"Gimana kabar kamu?" tanya Kanaya pada seseorang di seberang sana. Dia adalah Faraz, adik kandungnya yang sekarang sedang kuliah di semester 5.
"Alhamdulillah, baik Teh. Ayah juga baik. Teh Naya juga baik, kan?"
"Iya, Teteh baik. Syukurlah kalau kalian juga baik-baik aja." Jeda sejenak. "Jagain Ayah, kamu jangan sampe buat Ayah kesal. Teteh udah kirim uang, kamu kasih tau Ayah ya."
"Iya, Teh."
"Kuliah yang bener, jangan kebanyakan nongkrong sama temen. Apalagi pacaran terus."
"Iya Teteh yang bawel."
Kanaya malah terkekeh mendengar itu. Adiknya memang sebelas dua belas dengan Ayahnya, irit bicara. Tapi Kanaya tahu, jauh di dalam hati, Faraz sangat menyayanginya, begitu pula dengannya.
Panggilan terputus, Kanaya yang memutuskan. Mengingat ia masih berada di rumah Eyang dan sudah masuk jam malam. Tidak pantas bertamu hingga malam seperti ini.
"Ekhem."
Tubuh Kanaya berbalik ke sumber suara, ia sampai terkejut melihat orang yang sedang berjalan mendekatinya. Setahunya orang itu tidak ada di rumah, mengapa tiba-tiba berada di sini?
Angin malam berembus menggerakkan rambutnya yang panjang. Sepertinya tadi udara sekitar baik-baik saja, sebelum pria itu datang. Mengapa sekarang udara menjadi dingin, bahkan sampai menusuk tulang.
Laki-laki yang saat ini memakai kaos merah marun dengan celana selutut itu berjalan melewatinya. Ia berdiri tepat di balkon tempat Kanaya menerima telpon dari Faraz tadi. Baru saja Kanaya ingin beranjak dari tempatnya, sebuah suara menginterupsi.
"Jangan pergi dulu, saya mau bicara sama kamu."
Kanaya nampak ragu. Apalagi yang ingin lelaki itu bicarakan. Kalau hanya untuk menambah rasa benci padanya, lebih baik tidak usah.
"Kanaya."
Entah mengapa namanya terdengar indah saat keluar dari bibir lelaki itu. Suaranya yang berat namun empuk, membuat Kanaya ingin terus-terusan mendengar laki-laki berbibir seksi itu bicara.
"Saya ingin minta maaf dan juga ... " Jeda sekian detik. "Berterima kasih."
Kenan berbalik ke arah Kanaya. Kedua pasang mata itu saling bersiborok. Tak ada kata yang terucap lagi, keduanya sama-sama bungkam. Hanya dari pandangan keduanya seperti sedang berkomunikasi yang hanya mereka berdua saja yang tahu.
Sadar akan hal itu, Kanaya langsung mengalihkan pandang pada city light khas ibukota pada malam hari. Gedung-gedung pencakar langit di seberang pantai mutiara sana nampak gemerlap dengan cahaya lampu.
"Bi Kempri dan suster Ayu bilang, beberapa hari ini kamu sering datang untuk menjenguk Eyang. Eyang jadi sering tersenyum dan juga semangat cuci darah."
"Cuci darah? Memangnya Eyang sakit apa?" tanya Kanaya.
"Komplikasi, salah satunya gagal ginjal."
"Ya Allah." Kanaya menutup mulutnya sendiri, tidak percaya akan hal itu.
"Saya lagi mencari pendonor ginjal yang cocok untuk Eyang, tapi ternyata tidak mudah. Saya saja yang cucunya tidak cocok." Air wajah Kenan berubah sendu, namun setelahnya ia berusaha meredam. "Terima kasih, ya. "
Kanaya mulai melepas egonya pada laki-laki itu. Ia tahu rasanya saat melihat orang yang disayang menderita akibat penyakit parah. Dan itu teramat sangat menyiksa.
"Sama-sama," ucap Kanaya seraya menyunggingkan senyum. Tanpa sadar, satu tangannya menepuk lengan besar Kenan.
"Kalau dipenerbangan, saat ada trouble maka yang dicari sumber trouble itu apa. Misal terjadi fire, maka yang harus dilakukan pilot adalah memutuskan segala sambungan listrik yang ada di pesawat. Kalau pada kasus kita, sumber trouble berasal dari saya. Untuk itu saya ingin minta maaf, saya nggak akan berkata-kata yang bisa menyakiti kamu lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bahtera Surgaku [Slow Update]
RomanceIni adalah kisah: Orang yang setia, namun dikhianati Orang yang masih terjebak masa lalu Orang yang menyesal pernah meninggalkan Dan orang yang saling jatuh cinta, namun kalah oleh takdir Selamat membaca, Dari kisah di atas, yang manakah kisahmu da...