Bab 8 : Hari yang Berat

31K 1.6K 101
                                    

Siang ini terasa jauh lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Naura tidak lagi bersembunyi setelah tiga hari pulang dari rumah sakit. Dari balik jendela kamar, aku memperhatikan dia yang tengah duduk di kursi taman membaca sebuah novel.

Semua kewajiban selesai dilakukan, kecuali memasak. Aku bergegas menuju dapur untuk menyelesaikan tugas tersebut.

Namun, suara lengkingan dari luar rumah menghentikan langkahku yang akan mencapai ambang pintu dapur. Otak bekerja cepat.

Naura dalam bahaya!

Sepasang kaki ini terhenti, di jarak sekitar dua puluh meter dari sepasang manusia di dekat kursi sana. Naura tengah memberontak dalam pelukan seseorang. Lelaki berjaket hitam itu terus mengucapkan kata maaf.

Aku tidak bisa melihat ini terlalu lama. Naura menjerit, terlihat kesakitan dalam dekapan lelaki itu. Aku bergerak cepat, melepaskan keduanya sekuat tenaga berlindung di belakang tubuh.

"Pergi dari sini!" Aku berteriak, meluapkan amarah yang menggebu di dalam dada. Lelaki di hadapan bergeming. Pandangannya hanya tertuju ke belakang tubuh.

"Naura ...." Lelaki itu bergumam pelan.

"Aku bilang pergi!" Maju selangkah, aku mendorong tubuhnya secara kasar.

"Kamu diam, bodoh!" Sekali gerakan tangan, tubuhku tersungkur.

Aku meringis, merasakan perih di kedua telapak tangan. Saat hendak berdiri, lelaki itu ikut terbanting, tepat di sampingku, menggeram kesakitan.

Menilik ke arah Naura, aku mendapati Adit berdiri di sampingnya. Kedua tangan mengepal di samping tubuhnya.

Semua ketegangan dalam wajah Adit mulai berkurang saat memeluk adiknya, mencium berkali-kali kening Naura.

Membisikkan kata-kata penenang. Rasanya aneh, dalam dada ini.

Aku bergerak berdiri.

"Nissa, bawa Naura masuk." Adit memberikan perintah.

Aku mengangguk, mengiyakan permintaannya itu.

Aku tidak berani berbalik saat suara pukulan dan kesakitan terdengar. Memejamkan mata, aku menguatkan diri untuk tetap berjalan lurus memasuki rumah. Jangan bergerak sedikit pun untuk membantu lelaki tadi.

Tapi . rasanya aneh. Aku tidak tega, membayangkan dia kesakitan.

"Kamu masuk, Nau!" Aku berbisik padanya. Beberapa kali usapan lembut kuberikan di lengannya, menguatkan wanita itu untuk tetap terlihat kuat. Anggukan darinya cukup menjadi jawaban.

Berlari. Aku menghampiri keduanya. Adit masih memukul secara babi buta, tidak peduli dengan teriakanku untuk menghentikannya.

Sakit. Aku merasakan nyeri di dalam hati ini saat melihat wajah penuh luka dari lelaki itu. Apalagi melihatnya tidak mampu lagi berdiri tegak jika seandainya Adit tidak mencengkeram kuat kerah baju lelaki itu.

"Adit berhenti!" Kembali aku berteriak. Tak acuh.

Aku tergugah. Membisikkan bismillah, aku maju. Berdiri di samping lelaki itu hendak melerai. Saat ingin berteriak, tetapi sebuah pukulan mengenai sudut bibir kanan.

Aku jatuh.

Gelap

***

"Kak Adit, Kak Nissa udah sadar!"

Aku mengerjap. Lalu menemukan wajah Adit tepat di "Sudah sadar?" tanyanya. "Bodoh!" la memaki dengan depan mata.

Garis-garis wajahnya menegang, menampakkan aura datar menyeramkan.

Pernikahan di Atas Kertas ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang