Gina berusaha kuat berkonsentrasi pada laptop di hadapannya. Namun, keberadaan Vano di jangkau penglihatannya membuat konsentrasinya bubar. Berkat kebaikan Vano yang tidak tega pada karyawannya yang takut dengan hantu, menyebabkan Gina berada di ruangan Revano Narendra, bosnya. Vano mengajak Gina masuk dan melanjutkan pekerjaannya di sana.
Entah bagiamana pesona bos muda itu pun terlalu indah untuk dilewatkan. Membuat mata Gina terus menerus melirik ke arah Vano, walau jarak mereka tidak bisa dikatakan sangat dekat. Gina mengerjakan pekerjaannya di sofa yang biasa digunakan untuk menerima tamu di ruangan Vano, sementara Vano sendiri mengerjakan pekerjaannya di kursi kebeserannya, tentunnya.
Tampak Vano sangat berkonsentrasi pada layar komputernya. Matanya yang hitam menajam saat memeriksa pekerjaannya. Gina menurunkan pandangannya. Sejenak terpaku pada sesuatu yang begitu menarik perhatiannya. Kalau Gina perhatikan sedikit, Vano memiliki bibir berwarna merah alami. Bibir itu kini terkatup rapat. Begitu bersih tanpa kumis.
Ck! Kalau begini kapan selesainya kerjaan gue? Gina menarik napas dalam lalu mengembuskannya pelan. Berharap dapat mengembalikan tingkat konsentrasinya. Lagi-lagi Gina gagal. Ia menoleh ke kanan dan kiri. Hening. Hanya suara mesin AC yang terdengar giat bekerja.
"Gina," Vano bangkit dari kursinya, berjalan mendekat ke arah Gina sambil membawa berkas dalam map. Lantas Vano duduk di sampingnya, meletakkan map itu di dekat laptop yang Gina pakai untuk mengerjakan pekerjaannya.
"Ini...."
Flip! Lampu mati. Seluruh ruangan ini menjadi gelap gulita. Laptop yang ada di hadapan Gina pun mati total, karena memang kehabisan baterai dan baru saja di-charger. Gina yang sudah dari tadi merasa ketakutan menjerit tertahan, lalu refleks memeluk Vano.
Tubuh Vano menegang. Pelukan Gina yang tiba-tiba itu mengejutkannya. Vano menelan saliva-nya susah payah saat dirasakan tubuh Gina gemetar. Sepertinya Gina sangat ketakutan. Vano mencoba mengendalikan dirinya, kemudian menoleh ke arah Gina.
"Takut ya?" tanya Vano. Gina tidak menjawab. Ia hanya terus menggigit bibir bawahnya sambil mengeratkan pelukannya. Peluh dingin sudah mengalir di atas dahinya sejak tadi.
Vano merogoh ponsel dari sakunya, lalu menghubungi seseorang yang bisa dimintai tolong.
"Halo, eignering. Listrik kantor tiba-tiba mati. Ada apa ya?" tanya Vano ketika sudah terhubung dengan seorang petugas di seberang telepon sana.
"Ada konsleting?"
"Apa? Kemungkinan nyalanya besok?"
"Ck! Ya sudah. Tolong segera diperbaiki. Saya tidak mau hal seperti ini terulang lagi. Menunda pekerjaan saja." Vano memutuskan sambungan teleponnya.
"Gina, kamu nggak papa?" tanya Vano sambil memegang kedua bahu Gina.
"Pa-pak, sesak," lirih Gina. "Napas saya tiba-tiba ... kayak sesak."
Mendengar penuturan Gina, Vano mendadak panik. Ia tidak mau terjadi sesuatu pada karyawannya ini. "Ya udah, kita keluar dari sini," putus Vano, kemudian segera memapah Gina keluar dari gedung kantor mereka.
***
Kini Gina sudah duduk di jok penumpang mobil sport milik Vano. Di mobil Gina hanya bisa melihat ke arah depan sembari mengatur napasnya yang memburu. Tidak ada percakapan yang keluar dari bibir mereka. Hanya alunan musik dari tape di mobil yang sanggup memecah kesunyian di antara keduanya.
Kau diam tanpa kata
Kau seolah jenuh... padaku
"Ehem!" Vano berdeham keras membuat perhatian Gina teralihkan. "Kamu udah nggak papa?" tanya Vano berusaha mengabaikan lagu sialan yang membuatnya tersinggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Little Words (Collab Story)
Romansa#Collaboration1# Ini bukan hanya tentang Cinta. Ini tentang betapa pentingnya kepercayaan, Tentang istimewanya kesetiaan, Dan tentang esensialnya sebuah keterikatan. Bila semua itu kurang, Maka jalinan asmara dipertaruhkan di ujung keretakan. Ung...