Tolong bilang pada Tuhanmu, aku hanya mencintai umat-Nya. Bukan hendak merebutmu dari-Nya.
Aku terus memandangi Gina yang sedang membelakangiku, ia sibuk memasak makan malam untuk kami. Beberapa jam lalu, Gina memergoki aku dan Kevin yang sedang berciuman di ruang tamu. Aku yang tahu Gina siap meledakkan amarahnya, segera menyuruh Kevin untuk pulang. Setelahnya Gina hanya diam dan memandangku dengan tatapan tajam dan berlalu masuk ke kamarnya, tak lupa membanting pintu kamarnya kencang.
BRAK
Suara gebrakan di meja makan membuyarkan lamunanku tentang kejadian tadi sore. Aku mendongak dan langsung di suguhi pemandangan Gina yang sedang memegang pisau daging dan mengacungkannya ke arahku. Membuatku ngeri, dan reflek memundurkan tubuhku ke belakang.
"Gendeng po kowe?" Hardiknya keras. Gina ini meskipun orang jawa tulen, namun lahir dan besar di Medan, tak heran meskipun sudah hampir 10 tahun tinggal di Solo, gaya bicaranya yang lantang dan ceplas-ceplos tak bisa hilang.
"Tadi nggak sengaja Gin, kebawa suasana aja." Balasku pelan. Aku seperti seorang ABG yang sedang dimarahi ibunya karena telat pulang.
"Mbok ya mikir, kamu tuh udah punya Reza. Jangan bilang kamu masih belum bisa lupain Kevin!" Aku hanya diam, enggan menanggapi pernyataan Gina yang tak sepenuhnya salah. Aku memang masih belum bisa melupakan Kevin. Bahkan selama 2 tahun menjalin hubungan dengan Reza, ada malam-malam dimana aku menangis karena merindukan Kevin.
Melihat aku yang hanya diam, Gina mengacak kasar rambutnya. Tatapannya tadi terasa menusuk kini mulai memandangku iba.
"Inget Ay, selain kamu udah punya Reza, kamu dan Kevin itu berbeda." Aku tertawa miris mendengar ucapan Gina.
"Aku tau Gin, nggak usah kamu perjelas lagi. Tapi aku ama Kevin cuma nggak sengaja ketemu di Jogja. Gimanapun juga dulu aku dan Kevin temen baik."
"Ayra, nggak ada temen yang saling ngelumat bibir satu sama lain!"
***
Hari berikutnya aku bangun kesiangan, efek semalaman memikirkan kejadian kemarin. Gina sudah pasti masih tidur di kamarnya. Hari ini ia libur, setelah 2 hari dinas di luar kota. Dengan tergesa-gesa aku keluar dari kamar dengan menentegng tas dan blazer yang belum kupakai. Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 8.15, sedangkan jadwal mengajarku dimulai 25 menit lagi. Tak ada waktu untuk sarapan, aku bergegas ke depan sambil mengambil ponselku untuk memesan ojek online.
Namun belum sempat aku membuka aplikasi ojek online, suara deru motor di depan rumahku menarik perhatianku. Saat si pengendara motor tersebut membuka helmnya barulah aku tahu ternyata Kevin. Dengan pandangan heran aku menghampirinya yang masih duduk di atas motor, sedang merapikan rambutnya yang agak berantakan.
"Koh ngapain disini?" Tanpa sadar aku memanggilnya koh atau koko. Dulu saat kuliah aku memanggilnya koko karena memang ia lebih tua 2 tahun dariku.
"Jemput lo lah. Yok naik." Ujarnya enteng, sedangkan aku hanya menatapnya bingung. "Udahlah yok, keburu telat lo." Lanjutnya sambil memasangkan helm di kepalaku. Masih dengan kebingungan aku hanya menurut, naik ke motornya dengan kesusahan karena demi apapun aku benci motor model Nmax yang bagian belakangnya terlalu lebar begini. Untung saja aku tidak memakai rok.
Kevin ini dari dulu tak pernah berubah, jika sudah mengendarai kendaraan entah motor atau mobil selalu ugal-ugalan, tak pernah santai. Aku berpegangan erat pada jaketnya dan memejamkan mata karena saking kencangnya Kevin melajukan motor ini. Saat berhenti di lampu merah, tak kusia-siakan kesempatan untuk mencubit pinggangnya keras, yang dibalas oleh teriakan Kevin yang tak kalah kencang. Membuat beberapa pengendara di kanan kiri menoleh kearah kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Faith
RomanceApa yang harus diperjuangkan jika mereka tetap kukuh mempertahankan Tuhannya masing-masing? Jika cinta memang harus saling memiliki, lalu siapa yang harus mengalah? Sebuah cerita tentang 2 manusia yang berbeda Tuhan dan keyakinan.