Chapter 2 - Dijemput?

47 19 16
                                    

Chapter 2 – Dijemput?

Selesai merekap data penjualan yang Vano minta, Gina secepat mungkin berjalan menuju ruangan Vano untuk menyerahkan data tersebut. Gina berdiri di depan ruangan Vano, memandangi pintu bercat putih di depannya sambil menyiapkan mental.

Baru saja Gina akan mengetuk pintu, seseorang lebih dulu memanggil namanya.

"Gina! Mau ngasih data ke Pak Vano, ya?" Jelita buru-buru menghampiri Gina. "Sini, biar gue aja yang ngasih. Gue mau sekalian minta tanda tangan."

"Eh, tapi...."

"Udah, biar gue aja nggak papa."

Gina berpikir sejenak. Tidak ada salahnya sih menitipkan data ini pada Jelita. Toh Jelita juga kebetulan ingin masuk ke ruangan Vano.

"Ya udah deh. Makasih ya, Ta." Akhirnya Gina menyerahkan berkas itu pada Jelita. Lalu kembali ke kubikelnya untuk melanjutkan pekerjaan.

Gina rasa baru sepuluh menit lalu ia menyerahkan data pada Vano, tapi bosnya itu tiba-tiba datang ke mejanya dengan rahang mengeras, mata menyorot tajam, dan raut wajah super seram. Gina menelan saliva-nya. Ada apa?

"Ke ruangan saya sekarang!" kata Vano tegas dan tanpa aba-aba.

"I-iya, Pak." Gina mendesah pasrah mendengar perintah Vano. Firasatnya kembali tidak enak.

"Tadi saya suruh kamu antar berkasnya ke ruangan saya kan? Kenapa jadi Jelita? Kamu mengabaikan perintah saya?" tanya Vano dengan nada menyindir tajam.

"Tadi saya...."

"Saya nggak butuh alasan!" potong Vano seenaknya.

Vano bangkit dari tempat duduknya, lalu berjalan mendekati Gina. Hal itu membuat jantung Gina semakin berpacu cepat, seperti ingin melompat dari tempatnya. Berkali-kali Gina menelan saliva. Peluh dingin mulai terasa mengalir membahasahi dahinya.

"Lain kali kalau saya suruh kamu, turuti. Jangan membantah. Kamu bukan anak TK kan yang harus diberi perintah sepuluh kali baru mengerti?"

"I-iya, Pak. Maaf, tadi saya pikir lebih baik menitipkannya pada Jelita. Supaya nggak banyak orang yang masuk ke ruangan Pak Vano." Gina tetap mencoba menjelaskan.

"Tapi saya maunya kamu, Gina. Kamu nggak paham perintah saya?"

"Hah?" Gina melongo. Tidak mengerti maksud perkataan Vano. Bukankah Vano membutuhkan datanya, bukan orangnya? Kalaupun ada yang harus Vano tanyakan, Vano bisa memanggil Gina setelah ia selesai membacanya. Terus di mana letak kesalahan fatalnya?

"Ada yang salah?" tanya Vano menantang.

Lo yang salah, Bos! Jauh di hati yang paling dalam, ingin sekali Gina mencakar wajah tampan Vano. Sikap Vano tidak mencerminkan wajahnya sama sekali, selalu membuat Gina sebal.

Gina menggeleng pelan sebagai jawaban. Sepotong rengginang seperti Gina memang bisa melawan Bos? Mimpi!

"Bagus. Kalau begitu kamu boleh keluar."

***

Wajah Gina terlihat kusut seperti baju belum disetrika ketika keluar dari ruangan Vano. Gina berjalan lunglai menuju mejanya dengan hati gondok. Dimarahi atasan karena alasan yang tidak dapat Gina pahami membuat mood-nya memburuk.

"Kenapa, Gin?" tanya Luna khawatir melihat Gina berubah menjadi lesu seperti itu.

"Abis gue dimarahin Bos." Gina menyandarkan punggungnya pada kursi.

"Dimarahin gimana? Coba cerita pelan-pelan, Beb." Luna menggeser kursinya agar lebih dekat ke kubikel Gina.

"Lo tahu kan, tadi Bos minta gue bawain data penjualan ke ruangannya? Pas gue mau masuk, Jelita manggil. Dia minta gue serahin datanya, sekalian dia mau masuk ke ruangan Bos. Gue pikir nggak ada salahnya titip ke Jelita. Toh yang dibutuhin datanya bukan gue. Terus apa salahnya?" cerita Gina emosi. Napas gadis itu pun memburu.

Three Little Words (Collab Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang