Siang ini, Shara, Lena, dan Caca mengajakku untuk makan siang di salah satu rumah makan dekat kampus kami. Kami berempat baru saja menyelesaikan administrasi untuk wisuda dan akhirnya memutuskan untuk makan siang bersama. Lagi pula sudah lama sekali kami tak berkumpul, semenjak kami sama-sama sibuk dengan skripsi, sidang, revisi, dan lain-lain.
Kami masih saling melempar joke dan bercerita tentang masa-masa selama kami kuliah, mulai dari hal konyol, stres, sampai yang mengharukan ketika tiba-tiba aku menangkap sosok yang amat kukenal. Dylan. Dia bersama seorang wanita, kelihatannya mereka juga akan makan siang. Mereka duduk tak jauh dari tempat kami, jadi aku masih bisa melihatnya dengan jelas.
Dalam keadaan normal, mungkin aku masih bisa berpikir jernih dengan menganggap bahwa wanita itu rekan kerjanya, tetapi interaksi di antara mereka juga senyuman keduanya membuat dadaku mendadak sesak seketika. Aku mencoba mengalihkan pandanganku dari mereka, tak mau teman-temanku menangkap apa yang sebenarnya aku perhatikan. Hanya beberapa kali aku mencoba melirik ke arah mereka yang ternyata sudah menyumbang ketidaknyamanan terbesar saat ini.
Gadis yang bersama Dylan itu tampak cantik dengan mengenakan dres terusan hijau lumut selutut dengan kardigan putih membalut tubuhnya sempurna. Aku sedikit terkesiap saat menyadari siapa gadis itu, bukankah itu ...Winda?
Aku memastikan sekali lagi. Benar, itu Winda. Aku bisa mengenalinya dari cara dia tersenyum, kedua lesung pipit yang membuatnya amat cantik. Hanya saja kenapa dia terlihat berbeda sekali? Lebih cantik, feminin, dan dewasa. Winda adalah teman sekelas Dylan. Aku tahu, tentu saja hampir semua yang berkaitan dengan Dylan semasa SMA aku tahu. Winda adalah satu-satunya wanita yang tergabung dalam geng Dylan. Dia tidak seperti kebanyakan gadis lainnya. Semua penduduk SMA juga tahu kalau dia adalah putri seorang pengusaha sukses. Sebagai seorang putri kaya, dia cukup berbeda. Dia lebih suka tampil seenaknya dan tomboi, jauh dari kata manja dan feminin, tapi sekarang? Oh, dia bahkan lebih cantik dari apa yang kubayangkan. Tapi? Kenapa Dylan?
Urusan pekerjaan? Atau pertemanan yang masih terjalin hingga sekarang?Atau mungkin ...aku tergagap memikirkan kemungkinan selanjutnya. Kemungkinan bahwa Winda adalah alasan yang membuat pria itu tidak peduli pada pernikahan kami.
Aku menarik napas panjang saat bergelut dengan pikiranku, dadaku sesak, tapi aku tak boleh menangis sekarang, dan di sini.
"Nin, Woy? Kenapa, sih?" tanya Shara, Aku tergagap kembali mengalihkan pandangan pada teman-teman, ternyata sejak tadi mereka menegur sebab aku terlalu sibuk berkelut dengan pikiranku.
"Eh, nggak apa-apa. Udah selesai? Aku buru-buru, nih, mau ngabarin orang rumah," kataku cepat. Kami harus segera keluar dari sini. Semakin lama kami di sini, semakin besar kemungkinan mereka melihat Dylan. Mereka pasti mengenali Dylan, karena mereka hadir di acara resepsi pernikahan kami.
"Ciyeee, mau ngerayain sama suami, ya?" ledek Caca semangat, diikuti ledekan-ledekan beruntun dari Shara dan Lena. Aku hanya tersenyum masygul. Aku buru-buru mendorong mereka keluar dari area rumah makan.
Aku sempat menoleh ke arah Dylan. Mereka ... mengobrol begitu hangat. Suatu hal kecil yang bahkan tak pernah kulakukan dengannya.
***
Aku pulang ke rumah Ayah, memberikan undangan untuk wisuda. Mama terlihat semangat dan merencanakan untuk mengadakan syukuran. Nino, adik tiriku, meskipun tak memelukku seperti Ayah dan Mama, tapi aku melihat sedikit senyuman diwajahnya. Nino sedikit mirip dengan Dylan. Ah, Dylan... dia mungkin tak tahu bahwa aku sudah melewati masa-masa skripsi yang begitu menegangkan hingga kini menjelang wisuda.
"Suami kamu tahu, kan, kamu ke sini?" celetuk Mama ketika aku menonton TV. Aku memang berencana menginap di sini malam ini.Ups! Aku belum meminta izin pada Dylan. Seburuk-buruknya hubungan kami, aku tetap harus patuh sebagai seorang istri, meminta izinnya. Aku melihat jam dinding, hampir setengah enam, biasanya Dylan sudah pulang.
"Suruh saja dia ke sini, malam ini kalian nginap di sini saja," lanjut Mama kemudian berlalu. Aku mengabaikan ocehan TV kemudian mengambil ponsel. Menelepon seseorang.
"Halo," jawabnya di seberang sana.
"Assalamualaikum, Mas...!"
"Walaikumsalam, kenapa?" tanyanya datar.
"Sudah pulang?"
"Lagi di jalan."
"Nina lagi di rumah Ayah, Mama nyuruh kita nginap di sini malam ini."
"Oh yaudah, aku ke sana, ada lagi?"
"Nggak. Hati-hati. Assalamualaikum...."
Tuut ...tuut....
Sambungan kami terputus bahkan sebelum dia menjawab salamku. Memangnya apalagi yang kamu harapkan, Nina?
***
Sudah hampir tengah malam, aku masih belum bisa memejamkan mata. Ini pertama kalinya kami menginap di rumah Ayah, juga pertama kalinya kami berada dalam satu ruangan yang sama dalam kurun waktu yang cukup lama.
"Selamat," katanya datar memecah keheningan kami.
"Hah?" Aku menoleh, apa kata-kata itu untukku? Tapi ia sama sekali tak menoleh ke arahku. Sibuk dengan macbook-nya.
"Selamat udah mau wisuda," katanya akhirnya. Ia masih tak menatapku. "Makasih," jawabku kikuk.
Sunyi. Kami terdiam lagi.
Tiba tiba ada sesuatu yang terlintas di kepalaku. Pertanyaan-pertanyaan yang tersimpan rapat sejak kami menikah tiba-tiba terurai satu per satu tanpa kuminta. Rasa penasaranku mendadak membuncah, sesuatu yang kusimpan dalam kini ingin melesak keluar, terlebih setelah kejadian siang tadi.
"Ng ... Mas..." panggilku ragu.
"Apa?" jawabnya masih datar tanpa menoleh.
Aku menggigit bibir bawah, haruskah aku menanyakannya?
Ponselnya berdering tepat saat aku akan membuka mulut. Ada senyum tipis di wajahnya.
"Iya, Win?"
Win?
Winda kah?
Aku sempat sedikit menangkap isi pembicaraan mereka, dia menyebut beberapa tempat juga satu agenda. Berkaitan dengan pameran atau apalah, lalu hatiku terasa tercubit ketika melihat kelembutan, serta kemesraan yang bisa kutangkap dengan jelas. Dari nada suara maupun gesturenya.
"Oh, iya. Bisa. Oke ... selamat malam."
Aku tergagap ketika ia mengakhiri pembicaraan dan kembali menoleh padaku. "Tadi ... kita sampai di mana?" tanyanya berubah datar saat kembali menatapku. Ke mana wajah lembutnya tadi? Astaga, Nina, bahkan setelah apa yang terjadi selama ini, memangnya kamu bisa berharap apa?
"Nggak apa-apa, lupain aja," jawabku memaksakan tersenyum. Tiba-tiba saja aku merasa takut. Takut benteng kenyamanan yang kubangun sedemikian rupa dengan aneka mindset yang kubentuk sepositif mungkin mulai runtuh jika kami benar-benar membahasnya malam ini. Tidak ... rasanya aku belum siap.
"Kamu ... nggak mau tanya sesuatu? Tentang telepon tadi misalnya?" tanyanya lagi. Ingin. Sungguh aku ingin sekali. Tapi aku hanya bisa menggeleng pelan. Kuputuskan untuk berbaring memunggunginya, memejamkan mata dan berusaha menekan rasa sakit yang mendadak memenuhi dada. Aku tak mendengar apa-apa lagi. Semakin aku memejamkan mata, semakin bayangan-bayangan tentang masa SMA, pernikahan kami, kejadian siang tadi, juga telepon beberapa menit lalu itu berdesak-desakan di kepala. Mengakumulasi rasa sakit yang kemudian menimbulkan nyeri luar biasa. Hingga tak terasa sudut mataku basah tanpa suara.
***
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Unperfect Marriage [END]
RomanceSebelumnya aku tak pernah berani membayangkan, menikah dengan seseorang yang selama ini kupuja diam-diam, aku sering merasa ia jauh tak terjangkau, meskipun sebenarnya dia lebih dekat dari yang aku kira. Dylan? Bahkan memimpikan untuk berteman deka...