Napas tersengal-sengal dengan rahang terkatup rapat, perempuan itu semakin mengeratkan kepalan tangan yang berdarah karena meninju cermin barusan. Namun, kondisinya tak lebih baik dari perempuan lain yang berdiri gemetar, ketakutan di depannya, dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuk. Keterkejutannya tak bisa ditutupi. Masih ngeri membayangkan tinju tadi salah sasaran.
"Lo enggak ngerasain apa-apa, 'kan?" Perempuan yang tangannya masih terkepal dan mengeluarkan darah itu berkata dingin. Menatap tajam lawan bicara yang hanya berjarak satu jengkal, memaksanya untuk mengerti.
Sayangnya, perempuan dengan air mata yang membanjir itu hanya membalas dengan tatapan penuh tanya.
Ada jeda cukup lama sebelum perempuan yang meninju cermin tadi mengambil salah satu pecahan kaca di dekat kaki.
"Kak Linda mau apa?"
Pecahan kaca sudah diacungkan ke depan wajah. Ekspresi perempuan yang dipanggil Linda itu semakin dingin. Membekukan suara yang menggema di dalam kamar bercat merah muda karena salah satu lengannya sudah ditarik paksa.
"Lo tau Ndi, apa satu-satunya perbedaan di antara kita?" Linda bertanya sangsi.
Indi yang masih tidak mengerti itu sudah terisak, menggelengkan kepala kuat-kuat, terduduk, memohon. Namun, Linda tak mengindahkan permohonannya. Tangan kiri itu justru semakin kuat menggenggam lengan Indi, sedangkan tangan kanan yang memegang pecahan kaca itu mulai digerakkan, mengarahkan ujung yang tajam ke arah lengan Indi bagian dalam, dekat siku. Ia menekan cukup kuat di sana, ditarik perlahan menuju pergelangan tangan, membentuk sebuah garis panjang dan meneteskan darah. Sepersekian sekon kemudian, tangan tersebut dilempar dengan kasar, disusul pecahan kaca tadi ke sembarang arah.
Indi menatap tangannya ngeri. Perih. Melihat darah yang menetes deras nyaris membuat isi perutnya keluar. Gemetar tubuhnya semakin menjadi. Ketakutan sudah menguasai diri.
"Sakit, Ndi."
Suara itu terdengar lembut untuk ukuran perempuan yang baru saja melukai tangannya dengan sengaja. Itu bukan pertanyaan. Melainkan pernyataan. Indi mengangkat kepala. Menatap perempuan itu sekilas lalu beralih pada tangan kanan Linda. Ada garis merah panjang di sana. Hanya saja, tak berdarah.
Mungkinkah?
Indi menatap Linda sekali lagi. Perempuan itu balik menatapnya, seolah-olah menjawab pertanyaan yang ada di kepala dari sana. Rahang yang tadi terkatup rapat itu mengendur. Mata yang tadi menyorotkan kebencian sudah menghilang. Tergantikan oleh sorot kecewa dan putus asa. Tanpa kata perempuan itu berbalik, pergi. Meninggalkan si pemilik kamar yang kesakitan.
Indi menggigit bibir, menahan perih. Dipandangi lengan yang masih mengucurkan cairan merah itu sekali lagi. Susah payah ia mencoba bangkit. Saat itulah ia sadar, tak hanya lengan tetapi jari-jarinya juga terasa sakit. Sulit digerakkan. Seolah-olah ia yang membuat cermin itu hancur berantakan.

KAMU SEDANG MEMBACA
PUTRI PELANGI (Selesai)
Teen FictionLinda Putri Pelangi yang bisa merasakan apa yang adik kembarnya rasakan harus berjuang mengalahkan dirinya sendiri saat saudara kembarnya, Lindi Putri Pelangi memaksa untuk menjadi lawan di kompetisi Submit Your Music sebagai vokalis sedangkan ia ti...
Wattpad Original
Ada 6 bab gratis lagi