memberikan Lumna type record.

🥀🥀🥀

Everything [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang