6. Istiqlal dan Katedral Bagian 2

263 24 2
                                    


Cinta beda agama itu berat, seberusaha apapun untuk terikat. Karena bersujud dan berlutut tak akan pernah menjadi satu tempat. -Unknown

Pukul tujuh pagi aku dan Kevin sudah siap berangkat menuju gereja Katedral Jakarta untuk pemberkatan pernikahan Nathan dan Echa. Kami mengendarai mobil koh Nicho -kakak Kevin- dan Kevin sendiri yang menyetir sendiri.

Kevin mulai melajukan mobil yang kami tumpangi keluar dari kawasan perumahan koh Nicho. Aku menoleh kearahnya yang sedang fokus menyetir, dan aku berdecak kesal melihatnya yang lagi-lagi melupakan untuk menggunakan seat belt-nya.

"Kebiasaan banget to koh, itu seat belt mbok dipakai dulu."

"Pasangin dong, lagi fokus nyetir nih."

"Alah alesan aja! Buru dipakai!"

"Nggak bisa Ay, lagi nyetir ini loh." Aku menghela nafas kesal mendengar alasannya. Karena tak mau terus berdebat, aku memilih mengalah dan mendekat padanya untuk meraih ujung seat belt. Aku sedikit kesusahan mengambilnya karena tersangkut di sela-sela kursi.

Begitu aku mendapatkan ujungnya, kutarik seat belt tersebut dan segera memasangnya. Dan tiba-tiba aku merasa pipiku dikecup dua kali, pelakunya siapa lagi kalau bukan Kevin. Jarak kami yang begiu dekat memudahkannya untuk mencium pipiku.

"Dih, apa sih cium-cium." Aku hendak mengusap bekas ciumannya di pipiku namun tak jadi karena takut membuat riasanku rusak. Sedangkan Kevin hanya cengengesan masih dengan tatapan fokus ke depan.

Kami membutuhkan waktu satu jam lebih sedikit untuk sampai di lokasi, karena banyaknya jalanan yang ditutup untuk CFD. Sehingga kami harus mencari jalan lain, dan beberapa kali sempat salah belok karena tak terlalu paham jalanan ibukota.

"Tadi aja sok-sokan nggak mau dianter pakdhe Harso, bingung kan nyari jalan."

"Kan biar kita bisa berduaan Ay."

"Nggak usah sok romantis deh koh, geli aku."

Kevin terkekeh dan mengusap rambutku. Kevin ini sangat suka sekali mengusap rambutku. Aku pernah menanyakan padanya kenapa dan dia menjawab ia tidak tahu, tangannya suka bergerak sendiri mengusap kepalaku. Dan aku menyesal sudah bertanya.

Sekarang kami sudah tiba di gereja Katedral Jakarta dan masih berada di parkiran, menunggu teman-teman kami yang lain. Kevin berdiri di sampingku dan sibuk menatap ponselnya, sedang membalas pesan di grup WA. Sedangkan aku mengamati area sekitar gereja, tampak mobil para undangan sudah memenuhi parkiran ini.

Nathan bilang ia tak mengundang banyak orang di pemberkatan pernikahannya. Hanya keluarga besar dan teman-teman dekatnya. Apalagi yang kutahu, tidak semua keluarga Echa menerima pernikahan ini.

Sekedar informasi, Echa dan Nathan dulunya berbeda keyakinan. Echa Muslim dan Nathan Katolik. Mereka sudah menjalin hubungan sejak kuliah semester awal. Dan dua bulan lalu aku dikejutkan dengan kabar mereka berdua akan menikah. Tapi yang lebih mengejutkan adalah saat aku tahu Echa memilih untuk mengalah dan mengikuti keyakinan Nathan.

Tiba-tiba aku merasa sesak saat mataku memandang ke arah depan. Dari balik pagar dan rimbunnya pepohonan aku dapat melihat bangunan megah di depan sana. Masjid Istiqlal. Teringat lagi ucapan Kevin kemarin yang sukses mengaduk-aduk emosiku.

"Ayra." Panggil Kevin, ia meraih kedua tanganku dan menyatukan dengan tangannya. "Jangan pasang wajah sedih gini dong. Yuk senyum."

Kevin tersenyum sangat manis dan menularkannya padaku. Meskipun sesak masih terasa di hati, namun aku mencoba terus tersenyum dan melupakan rasa sesak tersebut. Kami masih saling bertatapan sampai sebuah suara membuyarkan kegiatan tak jelas kami.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 23, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Our FaithTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang