"Lari, Nissa! Lari!"
Aku bingung, berlari dari apa? Meski demikian, kaki ini tetap mengikuti instruksi dari suara yang entah milik siapa. Tidak ada tujuan, tidak ada arah. Hanya kegelapan yang terlihat.
Entah langkah ke berapa, kaki ini salah menginjak. Jalan yang licin membuat tubuhku goyah ke depan. Aku memekik keras saat menghantam sesuatu.
"Aw ... Nissa!"
Aku membuka mata. Jantungku terasa melompat dari tempatnya saat menemukan wajah Adit tepat di depanku.
"Turun, Nissa! Kamu berat!"
Aku tersentak oleh ucapannya, lalu beringsut menjauh dengan rasa gugup yang melanda.
"Kamu kenapa tidur di lantai, sih?" Aku berbicara dengan nada kesal, untuk menyembunyikan malu yang kurasa.
Adit berdecak pelan. "Kamu kan lagi sakit. Ya saya jagain."
"Nggak harus di lantai juga, kan, tidurnya?"
"Terus kamu mau saya tidur di mana, Nissa? Di sampingmu?" tutur Adit, yang membuatku kembali tersentak oleh kenyataan. Ah, dia tidak akan mau tidur bersamaku.
"Kenapa bangun tengah malam?" Adit melarikan pandangannya ke arah jam digital atas nakas.
"Mimpi ...."
"Buruk?" Adit melanjutkan ucapanku yang terhenti.
Entah apa nama mimpi itu. Buruk atau apa? Semuanya kurang jelas. Aku menggaruk kepala dengan pelan sambil meringis.
Eh, kepala?
Aku memeriksa rambut yang terbuka begitu saja.
"Adit, apa ini?" Aku berteriak, sambil buru-buru menutupi seluruh tubuh dengan selimut yang melilit sedari tadi.
"Kamu sakit, Nissa. Kamu tidak ingat kejadian tadi?"
Kejadian tadi? Apa? Aku memutar otak untuk mencari memori yang bersangkutan dengan kejadian tadi. Hanya ada bayangan aku berada di tempat gelap sambil memandangi jalanan yang dilewati Adit.
"Apa? Yang kamu tinggalin aku sendiri di pinggir jalan itu?" Aku rasanya ingin menghajar lelaki yang satu ini. Tega-teganya meninggalkanku sendiri di tempat yang sama sekali tidak kukenali.
"Maaf tentang itu. Tapi bukan yang itu, Nissa. Kamu lupa ... semalam?" Adit memelankan suaranya di akhir kalimat.
"Apa semalam?" Aku balik bertanya, benar-benar bingung dengan dengan teka-teki yang ia berikan.
"Bukan apa-apa. Syukurlah kalau kamu tidak ingat."
"Memangnya apa? Jangan membuat aku penasaran, Adit!"
"Bukan apa-apa. Kamu sudah baikan?" Adit menarik paksa selimut yang kugunakan hingga turun ke leher. Sekuat apapun dipertahankan, tetap lelaki ini yang menang.
"Tidak sepucat tadi. Kamu mau lanjutin tidur, atau makan dulu? Kamu belum makan sejak tadi sore," tawar Adit.
Aku melirik jam sekilas. Masih ada waktu untuk salat tahajud. "Mau sholat."
"Sholat? Kamu nggak kedinginan lagi?"
Aku menggeleng pelan. "Sedikit."
"Oke. Ayo!" Adit berdiri terlebih dahulu. Aku baru menyadari jika ia hanya mengenakan baju kaus putih tipis dan celana pendek selutut. Tangannya yang terasa lembab menarikku dengan lembut.
"Saya panaskan air dulu buat kamu. Kamu siapin alat sholatnya. Kita sholat bareng."
"Bareng?" Aku mengulang kata terakhir yang ia ucapkan dengan nada tidak percaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan di Atas Kertas ✔
Romance16+ | ROMANSA || SELESAI 𝐀𝐩𝐚 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐚𝐩𝐚𝐭𝐦𝐮 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐞𝐧𝐚𝐢 𝐬𝐞𝐬𝐞𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐧𝐢𝐤𝐚𝐡𝐢 𝐡𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐮𝐭𝐮𝐩𝐢 𝐚𝐢𝐛 𝐚𝐝𝐢𝐤 𝐢𝐩𝐚𝐫𝐦𝐮 𝐬𝐞𝐧𝐝𝐢𝐫𝐢? _____________ Seperti wanita pada umumnya, aku pun...