Kita bukan Istiqlal dan Katedral, yang ditakdirkan berdiri berhadapan dengan perbedaan, namun tetap harmonis. Jika mereka punya nyawa, siapa yang tau kalau mereka berdua saling jatuh cinta? -Artasya Sudirman
Starbucks The Park siang itu lumayan ramai. Aku dan mami memutuskan untuk duduk di samping dinding kaca yang menampilkan jalanan Solo Baru yang penuh dengan lalu lalang kendaraan. Dark Mocha Frappuccino yang kupesan sama sekali belum kuminum, sedangkan Caramel Latte milik mami sudah tersisa setengah.
"Ayra udah lama banget ya ngga main ke rumah." Ujar mami memecah keheningan diantara kami.
"Iya mi, abis wisuda Ayra lost contact sama koko, uda punya kesibukan masing-masing juga."
"Ngga taunya sekali ketemu langsung gas pol pacaran ya." Tiba-tiba tenggoranku terasa kering mendengar omongan mami, kuminum Dark Mocha-ku yang kuanggurkan sedari tadi.
"Ayra." Mami memanggilku pelan, untuk beberapa detik beliau hanya diam dan memandangiku dengan senyum lembutnya. "Diantara temen-temen cewek Kevin, Ayra yang paling mami suka. Ayra sopan, tau unggah ungguh sama orang tua, ndak neko-neko, mami seneng Kevin temenan sama Ayra." Aku terharu mendengar mendengar perkataan mami, dan mataku pun mulai berkaca-kaca. Iya, aku emang secengeng itu.
Setelah berhenti sebentar untuk minum, mami kembali melanjutkan ucapannya. "Mami ini ndak pernah melarang Kevin untuk pacaran sama siapa aja, termasuk sama Ayra. Tapi mami hanya mengingatkan, ada jurang dalam bernama keyakinan diantara kalian. Mami ngomong gini karena mami sayang sama kalian. Mami ndak mau nantinya kalian malah terluka dan kembali jadi orang asing. Ayra ngerti kan maksud mami?"
"Ayra ngerti kok mi. Tapi Ayra sama koko udah mutusin buat jalanin dulu hubungan ini. Apapun yang terjadi nanti itu uda jadi konsekuensi, dan insya Allah kami akan menerimanya."
"Mami selalu berdoa yang terbaik untuk kalian nak."
***
Suara klakson kereta api yang bagi sebagian orang sangat menganggu dan berisik justru terdengar indah di telingaku. Begitu kereta api tersebut melintas di depanku, segera kuarahkan kamera untuk membidiknya beberapa kali. Karena kereta yang melaju sangat kencang, hanya 2 gambar yang hasilnya bagus, lainya nge-blur. Aku tersenyum melihat kedua gambar tersebut, gambar lokomotif dan tulisan KA ARGO WILIS.
"Seneng banget sih liat kereta." Ucap Kevin yang duduk di sampingku. Tangan besarnya mengacak-acak rambutku yang sengaja kugerai. Aku hanya menatapnya sambil tersenyum sebagai tanggapan, dan kembali memperhatikan gambar-gambar kereta di kameraku.
Sejak kecil aku sangat terobsesi dengan kereta api, mungkin karena ayahku yang dulu bekerja di PT KAI sering mengajakku ke tempat kerjanya dan menaiki berbagai macam kereta api. Entah sudah berapa ratus gambar kereta api yang kumiliki.
Dan saat ini aku dan Kevin sedang ada di stasiun Solo Balapan, menunggu kereta yang akan membawa kami ke Jakarta menghadiri pernikahan teman kami semasa kuliah. Awalnya Kevin ingin naik pesawat saja agar lebih cepat sampai, namun aku menolak. Aku lebih suka naik kereta, dan akhirnya ia memilih mengalah.
Beberapa menit kemudian kereta kami sudah sampai. Sebelum naik, aku menyempatkan untuk memotret lagi, Kevin hanya geleng-geleng melihat kelakuanku.
Barang bawaan kami tak terlalu banyak, aku hanya membawa sebuah koper sedang yang di dalamnya juga berisi baju-baju Kevin dan keperluan lainnya. Ia beralasan agar kami tak diributkan dengan banyak barang jadi lebih baik 1 koper untuk bersama, terserah Kevin saja lah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Faith
RomanceApa yang harus diperjuangkan jika mereka tetap kukuh mempertahankan Tuhannya masing-masing? Jika cinta memang harus saling memiliki, lalu siapa yang harus mengalah? Sebuah cerita tentang 2 manusia yang berbeda Tuhan dan keyakinan.