BRAAAAK!
Motor itu meleset jauh dari tempatku berdiri sekarang. Aku beristigfar sebanyak-banyaknya, jantungku berdebar keras, bayangan mengerikan melesat begitu saja. Segera aku menoleh ke arah motor itu. Seperti dugaanku, motor beserta pengemudinya itu terjatuh setelah menabrak bahu jalanan. Si pengendara motor sedikit merangsek berusaha menjauhkan diri dari motor yang menimpanya. Jantungku masih berdebar keras. Belum sempat tenang karena hampir tertabrak tadi , sekarang aku harus menerima kenyataan kalau orang yang hampir menabrakku sedang celaka. Aku segera menghampiri si pengendara motor yang tertatih mencoba berdiri. Motornya sudah tergeletak dijalanan.
“Astaghfirullah, Mas, nggak apa-apa?” tanyaku begitu mendekatinya. Kulihat ada darah segar mengalir di sikunya yang tidak tertutupi kaos. Beberapa bagian tubuhnya juga lecet dan sedikit berdarah, semoga saja kepalanya tidak apa-apa karena kulihat ia memakai helm.
“Gimana, sih? Kalo jalan liat-liat, dong!” sungutnya kepadaku.
Rasa kesal tiba-tiba menelusupiku. Oh, yang benar saja! Bukankah dia yang hampir menabrakku karena seenak jidatnya mengebut di tikungan jalan? Kenapa sekarang malah menyalahkanku? Dasar aneh!
Tapi aku hanya menghela napas. Sekarang bukan saatnya berdebat siapa yang salah. Tapi aku harus menolongnya dulu, ia sedang terluka. Terlepas dari siapa yang salah dan benar.
Lelaki itu membuka helmnya perlahan. Aku sekilas memperhatikan wajahnya. Sepertinya usianya tak jauh berbeda denganku. Ia masih menatapku kesal. Oke, mungkin dia kesal karena merasa dia jatuh karena aku. Ia tidak menolak saat aku membantunya membawa ke klinik sambil terus mengomel tentu saja. Untung saja saat itu ada beberapa pemuda yang lewat, jadi aku bisa minta tolong pada mereka untuk membawa lelaki ini dan motornya ke klinik atau tenaga kesehatan terdekat.
Lima belas menit, lelaki itu dirawat di ruang perawatan klinik terdekat dari tempat kejadian. Ia keluar dengan beberapa balutan di lengan, mungkin beberapa di kaki, tapi tertutupi celana jins panjangnya. Ia masih menatapku dengan tatapan kesal ketika melihatku menungguinya di kursi tunggu.
“Makanya kalau jalan lihat-lihat dong, liat kan saya jadi luka-luka gini. Motor saya juga rusak!” omelnya lagi setelah duduk disampingku sembari menunggu tebusan obat di apotek.
Aku menghela napas, rasanya aku harus menjelaskan sesuatu di sini, “Mas, sebelumnya saya minta maaf kalau Mas terjatuh karena menghindari saya. Tapi kalau main salah-salahan, sebenarnya Mas juga salah. Sebelum menyeberang, saya sudah tengok kanan-kiri, kosong. Tapi tiba-tiba motor Mas ngebut dan hampir menabrak saya. Lagi pula itu, kan, tikungan jalan, harusnya Mas pelan-pelan saat melewatinya,” sahutku dengan nada kesal yang berusaha kutekan.
Beberapa pasien yang juga berada di ruang tungg turut memperhatikan perdebatan kecil kami. Lelaki itu terdiam. Seorang ibu-ibu di sebelah menyenggol lenganku, mempertanyakan kronologi kecelakaan yang menimpa kami. Setelah aku menceritakan kejadiannya, beberapa orang malah menyalahkan lelaki itu. Sudah kubilang, kan, dia yang salah. Dipersalahkan seperti itu, lelaki itu memasang wajah polos. Wajah sangar dan kesalnya menghilang seketika diganti dengan dengan wajah polos.
“Bapak Andika!” panggil salah satu staf di klinik itu. Membuat kami menoleh. Pria itu bernama Andika. Aku mengetahuinya saat kami registrasi tadi. Aku beranjak mendekati staf apotek, seorang gadis memberikan obat dan kuitansi yang harus kubayar. Kurogoh tas mencari dompet untuk membayar pengobatan itu. Baru saja aku akan membuka dompet, sebuah tangan menahan lenganku. Aku menepisnya perlahan.
“Biar saya aja. Salah saya, kok…” jawab Andika dengan wajah bersalah kemudian menunjukkan cengiran kecil.
“Nggak apa-apa, Mas, salah saya juga. Kalau pengobatannya, mah, saya masih mampu. Tapi kalau perbaikan motornya….” Aku menggantungkan kalimat. Sebenarnya pun aku mampu untuk membayar perbaikan motornya, tapi tidak mungkin untuk langsung saat ini.
“ Hehehe, nggak usah dibenerin motornya, Mbak,” jawabnya kikuk.
“Ya sudah, kalau begitu izinkan saya untuk membayar pengobatan Mas, saya juga harus ikut tanggung jawab,” ujarku meyakinkannya.
Diam-diam aku merasa lega ia tak meminta biaya perbaikan motor, tapi aku juga merasa tak enak, sebab, meskipun bersalah tapi ia sudah berusaha tak membuatku celaka dan malah membuat dirinya sendiri cedera.
Andika terlihat ragu, namun akhirnya ia hanya mengangguk canggung, “Ehm, iya deh. Saya juga nggak bawa uang cash.”
Kami sama-sama tersenyum, akhirnya aku yang membayar biaya pengobatan, dan masalah kerusakan motor, ia yang akan mengurus. Kami mengobrol beberapa saat setelahnya, aku menemaninya menunggu jemputan dari salah seorang temannya yang kebetulan beralamat dekat dengan lokasi. Ternyata usia Andika terpaut lima tahun denganku, orangnya ramah dan humoris. Sesekali aku dibuatnya tertawa mendengar caranya berbicara juga humor-humornya. Tak sampai 15 menit, seorang pria yang tak kalah tampan dan mengenalkan dirinya sebagai Derry, datang dan menjemput Andika. Ia juga menawarkan untuk mengantarkanku pulang, tapi aku menolak secara halus.
***
“Kok baru pulang, Nin? Katanya tadi pulang jam tiga?” tanya Mama sambil menyirami tanaman di depan rumah kami. Aku melirik jam tangan, sudah setengah lima.
“Iya, Ma, tadi Nina nolong orang kecelakaan dulu,” jawabku jujur.
“Hah? Kecelakaan di mana?” tanya Mama buru-buru mematikan selangnya dan tergopoh-gopoh menghampiriku yang sedang melepas sepatu di teras.
“Di pengkolan. Motornya jatuh gara-gara menghindari Nina yang lagi nyeberang.”
“Haaah? Kok bisa, sih?”
Aku menceritakan kronologi kecelakaan itu, Mama hanya melongo dan beberapa kali melontarkan kata-kata kekhawatirannya padaku. Aku tersenyum menenangkan, beliau adalah ibu tiriku, melihat percakapan dan perhatian beliau kepadaku sehari-hari mungkin tak ada yang menyangka bahwa kami adalah anak dan ibu tiri, beliau benar-benar jauh dari kata kejam seperti yang dimitoskan selama ini tentang ibu tiri. Sejak Bunda meninggal, aku memang tinggal bersama Ayah, Mama, dan adik tiriku, Nino. Mama dan Nino menyayangiku. Bahkan saat Bunda masih hidup, kami cukup rukun. Ayah dan Bunda memang sudah bercerai sejak aku SMP. Aku juga tak tahu mengapa mereka bercerai, yang pasti aku masih bisa mendapat perhatian dari keduanya, itu saja cukup bagiku. Ayah kemudian menikah dengan Mama yang saat itu juga telah memiliki Nino.
Setelah mendengar ceritaku, Mama kembali pada aktivitasnya semula. Sementara aku, memilih masuk ke dalam rumah, mandi, salat, kemudian istirahat.
Mataku melirik pada kalender yang tertempel di tembok kamar. Ada satu tanggal dalam bulan ini yang kulingkari. Dua hari lagi. Aku menggigit bibir bawah, apakah keputusanku kali ini benar?
Kemudian aku mencoba meraba hati, untuk kesekian kali, semenjak tawaran itu diberikan padaku. Lagi-lagi aku masih belum bisa menetapkan. Bukan karena aku yang masih mengenyam pendidikan di bangku kuliah. Bagiku itu sama sekali tak masalah. Bukan hal yang baru bagiku jika mahasiswa seumuranku sudah menikah. Ada beberapa teman, aktivis dakwah yang juga menikah saat masih berstatus sebagai mahasiswa.
Aku juga memikirkan pembagian waktu ketika aku memutuskan untuk menikah dengan masih berstatus sebagai mahasiswa. Meskipun sebagai mahasiswa tingkat akhir, kini kesibukanku di kampus mulai berkurang. Sekarang aku hanya harus berkonsentrasi pada skripsi juga pekerjaanku sebagai karyawan magang di sebuah SMP Swasta, aku memang sudah mulai bekerja sambil kuliah sejak semester empat. Awalnya hanya menjadi guru bimbingan belajar, tapi kemudian ada satu tawaran untuk menjadi guru magang, maka aku pun menerimanya. Paling tidak untuk urusan uang kuliah dan uang jajan, aku sudah tak membebani Ayah.
Ayah dan Mama amat mendukung niat Ibu Rahma untuk menikahkanku dengan putranya. Menurut Ayah dan Mama aku sudah cukup dewasa untuk menikah. Tentu saja selain karena calon menantu yang tampak begitu potensial bagi mereka, juga kedekatanku dengan Ibu Rahma. Terlebih saat aku tahu siapa lelaki itu. Satu sisi aku begitu bersemangat, tapi di sisi lain, ada sesuatu yang membuatku sedemikian meragu. Sebab sejak awal hatiku sudah tak lagi imbang. Ia memilih cenderung, pada suatu hal yang sebenarnya belum kupastikan.***
TBCNote : Hai hai, ini cerita jauh sebelum Bukan Nikah Biasa dibuat. Kalau tidak salah sekitar 2012/2013/2014 hahaha. Cerita pertama yang saya post di wattpad. Tapi kemudian saya hapus ^^
Silakan dinikmati
KAMU SEDANG MEMBACA
Unperfect Marriage [END]
RomanceSebelumnya aku tak pernah berani membayangkan, menikah dengan seseorang yang selama ini kupuja diam-diam, aku sering merasa ia jauh tak terjangkau, meskipun sebenarnya dia lebih dekat dari yang aku kira. Dylan? Bahkan memimpikan untuk berteman deka...