3

246 51 17
                                    

Banyak waktu yang terbuang, sekarton susu dan live show yang masih berjalan menemani gadis Kim itu. Jennie melirik Swatch putihnya, damn it's 3, batinnya. Ia berharap, ketika pulang nanti ia tidak dijadikan kebab untuk konsumsi orang tuanya.

"Apa sebaiknya aku pulang saja?"

Hidupnya tidaklah sebebas anak-anak lain. Kekhawatiran sering kali berjalan melintasi pikiran dan hatinya, tapi Jennie patut bersyukur karena ia masih dapat bertahan dalam situasi ini.

Akhirnya setelah panggung terakhir selesai, ia membuang karton susu kosong ke tempat sampah di sebelahnya lalu bangkit berdiri.

"Jennie!" Gadis itu melirik ke arah sumber suara. "Oh! Ahra! Kau juga datang kemari?"

Song Ahra. Definisi teman yang selalu ada untuk Jennie, alias sahabat.

"Ehey! Kau lupa? Aku kontributor sekaligus Ketua Jurusan Fakultas Fashion Design. Bagaimana denganmu? Kau sendiri kenapa berada disini?"

Jennie terkekeh, "Memang haram bagi anak Hukum untuk berada di Art Festival?"

"Well, tidak. Tapi bagaimanapun, aku senang melihatmu disini. Kita lama tak bertemu juga, bukan?"

Jennie mengangguk, "Benar. Sudah 4 bulan ini semenjak kesibukanmu mengurus acara ini."

"Bagaimana kalau aku traktir kopi hari ini?"

Drrtt.

Sebelum Jennie berhasil berkata 'ya,' ponselnya berdering. Terpampang nama kontak yang membuat dahinya berkerut, nama orang yang membuat Jennie kesal setiap kali berdialog.

"Kenapa? Apakah kau tidak akan mengangkatnya?"

Angkatlah Jennie, sebelum kau mendapat masalah.

"Halo? Kenapa? Aku hanya bertemu-baik, baik."

Tut.

Ahra menunggu Jennie menjelaskan situasi, mengapa ia menjadi lemas dan terlihat kesal.

"Lain kali saja, aku yang traktir. Sekarang ayahku menyuruhku pulang."

Ahra berdecak kesal, "Ah! Tidak seru, tapi ya sudah. Hati-hati di jalan, Jen-jen!

Ketergesa-gesaan ini membuat Jennie mengeluarkan sedikit peluh, turtleneck yang ia kenakan cukup basah di bagian punggung. Sekarang gadis itu tengah berdiri di pinggir trotoar, melirik ke kanan dan kiri bermaksud mencari taksi.

"Taksi!"

Setelah sebuah taksi berhenti di depannya, dengan segera ia masuk, "Gangnam-gu, Sunghak-ro 147."

Jennie mendesah perlahan, memperhatikan gedung-gedung yang berlalu dari balik kaca mobil. Setelah beberapa menit, kecepatan taksi berkurang dan berhenti. Gadis itu segera turun setelah menyerahkan sejumlah uang pada supir.

"Terimakasih," ucapnya.

Taksi itu telah pergi, tapi Jennie masih mematung di depan gerbang rumahnya yang mewah itu. Helaan nafasnya terdengar berat sambil ia berjalan masuk.

"Aku p-pulang," ia tergagap.

"Kim Jennie," suara bass terdengar dari arah dapur yang terletak di sebelah timur laut. "Jennie, kemana saja kau hari ini?"

Tidak ada yang dapat menyamai suara seorang Kim Sungil, pengacara terkenal se-Korea Selatan itu terkenal karena kepribadiannya yang unik dan tidak takut terhadap media massa. Jangan lupa juga, beliau adalah pria tua yang asertif.

"A-ayah, aku-"

"Berapa kali ayah bilang? Kau ingin dikurung lagi di loteng?!"

"Ayah! Aku tidak melakukan sebuah kesalahan! Kenapa pula aku harus berada di loteng? Apakah tidak ada tempat lain bagiku? Serendah itukah tempat dimana aku berada?"

NightshadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang