Aku merebahkan tubuh ku di padang rumput depan halaman rumah milikku, bukan... Itu bukan rumah, melainkan mansion yang lebih dari sekedar tempat berlindung dari matahari dan hujan. Dikelilingi penjagaan super ketat membuat hidupku bosan, belum lagi daisy kakak satu-satu yang kumiliki selalu memerintah diriku.
"Verone...!" Aku menutup mata dan telinga, teriakan Daisy terdengar hingga ujung halaman. Aku berdecak kesal menghampiri Daisy yang sedari tadi berkacak pinggang di depan pintu, sesekali melirik sekilas pembangunan gazebo di halaman seberang. Sudah hampir lima bulan, namun pekerjaan itu belum selesai juga. Aku sempat berfikir apakah Daisy sengaja memperlambat pembangunan?
"Profesor Rudolf bilang sudah hampir dua pekan ini kau tak masuk kuliah, apa yang kau pikirkan gadis muda?" lihat, rok mini dengan warna senada dengan blazer yang dikenakan Daisy, hampir mengekspose seluruh kaki jenjang miliknya. Ia terlihat seperti jalang bukan wanita kantoran pada umumnya, batin ku mengejek.
"aku lelah Daisy, aku tidak pergi ke kampus." jawabku santai lalu berlalu pergi begitu saja tanpa menghiraukan seruan Daisy.
"aku peringatkan kau Verone!!" wajah Daisy memerah menahan amarah.
"apa? Yang kau lakukan hanya sibuk dengan pekerjaanmu." balas ku acuh tanpa menoleh sedikit pun.
"aku melakukan ini semua demi melanjutkan perusahaan mendiang Daddy, jika Mom masih hidup ia pasti terkena serangan jantung melihat mu seperti ini." tambah Daisy sementara aku hanya mengacungkan jari tengahku sebelum menaiki tangga menuju kamarku.
Aku menghela nafas kasar, termenung di depan pintu balkon yang mengarah langsung ke halaman sebelah, dagu bertumpu pada kedua telapak tangan.
Memperhatikan pemandangan indah di hadapan, terlihat jelas dari atas sini. Semua pekerja pria itu, peluh yang menetes dari dahi hingga leher dan tubuh mereka.
Sebagian telanjang dada dengan mengaitkan kaos ke pinggang, aku meneguk salivaku sendiri.
Ketika diriku melihat pria itu, pria dewasa yang pastinya sudah matang. Yang umurnya kira-kira sepantaran dengan Daisy, jambang halus dan tangan berotot menimbulkan urat-urat yang tercetak jelas jika ia mengangkat sesuatu yang berat.
Secara tak sadar aku bahkan menyentuh bibirku sendiri, membayangkan jika jemari kekar tersebut menyentuh bibirku, lalu ke leher jenjang, dan akhirnya turun ke bawah.
Aku sampai menyentuh milikku sendiri, secara tak sadar pria itu menatapku dari kejauhan. Aku yang merasa malu diperhatikan lagi akhirnya berlari masuk dan menutup pintu balkon.
Aku membenamkan wajahku di balik bantal membayangkan lengan kokoh itu menindihku, mendominasi diriku di bawah kukungannya. "hah.." aku mendesah tertahan, aku berpikir, mungkin dapat menggoda pria itu di malam hari karena para pekerja menginap di rumah belakang mansion.
"shit! Aku harus melakukannya." umpat ku, tak dapat mengendalikan diri sejak bertemu dengan pria itu. Pria dewasa seperti di majalah yang selalu ku baca, bahkan aku tak dapat melupakan bibir seksi milik pria itu. Mungkin kah Anthonio memiliki kejantanan yang besar? Diriku akhirnya tenggelam dalam masturbasiku sendiri.
...
"Kau sedang apa!?"
Aku terkejut setengah mati mendengar seruan Daisy yang ternyata selama ini berdiri di ambang pintu kamarku.
Dengan kedua tangan bersidekap di depan dada seraya bersandar di daun pintu, salah tingkah dibuatnya aku akhirnya memasukan kembali pakaian yang aku ambil dari lemari barusan.
"Tidak ada, hanya membereskan pakaian yang berhamburan." bohongku seraya menutup kembali lemari.
"Aku melihat kau memegang sebuah gaun, apa itu gaun pemberian Mom?" Tanyanya lalu berjalan ke arah lemari namun aku menghalangi jalannya.