Chapter 7 - Bukan Candaan

15 11 1
                                    

Chapter 7 – Bukan Candaan

Luna dan Daniel berpamitan setelah menghabiskan satu jam mengobrol bersama. Artinya satu jam yang harusnya Gina pakai untuk mengolah data telah hilang. Kalau begini Gina pasti pulang larut malam.

Hah, kalau saja Addi di Jakarta, Gina bisa meminta laki-laki itu menemaninya. Duh, kenapa jadi kangen Addi? Pasti karena Addi belum menghubunginya sejak pagi. Tadi siang Gina sudah kirim chat, tapi belum juga dibalas. Addi pasti sibuk banget.

Gina kembali ke kubikelnya seraya membawa kopi, teman lemburnya malam ini.

Baru saja Gina menempelkan pantatnya di kursi, suara Jelita mengganggu indra pendengarannya. Vano yang berniat memasuki ruangannya telah dihalangi oleh Jelita. Tidak ingin mendengar percakapan mereka, tapi ruangan ini teramat sunyi.

"Pak Vano belum pulang?" tanya Jelita seraya memberikan map.

"Saya lembur." Vano mengambil map itu.

"Kalau gitu saya tungguin Pak Vano deh, kasihan sendirian."

"Gak usah, kamu pulang aja."

"Nggak, Pak, nanti aja. Masa saya yang bawahan seenaknya pulang, padahal atasan saya masih kerja. Biar saya bantu kerjaan Pak Vano."

"Thanks, Ta. I can handle that. Kamu pulang aja."

"Tapi, Pak ...."

"Ta, lebih baik kamu pulang," kata Vano memotong perkataan Jelita. "Hati-hati di jalan." Vano langsung masuk ke ruangannya tanpa memerdulikan Jelita.

Napas keras menguar dari mulut Gina. Ia begitu lelah, namun pekerjaannya masih sangat banyak. Gina mulai takut ia berujung menginap di kantor. Hell, yang benar saja?

"Gina ... lo belum pulang juga?" tegur Jelita. Suaranya yang serak-serah basah kadang terdengar seksi, terutama saat bicara dengan Bos.

Racun yang ditanam Mbak Friska kemarin sore nyatanya mulai bereaksi dengan baik. Yah, harus Gina akui, beberapa menit lalu Gina fokus memerhatikan setiap gerakan Jelita saat berinteraksi dengan Bos. Meski gerakan itu berasal dari ucapan dan suaranya.

"Iya, lembur." Gina menjawab tanpa melihat ke arah Jelita, hanya ingin fokus pada pekerjaannya.

"Bukannya target udah selesai. Lo ngerjain apa?" Ujung alis Jelita saling bertaut, espresinya itu antara bingung, heran, juga kurang senang.

"Pak Vano minta data insentive," jawab Gina. "Kalau nggak disuruh ngasih data hari ini juga sih gue bakal langsung balik, Ta."

"Ya, lo turutin aja perintah Bos," kata Jelita. "Udah ya, gue balik." Jelita berjalan pergi meninggalkan Gina.

Gina melirik sekilas, melihat wajah Jelita memerah karena kesal saat berjalan menuju lift sambil menenteng tas Channel-nya. Heels-nya yang setinggi delapan centi terdengar mengetuk-ngetuk keras lantai, seolah berusaha menancapkan diri di sana.

Setelah kepergian Jelita dari sana, Gina merasa sedikit tidak tenang. Gina mengedarkan pandangannya. Sepi. Di dalam ruangan yang sebesar ini, hanya ada dia seorang diri. Ternyata suasana kantor lebih menyeramkan saat malam hari. Bulu kuduknya berdiri. Tapi, Gina tetap fokus pada layar komputer di hadapannya.

Entah kenapa semakin lama Gina semakin merasa merinding. Seperti ada seseorang yang berdiri di belakangnya. Mau menoleh tapi takut. Tiba-tiba Gina merasakan ada tangan menyentuh bahu kirinya. Gina menegang.

"Gina." Suara seseorang membuat Gina langsung menoleh.

"Astaghfirullah!" Pada situasi horror seperti ini, sedikit suara saja dapat membuat seseorang yang ketakutan akan terkejut.

Three Little Words (Collab Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang