Bab 25 : Cemoohan Status

20.4K 1.3K 95
                                    

📌 Revisi bab lama. Jangan salfok sama komen yang mungkin nggak nyambung.
_________________________________________




Pagi ini, sarapan dimulai dengan suasana yang lebih baik, kupikir. Naura bersenandung ringan ketika memasak, dan aku lebih sering menyimak punggungnya dibandingkan makanan atau tatanan piring.

"Nau," panggilku, yang segera membuat perempuan itu menoleh. "Masakan kamu enak. Bikin kue, yuk, nanti? Kayaknya seru, kalau kita buka usaha kecil-kecilan bikin kue, daripada suntuk doang di rumah. Gimana?"

Naura mengangguk antusias. "Tanya pemilik rumah dulu." Ia terkikik, sembari menunjuk pintu.

Aku ikut menoleh, dan mendapati Adit yang sibuk memperbaiki lengan kemejanya. Pria yang kami tatap ini, juga langsung kikuk, menunjuk dirinya sendiri.

"Kenapa?"

"Kak Nissa, tuh!" ucap Naura, melimpahkan semua masalah padaku. Ia kembali fokus pada masakannya, untuk mematikan kompor, lalu memindahkan makanan tadi ke atas mangkuk.

Uh, lagi pula, ini bukan kesalahan, kan? Aku kenapa jadi gugup menjelaskan pada Adit?

"Aku ... itu ... bosan banget duduk doang di rumah, Adit. Gimana kalau aku sama Naura bikin kue terus jual-jualin gitu?" ucapku, memberitahu, ketika Adit sudah duduk.

Seharusnya ia tidak akan terlalu cepat tersulut marah ketika dia sedang duduk.

"Kamu bilang begitu, seperti saya sudah tidak bisa membiayai kamu, Nissa. Saya hanya resign, biayanya sudah saya perkirakan dan sudah siapkan, setidaknya sampai 10-15 tahun ke depan. Kamu tidak perlu berusaha apa-apa."

"Kakak mau resign?" Naura yang membawa lauknya, segera mencegahku membalas ucapan Adit.

Yang ditanya segera mengangguk tenang.

"Kenapa?" tanya Naura.

Adit melarikan tatapnya padaku, dan Naura langsung tahu di mana ia bisa menuntut jawaban.

"Kenapa, Kak Nissa?" Kali ini, bukan hanya sekadar penasaran, Naura juga menyelipkan senyum setelah bertanya.

"Aku ... itu ...." Bagaimana memulai jawabannya, agar tidak terdengar menggelikan. Namun, aku tidak menemukan pilihan bohongan lain. "Aku sering ngeluh mengenai Irma, nggak nyaman sama nggak tenang aja Adit kerja sama dia."

"Ah, bener, Kak! Aku juga kesel kalau Kak Adit berurusan terus sama tuh Mak Lampir. Ih, geli banget sama kelakuannya yang murahan—"

Naura segera mengerem ucapannya, dan aku bisa melihat, ekspresi cerianya tadi langsung hilang ketika ia menunduk mengambil piring, lalu duduk di salah satu kursi makan.

"Beda kok, Nau; perempuan yang sodorin diri sendiri ke laki-laki lain apalagi yang sudah beristri; sama yang kecelakaan. Kenyataannya, harga diri perempuan bukan cuman dinilai dari perawannya aja, Harga diri perempuan dinilai dari karakternya. Karakter kamu baik, kamu juga berharga." Aku menggenggam lembut tangan Naura, berusaha menyemangatinya, walau aku tahu ... ini belum cukup. Aku tahu ....

Namun, perempuan di sampingku ini tersenyum tipis demi menghargai apa yang aku sampaikan. Aku tahu ... dia masih sulit menerima kenyataannya.

Pernikahan di Atas Kertas ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang