Wattpad Original
Ada 5 bab gratis lagi

1. Love

44.6K 2.1K 379
                                        

"Yan, gue boleh tanya nggak?" Perempuan berkawat gigi itu bertanya antusias. Dia mengenakan pakaian yang terlalu terbuka untuk dikenakan saat malam hari--apalagi angin sedang berembus kuat. Sesekali tangannya sibuk memegangi ujung rok agar tak terangkat. Netranya yang dilapisi softlens tak pernah beralih dari laki-laki yang duduk di hadapannya. Bahkan lengkungan itu tak berkurang dari wajah yang dipoles makeup cukup tebal untuk ukuran anak SMA.

Lawan bicara yang duduk di depannya baru saja menandaskan makan malam. Meskipun dia tidak begitu menyukai junkfood, ia tetap tidak rela melihat ada makanan yang tersisa. 

"Boleh," ujarnya kemudian dengan kerlingan mata menggoda.

"Lo udah punya pacar?" tanya perempuan itu lagi tanpa sungkan.

"Menurut lo ... gue udah punya pacar belum?"

Perempuan tersebut makin salah tingkah saat teman kencannya hari ini sudah menopang dagu, menatapnya.

"Em, yah ...." Menutupi kegugupan, ia menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. "Pacar lo kan banyak. Sering gonta-ganti lagi," lanjutnya mencoba memancing.

Laki-laki di depannya tertawa pelan. Sudah menarik diri dan menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Dia segera meraih ponsel di atas meja. Mengetikkan sebuah pesan dengan cepat.

To : Love

Gua lagi makan di kfc dengan Eni.
Dia nembak gue!
Jadi seminggu ini gue udah ditembak sepuluh cewek!

Laki-laki itu mengulum senyum. Geli sendiri. Kembali meletakkan ponsel di atas meja. Sama sekali tak menunggu balasan pesan yang baru saja dikirim. Tatapannya kembali beralih pada Eni yang masih tersenyum. Ah, sial. Dia semakin merindukan seseorang.

"Gue nggak pernah gonta-ganti cewek, kok." Laki-laki itu menjawab lembut. Terdengar tulus.

Senyum Eni makin mengembang, dadanya menghangat. Bahkan, tanpa perlu melihat cermin,  dia tahu wajahnya kini bersemu merah. Berarti memang benar laki-laki di depannya ini tak memiliki kekasih seperti yang selalu dibicarakan di sekolah. Ah, ya ... tentu saja! Jika memang punya, tidak mungkin dia masih menerima permintaan sebagai teman kencan seharinya, 'kan?

Baiklah. Dia tak akan melewatkan kesempatan ini!

Maka, saat laki-laki yang mengenakan kaus hitam itu mencomot kentang goreng yang tersisa, Eni berusaha untuk memegang jarinya. Namun, belum sedetik jari mereka bersentuhan, laki-laki itu sudah menarik tangan lebih dulu. Melempar senyum sambil meraih ponsel di atas meja. Lagi-lagi mengetikkan pesan dengan cepat.

To : Love

Tolong!
Gue dipegang-pegang!
Gila!
Eni agresif banget!
Sekarang dia lagi ngedipin matanya!
Gue yakin sebentar lagi gue diajak ke hotel!

Laki-laki itu mencoba untuk tak membayangkan ekspresi wajah penerima pesannya di sana—yang sayangnya, tidak berhasil. Dia tertawa pelan karena pesan berlebihannya, kemudian meletakkan gawai kembali di atas meja. Ada jeda sejenak sebelum dia melirik ke arah Eni—yang masih tersenyum lebar—dan mengalihkan pandangan ke luar jendela, ke arah bangunan di sebelah.

Adalah kafe bergaya moderen dengan penerangan temaram di bagian luar, dengan parkiran yang terlihat penuh, pengunjung masih terus berdatangan. Samar-samar dia bisa mendengar suara live music dari dalam sana, diikuti riuh tepuk tangan setelahnya.

"Ni, lo masih laper nggak? Mau ke sana?" Laki-laki itu menggerakkan ujung dagu, menunjuk bangunan di samping mereka.

Eni ikutan menoleh. Tempat itu jelas jauh lebih menarik dibandingan tempat makan siap saji ini. Kenapa tak dari awal saja laki-laki itu membawanya ke sana, pikirnya. "Tapi, nanti lo jelasin dengan bokap nyokap gue ya, karena pulangnya kemaleman?"

"Beres!" Laki-laki itu berkata semangat.

***

To : Love

Gue udah pindah tempat sekarang.
Ke kafe sebelah.
Btw, ada Putri Pelangi!!!
Sial, dua-duanya cantik.
Tapi tetep lebih cantik yang lagi main gitar sih.
Eh, dia lagi ngeliat gua tuh.
Jangan marah, ya.
Gue barusan jatuh cinta lagi.

Laki-laki itu memasukkan ponsel ke dalam saku tanpa mengalihkan pandangan dari dua saudara kembar yang sedang menampilkan lagu Dan oleh Sheila On 7 versi akustik di depan sana. Beruntung dia dan Eni sempat mengamankan deretan kursi paling dekat dengan panggung tadi.

Suara perempuan yang rambutnya diikat tinggi di depan sana terdengar lembut sekaligus manis, menciptakan harmoni indah bersama iringan gitar yang dimainkan oleh saudara kembarnya sendiri. Indera pendengarannya terasa lumer, benar-benar dimanjakan. Laki-laki itu benar-benar menikmati. Mengulum senyum saat salah satu dari mereka menatap ke arahnya. Untungnya, dia masih bisa menahan diri untuk tak melambaikan tangan dan meneriaki nama saudara kembar tersebut--adik kelasnya.

"Lo bisa bedain nggak, mana Linda mana Lindi?" Eni menyela di samping.

Ah, ya ... laki-laki itu hampir lupa ada Eni bersamanya.

"Gampang. Lindi yang nyanyi dan Linda yang main gitar." Laki-laki itu menunjuk kedua perempuan yang masih tampil di depan secara bergantian dengan percaya diri.

"Oh iya ... Linda wakil lo. Nggak mungkin lo nggak bisa bedain, 'kan?" Eni terdengar sarkas.

Laki-laki itu tertawa pelan, sempat menatap Eni. "Coba deh, lo liat baik-baik. Mereka itu ... beda."

Eni mengikuti perintah laki-laki yang menjabat sebagai ketua OSIS tersebut, kemudian menatap dua perempuan di depannya secara bergantian. Jujur saja, dilihat beberapa kali pun mereka seperti satu orang yang sama. Tak ada yang berbeda. Semua yang menempel di tubuh mereka sama. Kecuali yang satu sedang bernyanyi sedangkan satunya mengiringi dengan gitar. "Nggak ada bedanya," ujar Eni frustrasi.

Laki-laki itu menghela napas. Belum menyerah untuk menunjukkan perbedaan saudara kembar itu. "Kalo Lindi lebih anggun, kalo Linda lebih berkarisma. Dari muka juga udah keliatan, Lindi keliatan lebih lembut, sedangkan garis muka Linda keliatan lebih ... berkarakter, lugas, cuek gitu." Ia menjelaskan sekali lagi dengan sabar.

Eni memperhatikan dengan saksama. Kemudian ber-wah tanpa suara sambil mengangguk-angguk. Benar apa yang dikatakan. Jika diperhatikan dengan amat sangat teliti, keduanya memang terlihat berbeda. "Iya, sih. Kalo di sekolah juga Linda keliatan lebih jutek gitu. Mungkin karena dia wakil ketua OSIS, ya?"

"Dia mah emang mukanya aja yang sok jutek judes gitu. Tapi hatinya selembut permen kapas. Dia beda kok dengan penampilannya kalo lo udah kenal." Laki-laki itu menyesap minuman begitu tawanya reda. Matanya fokus menatap lekat perempuan yang baru saja mereka bicarakan.

"Tapi, seru kali ya, punya saudara kembar kayak gitu. Bisa tuker-tukeran pacar." Sekarang Eni yang sudah tertawa pelan. Membayangkan memiliki saudara kembar.

"Mereka nggak akan bisa tuker-tukeran pacar. Karena kalo gue jadi pacar salah satu dari mereka, pasti gua udah bisa bedain mana pacar gua dan mana saudara kembarnya." Sekarang laki-laki tersebut sudah ikut bernyanyi bersama dengan pengunjung kafe yang lain.

***

To : Love

Gue baru aja nganterin Eni.
Orang tuanya suka sama gue.
Sepertinya mereka mau ngerekrut gue jadi calon mantu mereka.

Laki-laki itu tersenyum, memasukkan gawai ke dalam saku celana. Melanjutkan langkah menuju mobil yang terparkir di depan gerbang rumah Eni. Tepat saat ia membuka pintu, benda pipih di saku celananya bergetar. Pesan masuk.

From : Love

Selamat. Artinya lo nggak perlu nikah dengan gue.

Laki-laki itu langsung mengepalkan tangan, meninjunya ke udara sebagai luapan bahagia. Bahkan jika dia tidak ingat masih berada di depan rumah Eni, dia pasti sudah berteriak girang kesenangan hanya karena satu balasan pesan dari puluhan pesan yang dikirimkannya.

Segera dia masuk ke dalam mobil. Masih dengan perasaan bahagia yang membuncah, ia melakukan panggilan kepada perempuan yang baru saja membalas pesannya.

"Hai, Sayang. Lo lagi cemburu, 'kan? Ngaku, deh!" 


PUTRI PELANGI (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang