Bab 4 : Di Malam yang Dingin

35.6K 1.6K 81
                                    

"Nissa ...."

Aku mendongak menatap lelaki yang baru saja menyebut namaku dengan nada ragu. Alisku mengerut. Kenapa Adit terlihat bingung?

"Ada apa?" Aku menanyakan maksudnya karena ia tidak kunjung melanjutkan ucapannya.

"Kamu bisa jaga Naura? Mungkin saya pulang agak larut nanti."

Hanya menjaga adiknya ternyata. "Bisa."

"Terima kasih." Senyuman lembut tercipta dari bibirnya, membuatku takjub beberapa saat.

Hanya mengingat pesan Adit inilah, aku memaksakan diri tetap setia duduk di ruang keluarga.

"Ganti lagi, Kak. Jelek!"

Aku patuh pada perintah wanita cantik yang sedang duduk di sampingku ini. Memencet remote dan mengganti channel TV adalah kegiatanku sedari tadi. Dia terlihat begitu bosan, sama sepertiku yang bosan karena tidak bisa menonton dengan baik.

"Nggak ada yang bagus. Bosen jadinya!" Ia menempelkan punggungnya di sandaran sofa. Matanya bergerak-gerak memperhatikan langit-langit ruang keluarga.

"Jadi kamu mau apa?" tanyaku mencoba mencari tahu. Adit sudah menyerahkan kepercayaan padaku untuk menjaga adik bungsunya ini.

"Mmm ...," Naura menggumam seolah berpikir. "Masakan Umi," lanjutnya lirih. Kasihan melihatnya. Dia pasti merindukan ibunya.

Untuk menenangkannya, aku mengusap lengannya lembut. "Sabar."

"Iya, Kak," jawabnya. "Aku ke dapur dulu, ya? Ambil minum." Tubuh mungilnya menjulang tinggi.

"Biar aku aja." Aku ikut berdiri hendak mendahuluinya menuju dapur. Namun, ia menahan tanganku sambil tersenyum.

"Aku aja. Nggak papa, kok."

"Baiklah." Aku mengalah dan membiarkannya. Toh dia cuman ke dapur, bukan ke laut.

Segera aku menonton film kesukaanku. Sejak tadi, Naura tidak mengizinkanku menonton.

Lama.

Kenapa Naura belum kembali? Mungkin sedang makan. Karena dia memang doyan makan. Katanya, faktor ibu hamil. Jadi aku tetap diam menonton televisi.

Lama.

Kulirik jam putih yang menempel di dinding. Ini sudah lebih dari 30 menit, kenapa belum datang juga? Rasa khawatir mulai merayap menyentuh hati. Aku berdiri hendak mengecek keadaan Naura di dapur. Baru beberapa langkah, terdengar teriakan dari ruang makan. Aku berlari.

"Naura ...," gumamku saat melihat gadis berwajah pucat itu kini berbaring di lantai dalam pelukan Adit.

"Kamu ke mana saja, hah? Saya sudah nyuruh kamu buat jagain Naura! Apa kerjaan kamu?"

Nyaliku menciut seketika mendengar bentakan itu. Sesuatu tak kasat mata seolah meremas jantungku di dalam sana. Sakit, tetapi tidak terlihat.

Kepalaku hanya menunduk ketika Adit menggendong Naura lalu melewatiku begitu saja.

"Semoga dia baik-baik saja," gumamku cemas.

***

Mungkin karena kebiasaan, aku terbangun saat menjelang salat subuh tanpa alarm atau karena azan. Dengan sisa kesadaran yang ada, aku memerhatikan seisi penjuru ruangan yang kutempati. Putih gading. Terasa asing bagiku. Jelas ini bukan kamar yang selalu menjadi tempatku menyendiri, atau ruang keluarga yang terakhir kali kuingat sebelum kehilangan kesadaran karena tertidur.

Pernikahan di Atas Kertas ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang