Note : Kalau kemarin pakai sudut pandang Nina, sekarang pakai sudut pandang Andika dulu, ya.
Sudut Pandang Dylan? Nanti dulu! Saya belum siap digebukin hahaha.
Dan sebelum bingunv aku jelasin dulu kalau Dika jg pny keponakan yg namanya Nina juga.***
“Ooooooommm ... ayo banguuuuuun!” Jari-jari gempal itu terus saja menarik-narik selimut yang mati-matian kupertahankan sejak tadi. Aaaahhh gadis kecil itu tak berhenti menggangguku sejak beberapa menit lalu. Mau mengurangi jatah tidurku, hah?
“Nina … jangan ganggu Om. Om masih ngantuk!”
“Tapi Om udah janji mau nganterin Nina pagi ini…” katanya melepaskan tarikan dari selimutku. Akhirnyaaaaaa.
Eh? Benarkah hari ini aku berjanji? Aku berusaha membuka mata yang entah tinggal berapa watt, menyipitkan mata, menatap gadis bakpaoku yang berdiri di sebelah ranjang dan menatapku sebal. Ia sudah rapi dengan seragam juga tas punggungnya.
“Om kemarin kalah main game, dan hukumannya Om harus nganter Nina tiap pagi selama sebulan.”
Whaaaatttttt? Apa tadi katanya? Tolong ulangi sekali lagi. Tidak! Bukan kalimatnya, tapi kejadian kemarin. Sialan! Bagaimana bisa kemarin aku dengan gagah berani menerima taruhan dalam bermain game. Kalau aku menang, aku mendapatkan semua koleksi action figure-nya, dan sebaliknya kalau aku kalah aku akan mengantarnya ke sekolah setiap pagi selama sebulan. Dengan hasrat dan cinta atas semua koleksinya yang sama sekali tak boleh kupegang, aku yakin kalau dia akan kalah bermain game denganku. Dan aku salah. Dia lebih hebat dariku. Jadi ini yang ia lakukan selama kesepian di rumah? Mau jadi gamers profesional, heh?
Oh, iya, kenalkan, bocah yang dengan semena-mena merusak mimpi indahku pagi ini adalah Karina Jayadi, alias Nina. Putri dari Andi Jayadi, kakakku dan Elsa Cahyani, kakak iparku. Kedua orangtua kekinian itu memang gila kerja, tak pernah memperhatikan Nina, jadi jangan salahkan kalau Nina menjadi sangat manja saat bersamaku atau dengan Omanya, Mamiku.
Nina, gadis bakpaoku itu. Sebenarnya badannya tak gemuk, hanya sedikit berlemak, cantik, lucu, imut, dan yang paling membuatku tak tahan untuk menggodanya adalah pipi bakpaonya yang seksi, hehehehe. Tapi aku jadi sebal sendiri, sejak menjadi ABG dan masuk SMP dia jadi lebih alay. Sok-sok-an memperhatikan berat badannya. Cih, menurutku gendut itu seksi, kok. Big is beautiful gitu looooh.
Aku tahu sekarang ini pasti sangat bergembira karena berhasil membuatku mengantarnya ke sekolah setiap pagi. Sudah beberapa bulan ini ia membujukku mati-matian untuk sekadar mengantarkan ke sekolah tiap pagi. Ayolaaah, pagi itu paling enak buat tidur, kan? Aku juga tak tahu kenapa dia terobsesi sekali sih membawaku ke sekolahnya? Memang ada apa di sekolah itu, hah?“Ini jam berapa, sih?” tanyaku malas.
“Ini udah jam enam, Om, ntar Nina telaaaaat…!”
Oh! Baru jam enam! Ya ampun. Dari sini ke Pekerti Luhur, kan, dekat sekali.
“Ayoooo Om…”rengeknya lagi.
Aku bangkit dari tidur dan terduduk, menatapnya dengan mata tak sempurna.
“Ampuuun Ninaaaa … kamu, kok, ribet banget, sih?Lagian baru jam enam, nanti aja kali. Dulu Oom sering telat, bolos malah pas SMP. Lagian itu SMP yayasannya masih punya keluarga kita. Santai aja kaleeee.”
“Ih ngajarin nepotisme. Ayolah Om, nanti macet. Ini udah mulai gerimis, lho ... Oma pasti nggak ngizinin pakai motor. Kalau pakai mobil kan lebih lama, makanya ayo berangkat sekarang, Om!Lagi pula kata Om, cowok keren nggak bakal ngingkarin janjinya … jadi Om nggak keren, dong?”cibirnya. Ampuuuun, ini anak belajar dari mana, sih?
“Aaargh! Oke … oke…! Kita berangkat sekarang. Oke?” kataku mengalah sambil menatapnya sebal.
“Om nggak mandi dulu?”
“Enggak. Nggak mandi aja Om udah keren, apalagi mandi? Ntar ababil-ababil itu malah pada nempel ke Om, iiih nggak level lah yaw!” ujarku setengah menggodanya. Dia bersiap mengambil bantal dan melemparnya ke arahku. Dia paling kesal kalau sudah kusebut ababil alias abg labil.
****
Sepanjang perjalanan, kuperhatikan Nina asyik dengan ponselnya. Ponselnya berbunyi berkali-kali, dasar ABG. Entah apa yang ia lakukan, tapi dia cekikikan sendiri.
“Kenapa kamu?”tanyaku gatal.
“Mau taaauuuu … ajaaaaa…” katanya menjulurkan lidah. Beuh, pengen kujitak kepalanya.
Sampai. Hanya 30 menit menggunakan mobil, karena sekolah Nina memang tak melewati jalur macet. Mungkin bisa lebih cepet kalau pakai motor. Tapi saat berangkat, gerimis datang, dan Mami seperti biasa dengan gaya protektif terhadap cucu kesayangannya ini tak membiarkanku membawa Nina dengan motor.
Aku berhenti tepat di seberang jalan depan sekolah Nina, mantan sekolahku dulu juga, karena yayasan sekolah ini memang masih punya keluargaku. Aku orang kaya, kan? Eit! Bukan aku yang kaya, tapi keluargaku dan generasi di atasnya, tapi ya …gini-gini juga kecipratan lah, Hehehehe.
Pintu gerbang sudah cukup ramai dipadati murid-murid berseragam sama dengan Nina.
“Nggak turun, Om?” tanyanya.
“Ngapain?”
“Yaaa … nganterin Nina sampe gerbang lah, atau sekadar dadah dadah sama Nina, biar sweet gitu loh…!”
Aku menepuk jidat. Ampun dah keponakankuuuu…
Akhirnya aku menuruti keinginan Nina, lagi pula aku juga lumayan kangen dengan mantan sekolahku ini. Kira-kira Pak Daud si Mr. Killer masih ada nggak, ya? Kan, dulu beliau yang suka menghukum aku dan teman-teman yang memang punya bakat bandel. Aku nyengir sendiri mengingat masa-masa SMP lebih dari 10 tahun yang lalu.
Aku keluar dari mobil bersama dengan Nina, saat itu aku menangkap beberapa siswi di pintu gerbang tersenyum keganjenan ke arahku—kalau nggak salah sih—kulirik Nina, mengerling ke arahku.
“Fansmu tuh, Om,” katanya cekikikan.
APA? Aku melongo, abg-abg itu? Oh, aku tahu aku keren, cakep, tampan, dan memesona, tapi aku tak menyangka kalau para abg juga tertarik padaku. Pantas aja terakhir buka twitter, follower-ku bertambah, dan mention-mention aneh dengan huruf-huruf menyakitkan mata minta di-follow back, dan baru sekarang aku tahu kalau yang nambahin itu abg-abg.
“KARINA! KOK OmNYA DI SITU DOANG? SURUH ANTERIN KE SINI, DONG!” teriak salah satu dari gerombolan abg itu, mereka cekikikan lagi. Hadooh, hadooh dasar abg.
“Tuh, kan, Oom! Harusnya Oom tadi bawa spidol, barangkali ada yang minta tanda tangan,” goda Nina lagi.
“Yeeee...temen-temen kamu pada kenapa sih tuh?”
“Tau tuh. Mereka ngeliat foto kita pas di Bali kemaren Nina upload di facebook. Katanya Om mirip Lee Donghae Super Junior, makanya pada mupeng gitu pengen ketemu sama Om. Udah sering, tuh, main ke rumah. Tapi Om keluyuran melulu.”
Hah? Apa? Aku? Mirip artis? Baaaah cakepan aku ke mana-mana kaleeeee.
“Beuh, jadi itu alasannya kamu niat banget minta Om anterin?”
“Lumayan kan Om. Dapet traktiran di kantin, dan biar nggak dikira hoax doang. Lagian punya Om ganteng masak diumpetin. Bagi-bagi lah.”
Hadeuh, nih bocah ada-ada aja. Demi sesuap traktiran di kantin? Kaya orang susah aja.
Padahal jangankan kantin, ini tanah sesekolahan juga bisa jadi miliknya kalau mau. Receh banget nih ponakan atu.Nina kemudian mengarahkan matanya, memintaku mengantarnya sampai gerbang sekolahnya yang ada di seberang jalan.
“Enggak, ah. Om di sini aja. Ngeri ntar kalau dikerubutin ababil-ababil, ntar kalo mengurangi kadar kegantengan Om gimana?”
Nina tertawa, kemudian menyeberang sendiri setelah melambaikan tangannya padaku. Aku lihat gadis-gadis kecil itu masih memandangiku, sedikit kecewa mungkin karena aku tak mendekat ke arah mereka, tapi aku tetap melemparkan senyum ke arah mereka. Fans service gitu, lho.
Baru saja aku akan memasuki mobil ketika mataku menangkap sesosok gadis yang aku kenal. Turun dari angkot yang parkir di depan mobil.
“NINA!” teriakku kemudian berjalan cepat mendekatinya.
“Nina, kan?” tanyaku memastikan gadis yang berdiri tak jauh dari tempatku berdiri. Ia menoleh dan memandangiku bingung untuk beberapa saat. Aku tersenyum lebar, muka gantengku bukan jenis muka yang mudah dilupakan, kan? Astaga! Akhirnya aku bertemu dengan gadis itu lagi, sudah berapa bulan aku tak pernah bertemu dengannya lagi setelah kecelakaan itu. Bodohnya, saat kami berkenalan dulu, aku tak sempat meminta nomor ponselnya. Aku ingat bagaimana aku hampir mencekik Derry saking kesalnya dan aku memintanya kembali ke klinik untuk menemui Nina dan meminta nomor ponselnya. Sayangnya saat aku kembali, gadis itu sudah tidak ada di sana.
“Eh, Mas Andika, kan?” tanyanya lagi tersenyum padaku. Masih senyum yang sama, senyum yang membuatku tak bisa melupakan wajahnya. Kini akhirnya aku bisa bertemu lagi dengan gadis ini.
“Mau ke mana?” tanyaku.
“Mau ngajar Mas, sekarang saya ngajar di SMP itu. Mas sendiri ngapain di sini?”
Oh, dia guru di sini?
“Eh, nganter ponakan.”
“Ponakan Mas sekolah di sini? Kelas berapa?”
“Kelas dua. Kamu udah lama kerja di sini?”
“Baru sebulan, Mas. Tapi saya magangnya dari zaman masih kuliah. Ya udah Mas, saya duluan ya, takut telat.”
“Eh, iya,” jawabku kikuk.
Aku memandanginya sampai memasuki gerbang sekolah. Aku kembali menatap gedung tua itu. Sesuatu terbesit di benakku. Bukankah kemarin, Mami menanyakan pekerjaan yang bisa kulakukan selain sepak bola dan nongkrong-nongkrong nggak jelas? Aku benci mengurus perusahaan, jadi … sepertinya aku tahu aku mau bekerja apa.
***
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Unperfect Marriage [END]
RomanceSebelumnya aku tak pernah berani membayangkan, menikah dengan seseorang yang selama ini kupuja diam-diam, aku sering merasa ia jauh tak terjangkau, meskipun sebenarnya dia lebih dekat dari yang aku kira. Dylan? Bahkan memimpikan untuk berteman deka...