Nina : Unperfect Marriage (3)

2.8K 360 19
                                    

Sebelumnya aku tak pernah berani membayangkan, menikah dengan seseorang yang selama ini kupuja diam-diam, aku sering merasa ia jauh tak terjangkau, meskipun sebenarnya dia lebih dekat dari yang aku kira.

Dylan Adhiatmaja, yang bahkan membayangkan aku mengobrol dengannya saja aku tak berani, dan sekarang aku menjadi istrinya? Istri sah di mata agama dan hukum? Jika ini mimpi, aku tak ingin terbangun. Jika ini nyata, aku tak ingin cepat-cepat berlalu. Sungguh.

Dadaku sesak penuh rasa haru ketika ia mengucapkan ijab kabul. Resepsi berjalan dengan lancar setelahnya, meskipun tak banyak kata yang terucap dari mulut kami. Malam setelah resepsi, pihak keluarga telah menyiapkan satu kamar di hotel yang sama tempat kami mengadakan resepsi. Diiringi godaan dari para sepupu, aku berjalan mengikuti langkahnya menuju kamar kami.

Semua kemudian terasa asing saat kami memasuki kamar hotel. Degup jantung tak keruan yang kurasakan mendadak berubah menjadi sakit yang menghunjam. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, dia hanya mengganti bajunya kemudian keluar kamar.

“Mau ke mana, Mas?” tanyaku memberanikan diri, setelah menatapnya heran.

“Keluar,” jawabnya singkat kemudian benar-benar keluar dari kamar hotel ini.

Aku masih berusaha berpikiran positif, mungkin saja ia keluar untuk mencari sesuatu. Tapi hingga menjelang subuh aku tak lagi mendapatinya ada di kamar ini.
Beribu pertanyaan mulai muncul di benakku, ada apa dengannya? Mungkinkah sebenarnya dia tidak menginginkan pernikahan ini? Astaga! Seharusnya aku mengetahuinya sejak awal. Bahwa setiap ketidakpeduliannya bukan semata-mata untuk menjaga hubungan kami sebelum halal. Tapi karena sesungguhnya ia tak pernah menginginkan pernikahan ini sejak awal.

Tapi mengapa? Mengapa ia tetap melanjutkan proses pernikahan kami, bahkan sampai perjanjian yang mengguncang langit. Ijab kabulnya di depan Ayah dan seluruh saksi? Allah…!

***

Pertanyaan itu masih belum terjawab hingga pernikahan kami berusia tiga bulan. Sejak awal menikah kami tinggal di rumah mungil milik Dylan. Meskipun tinggal dalam satu rumah, kami selayaknya orang asing. Melakukan aktivitas kami masing-masing tanpa memedulikan yang lainnya. Bahkan kami tidur di kamar terpisah. Ia tak pernah berbicara kepadaku lebih dari dua kalimat panjang. Terkadang aku mengutuki kebodohanku ... tetap bertahan dalam rumah tangga yang cacat ini, meski aku tahu benar apa alasannya.

Pukul enam lebih aku baru keluar dari kamar, ternyata aku sempat ketiduran ketika menyelesaikan revisi skripsi sejak subuh tadi. Aku terhenti sejenak di ruang tengah saat menuju dapur untuk membuat sarapan kami pagi ini. Aku menatap Dylan yang sedang melatih bela dirinya di halaman belakang. Hal yang biasa dia lakukan di pagi hari, biasanya saat weekend seperti ini. Sebab dia tak perlu buru-buru berangkat ke toko, meskipun pekerjaan Dylan cukup fleksibel—ia mengurus usaha milik keluarga—tapi ia adalah lelaki yang disiplin, tak seenaknya. Aku tak pernah tahu detail pekerjaannya, tapi ia selalu berangkat pagi dan pulang petang. Entah hanya untuk menghindariku atau memang ia tipe pekerja keras. Sebab setahuku ia tak hanya mengurus toko, tetapi juga melakukan bisnis properti. Hal ini tentu saja aku ketahui dari Mama.

Dylan tampak fokus melakukan gerakan-gerakan bela diri. Ia rajin berolahraga, mungkin itu sebabnya selama tiga bulan kami tinggal bersama tak pernah sekali pun aku mendapatinya sakit. Aku menghela napas. Tuhan ... dia tetap sememesona dulu, lelaki yang membuatku jatuh cinta sekaligus terluka. Mengapa aku bisa sebegini bodoh hanya karena cinta? Rasanya tak mengapa ia tak menganggapku ada, asal ia masih mau pulang ke rumah, menikmati masakanku tanpa pernah protes sekali pun, dan membiarkanku mendulang pahala dengan melayaninya sebagai suami.

Aku menghela napas. Oh, bukankah aku hanya perlu bersyukur bahwa aku masih bisa berada di dekatnya, menangkap sosoknya melalui inderaku, dan merasakan kehadirannya walau tak terjamah. Ketika Dylan menyadari bahwa aku sejak tadi memperhatikannya, ia menoleh dan menatapku sejenak, kemudian kembali melakukan aktivitasnya.

Aku kemudian menuju dapur dan menyiapkan sarapan untuk kami. Nasi goreng dan telur ceplok selalu menjadi andalan ketika aku disibukkan dengan skripsi atau pekerjaan.Dua puluh menit kemudian aku sudah mendapati Dylan berada di meja makan dan menikmati nasi goreng buatanku dengan lahap. Aku memberanikan diri untuk mendekatinya. Kami jarang sekali makan di meja yang sama, ia seperti tahu waktu kapan aku makan dan memilih menghindar. Tapi pagi ini dengan ragu aku mendekatinya, ada sesuatu yang harus kutanyakan.

“Mas...” panggilku ragu.
Ia menoleh menghentikan aktivitasnya, menoleh dan menatapku dalam diam.

“Ada uang masuk ke rekening Nina, sejak bulan lalu, Ayah bilang itu bukan dari Ayah.”

Ia kembali mengalihkan fokusnya ke arah piring, membuat kalimatku terhenti. Sebegitu susahkah hanya untuk mendengarku bicara?

“Gunakan untuk keperluan rumah dan keperluan pribadimu,” jawabnya kemudian. Membuatku membulatkan mata.

“Jadi benar itu Mas yang mentransfer?” tanyaku lagi memastikan. Bulan lalu aku menerima sejumlah uang di rekeningku. Kupikir Ayah yang memberikannya, meskipun setelah magang aku nyaris tak pernah mendapat dukungan finansial secara rutin dari Ayah, hanya beberapa kali sebagai hadiah, itupun Ayah selalu memberitahu sesaat setelahnya, jika hadiah itu berupa uang yang ditransfer.

Dylan menghela napas, memilih tak menjawab dan segera menghentikan sesi sarapannya kemudian meninggalkanku.
Komunikasi kami selalu seburuk ini, hingga rasanya tak ada ruang bagiku untuk mempertanyakan kejanggalan rumah tangga kami. Sama seperti halnya dia, tak pernah sedikit pun membahasnya. Kami seperti sepasang orang asing yang terperangkap dalam suatu tatanan sosial bernama rumah tangga.

***

Tbc

Unperfect Marriage [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang